Mula Cerita

2.8K 314 14
                                    

Enam tahun yang lalu

"Nayl, tau gak? Ada ustaz baru yang bakal ngajar di pondok putri. Masih muda, pinter, ganteng lagi. Tadi aku udah liat orangnya ngajar di kelas sebelah," celoteh Shanum.

"Terus?" sahut Nayla tanpa menoleh. Ia tengah fokus pada buku dan bolpoinnya.

"Kata Ustaz Hamid, ustaz muda itu cuma ngajar bentar, gantiin Ustaz Fathur selama beliau ambil cuti khitbah sekalian nikah di luar Jawa. Kan gak asik, ya?" Shanum bercerita dengan semangat meski Nayla terlihat tak berminat menanggapinya.

"Kenapa ustaz yang ngajar di pondok putri harus ustaz-ustaz muda semua ya, Nayl? Sayangnya udah pada punya istri atau calon. Kayak Ustaz Fathur itu, muda, ganteng, pinter, eh udah ada calonnya. Kan, bikin para santriwati patah hati sebelum jatuh cinta. Semoga aja ustaz baru yang satu ini masih single, kan lumayan bisa dipepet," cerocos Shanum diiringi tawa terbahak.

"Nayl, nyebelin ih! Tanggepin kek cerita aku." Shanum mengguncang lengan Nayla, membuat lawan bicaranya itu mendelik sebal.

"Pertama, kamu paham kalau aku gak suka diganggu pas nulis. Kedua, cerita kamu gak ada faedahnya. Ketiga, kamu lebay dan aku gak suka." Terlalu sarkastik. Begitulah Nayla, ia tak segan mengungkapkan apa yang dirasakannya pada orang lain. Namun, begitu pula Shanum, bertahun-tahun membersamai Nayla membuatnya tahan banting dengan segala kalimat pedas yang selalu keluar dari bibir gadis itu.

"Ya udah deh, terserah kamu. Eh ngomong-ngomong, lagi nulis apa? Dapet job bikin cerpen buat buletin pesantren lagi?" Shanum menoleh, matanya melirik buku tulis yang sedang digenggam Nayla.

"Iya, lumayan bisa nambah uang jajan," jawab Nayla singkat. Ia menyodorkan buku yang ia genggam pada Shanum. Seperti biasa, Shanum adalah pembaca pertama sekaligus korektor dari tulisan-tulisannya.

"Tema buletin bulan ini apa sih, Nayl?" Shanum mengangkat kepala setelah beberapa jenak memperhatikan tulisan Nayla.

"Kelahiran Sang Rasul dan Euforia Masyarakat dalam Menyambutnya. Itu tema utamanya. Jadi, ya pasti tentang maulid nabi," jelas Nayla.

"Kenapa kamu gak ngambil nama keluarga Rosul aja buat para tokohnya? Biar lebih greget gitu. Misal tokoh utamanya Fathimah, terus anak laki-laki yang ketemu ama Fathimah di masjid kamu kasih nama Ali," usul Shanum. Ia terbiasa mengomentari karya-karya Nayla sebelum diajukan ke redaktur buletin.

"Terlalu mainstream gak sih, Num?" Nayla menggigit bolpoinnya.

"Mainstream sih iya, tapi kan tema kali ini emang tentang kelahiran Sang Nabi. Pakai nama-nama keluarga Nabi kayaknya lebih greget deh, Nayl." sahut Shanum.

"Iya kali ya. Ya udah, siniin. Biar aku ganti." Shanum menyerahkan buku yang ia pegang pada Nayla. Sejenak, Nayla terlihat mencoret beberapa bagian dari tulisannya, kemudian mengembalikan buku itu pada Shanum.

"Kamu kan suka ngoreksi tulisan-tulisan aku. Kenapa gak nyoba buat nulis sendiri?" Nayla menatap Shanum yang masih fokus meneliti tulisannya.

