Enam tahun yang lalu
“Kil, udah tau kalau hari ini ada ustaz baru?” Shanum mencolek lengan Kila, gadis yang duduk di bangku depannya.
Kila menoleh, “Iya, ngajar mapel Bahasa Indonesia, kan? Gantiin Ustaz Fathur sementara?”
Shanum semangat mengangguk, “Iya, kemarin aku ngeliat beliaunya udah ngajar di kelas sebelah. Ganteng tau, Kil.”
“Beneran ganteng, Num? Wah, aku jadi semangat kalau gini. Aku yang gak suka pelajaran Bahasa Indonesia gara-gara sering suruh ngarang bakalan jadi seneng ini, sih.” Kila terbahak.
“Ghibahin ustaz teruuusss. Lagi nyetok dosa?” sindir Nayla tanpa menoleh.
“Bukan ghibah, Nayl. Kalau ghibah konotasinya buruk, kita kan ngomongin yang baik-baik,” cibir Shanum. Kila mengangguk, menyetujui ucapan Shanum.
“Sama aja! Udah, mending kita mulai baca doa dulu aja, udah jam tujuh nih.” Nayla melirik jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan kirinya.
“Eh, gak tungguin ustaz barunya?” tanya Fitria, gadis yang duduk di samping Kila.
“Peraturannya kan kalau udah jam tujuh sesi belajar-mengajar harus mulai. Ini udah jam tujuh loh, hampir lebih lima menit malah,” jawab Nayla.
Nayla berdiri, keluar dari bangkunya dan melangkah ke depan. Ia selaku ketua kelas bertanggung jawab atas jalannya kegiatan belajar-mengajar dengan baik. Ia sedikit menggerutu, bagaimana bisa seorang pengajar yang notabenenya orang baru, terlambat di hari pertamanya mengajar? Benar-benar tidak profesional!
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, Teman-teman. Seperti biasanya, jika waktu telah menunjukkan pukul tujuh dan pengajar kita belum hadir, maka kita mengawali pembelajaran hari ini dengan doa yang dipimpin oleh ketua kelas. Maka dari itu, mari kita mulai pembelajaran hari ini dengan bacaan surah Al-Fatihah bersama-sama, dilanjut dengan satu kali surah Al-Insyirah dan doa sebelum belajar.”
Seisi kelas serentak mengikuti instruksi Nayla, membaca dua surah dari Al-Qur’an yang dilanjut dengan bacaan doa sebelum belajar. Ketika doa sebelum belajar dilantunkan, Nayla mendapati bayangan seseorang di depan pintu kelas. Seseorang itu sengaja berhenti, urung masuk menunggu para siswi mengusaikan doa pembuka belajar mereka. Tepat ketika lafaz ‘shadaqallahul adzim’ bergema dan Nayla kembali ke bangkunya, seseorang tersebut melangkah memasuki kelas.Beberapa siswi yang mendapati seorang lelaki tampan tersenyum manis menghampiri meja guru berbisik-bisik kagum. Tak terkecuali Shanum, Kila, dan Fitria. Nayla memutar bola mata malas. Ia tak mau munafik, lelaki yang katanya akan menjadi pengajar pengganti Ustaz Fathur itu memang tampan. Namun, Nayla telanjur tak suka. Apalagi alasannya jika bukan karena keterlambatan ustaz itu di hari pertamanya mengajar.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap sang ustaz baru usai duduk di meja guru.
“Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” Seisi kelas serempak menjawab dengan semangat.
“Saya mohon maaf sebelumnya, tadi ban motor saya mendadak bocor di tengah jalan. Jadi, sekali lagi mohon maaf karena di hari pertama saya mengajar kelas ini, saya justru terlambat.” Ustaz itu kembali tersenyum. Senyuman yang membuat seisi kelas yang berisi kaum hawa semakin semringah.
Nayla menghela napas. Ia bisa mentoleransi alasan keterlambatan ustaz baru itu. Namun, tidak dengan senyuman yang terus menerus beliau sunggingkan. Ustaz itu sengaja membuat beberapa temannya terpesona, cengar-cengir tak jelas, dan melakukan banyak kegiatan unfaedah lainnya.
“Baiklah, karena saya guru baru di sini, jadi sekarang kita buka sesi perkenalan dulu, ya. Ada yang sudah kenal saya?” Ustaz baru itu berdiri dan melangkah di depan papan tulis, mencari posisi yang nyaman untuk berkenalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin Cinta Nayla
SpiritualIni tentang sulitnya melupakan. Ini tentang beratnya mengikhlaskan. Ia ingin marah, namun lidahnya kelu tak terarah. Ia ingin menangis, namun air matanya telah habis terkikis. Ia ingin menyampaikan segala perasaan, namun kenyataan memporak-porandaka...