Shanum menggeleng, "Bukan passion aku, Nayl. Aku kan cuma ngoreksi jalan cerita sama tokoh-tokohnya aja. Cara penulisan yang baik gimana, penggalan kata yang tepat kayak apa, aku gak tau. Jangankan suruh belajar penggalan kata, bagian kata mana aja yang mengharuskan pakai kapital atau enggak aja aku belum paham."

Nayla mengangguk paham. Shanum memang tak memiliki kegemaran di ranah kepenulisan. Selama ini, mengoreksi yang ia maksud hanyalah komentar-komentar Shanum pada karyanya. Komentar seputar nama tokoh dan alur cerita, tak pernah lebih. Shanum tak bakat menulis, ia justru unggul di bidang eksakta. Itulah yang membuatnya berhasil memajang beberapa piala olimpiade Fisika atau Matematika di kantor pesantren.

"Shanum, Nayl, waktunya solat asar. Buruan ambil wudhu sebelum Mbak Laili ke kamar buat ngobrakin." Shanum dan Nayla mengangkat kepala mendengar perintah Hindun, kepala kamar mereka. Mereka lantas bangkit dari tempat duduk dan segera berjalan menuju kamar mandi usai menyimpan buku tulis milik Nayla.

*****

"Nayl, ikut aku yuk. Cepetan, ini penting!" ucap Shanum dengan napas terengah.

"Ke mana?" Nayla mengernyitkan dahi, ia tengah memutholaah kitab Irsyadul 'Ibad di kelas mengaji kitab, dan Shanum tiba-tiba datang dengan raut panik.

Shanum nyengir, "Calon ustaz baru yang mau gantiin Ustaz Fathur katanya mau ngajar kelas sebelah abis ini. Kita ke tangga ujung yuk, liatin beliau masuk pondok putri."

"Astaghfirullah, Shanum! Kirain apaan. Kamu lari-lari panik cuma buat ngajakin aku ngelakuin hal se-unfaedah itu?" Nayla memukul keras lengan Shanum.

"Aduh, Nayl, sakit ih." Shanum mengaduh sembari mengusap-usap lengannya.

"Ayo dong, Nayl. Ini berfaedah loh, kita bisa tahu duluan gimana wajah ustaz yang bakal gantiin Ustaz Fathur," rayu Shanum.

"Terus kalau udah tau kenapa?" tanya Nayla dengan raut datar. Ia bahkan tak menoleh.

"Ya... ya... ya biar tau aja." Shanum menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia kebingungan menjawab pertanyaan Nayla.

"Unfaedah, Shanum! Mending kamu duduk, baca kitab Irsyadul 'Ibad. Siapa tau ntar kamu ditunjuk ama Ustaz Taufik suruh jelasin satu fashal."

"Ih, kamu mah gak asik, Nayl. Malah nakut-nakutin gitu." Shanum mengerucutkan bibir, tapi tetap menuruti perintah Nayla. Ia duduk di samping sahabatnya itu dan mulai membuka kitab Irsyadul 'Ibad.

"Assalamuaalaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Seisi kelas serempak menjawab salam yang baru saja terdengar.

"Tuh, Ustaz Taufik udah dateng. Coba tadi kamu nongkrong di tangga ujung, pasti telat," bisik Nayla.

"Tau ah, sebel aku! Jadi gak bisa liat calon ustaz baru kan." Sahut Shanum dengn wajah cemberut.

Nayla mengendikkan bahu. Ia tak pernah peduli pada hal-hal yang menurutnya memang tak perlu dipedulikan. Ia hidup dengan kemauannya sendiri, melakukan apa yang ia rasa butuh, dan meninggalkan apa yang menurutnya perlu ditinggalkan. Bagi Nayla, hidup memang harus sesederhana itu, tak perlu memperrumitnya dengan banyak hal.

*****

Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❤️.

Labirin Cinta NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang