Hatiku baru saja patah, lukanya masih basah. Jangan dulu paksa aku untuk menerimamu dengan sungguh. Kamu terlalu baik, dan aku enggan memilikimu dengan hati yang tak utuh.
-Naya Zayyin-
"Mbak Nayl, jangan lupa! Hari ini ada jadwal ngisi seminar di MAN 1 Pekalongan jam sembilan pagi. Terus, siangnya ada janji ama Mbak Shanum."
Nayla mendongak, menatap Denada -manager sekaligus adik angkatnya- sembari mengangguk-angguk.
"Kalau besok ada jadwal apa aja, Nad?"
"Besok pagi kosong, Mbak. Cuma habis zuhur jam setengah dua ngisi talkshow di perpustakaan daerah kayaknya, iya gak sih?" Denada membuka catatan kecilnya sejenak, "nah, bener ngisi talkshow di perpustakaan daerah," lanjutnya.
"Oke, pokoknya tiap pagi kamu harus ngingetin aku loh, Nad. Aku lupaan soalnya."
Denada mengangguk, "Siap, Mbak. Itu kan emang udah tugas aku.""Gak tau lagi deh kalau gak ada kamu, bisa amburadul semua jadwal aku. Makasih loh, Nad," kekeh Nayla sembari menggigit roti.
Denada memukul pelan lengan kakaknya, "Alay! Itu kan emang tugas aku. Malah harusnya aku yang banyak-banyak bilang makasih, aku belajar banyak loh dari Mbak Nayl."
"Udah, makasih-makasihannya nanti lagi. Sekarang kita sarapan." Azizah datang dengan sepiring besar nasi goreng, kemudian duduk di samping Nayla.
"Aku udah makan roti, Ma. Masak masih suruh sarapan lagi?" Nayla menatap ibunya dengan wajah memelas, ia telanjur kenyang.
"Kita ini orang Indonesia. Selama belum kemasukan nasi, ya namanya belum makan. Iya kan, Nad?" Azizah menatap Denada, meminta persetujuan.
Denada mengangguk semangat, "Nah, bener itu."
"Mama, jangan banyak-banyak." Nayla menghentikan tangan ibunya yang hendak menuangkan secentong penuh nasi goreng di piringnya.
"Kamu itu makan yang banyak, biar gak kurus gini. Mama gak tega ngeliat tubuh kamu," sungut Azizah.
"Aku makan sehari 15 kali pun, tetep aja segini, Ma," sahut Nayla sembari menerima piring nasi yang diangsurkan ibunya. Azizah mengendikkan bahu sembari menyendokkan secentong penuh nasi goreng di piring Denada.
"Makasih, Ma," ucap Denada.
Azizah mengangguk, "Udah yuk makan. Eh, jangan lupa baca doa dulu."*****
"Astaghfirullah, kok bisa ban mobilnya bocor? Kenapa sekarang sih bocornya?" Nayla mendengkus sebal. Ia telah berjanji pada Shanum untuk bertemu.
Nayla meninggalkan garasi, kembali masuk ke dalam rumah. Ia berniat meminjam sepeda motor Denada."Eh, mau ke mana, Nad?" Nayla mengernyitkan dahi melihat penampilan rapi adiknya.
"Bimbingan skripsi ke kampus, Mbak. Mumpung dosennya bisa diajak ketemu," jawab Denada, "eh, kok kamu masih di rumah? Jadi ada janji ama Mbak Shanum, kan?" lanjutnya sembari ikut mengernyitkan dahi.
"Ban mobil aku bocor, Nad, mana gak ketahuan dari kemarin. Aslinya mau pinjem motor kamu, tapi mau dipakai, ya? Aku pesen ojek online aja, deh."
"Assalamualaikum." Suara salam sontak mengalihkan perhatian Nayla dan Denada.
"Nah, pas banget Mas Rafif dateng. Mending suruh nganterin Mas Rafif aja, Mbak. Bisa kan, Mas? Eh astaghfirullah, waalaikumsalam," cerocos Denada dengan wajah semringah.
Lelaki yang dipanggil Rafif oleh Denada tertawa, "Dasar! Emang mau ke mana?"
"Mbak Nayl ada janji sama Mbak Shanum, Mas, tapi ban mobilnya bocor. Kamu bisa nganterin, kan?" jawab Denada.Nayla melotot sembari mencubit lengan Denada, "Eh, Denada ngawur, Mas. Enggak usah, aku pesen ojol aja."
Rafif menggeleng pelan dan terkekeh, "Aku anterin aja gakpapa, Nayl. Tadi ke sini mau nemuin kamu. Kalau kamunya pergi ya jadi gak ada yang tak temuin."
"Udah, Mbak, gakpapa. Nunggu ojol dateng keburu Mbak Shanum keluar tanduknya, kelamaan. Sama Mas Rafif aja. Ayo keluar rumah bareng." Denada menyeret Nayla, sementara Rafif mengikut di belakang mereka sembari terkekeh.
Nayla mengembuskan napas pelan. Ia paham maksud Denada memaksanya agar mau diantar Rafif. Ibunya, Shanum, dan Denada selalu sepakat pada satu hal, Rafif terlalu baik untuk disia-siakan.
Nayla tak munafik. Rafif lelaki yang baik, tampan, pintar, dan mapan. Sejak berada di semester akhir, hubungannya dengan lelaki yang kebetulan kakak tingkatnya itu memang dekat. Rafif membantunya menyelesaikan tugas akhir kuliah, rajin mengantarnya menemui dosen pembimbing, sabar menunggu dan menyemangatinya melewati sidang skripsi, dan menemani wisudanya.
Shanum, Denada, dan ibunya selalu mengatakan jika Rafif memiliki rasa padanya. Namun, Nayla menggeleng. Rafif tak pernah mengungkapkan rasa apa pun padanya, bahkan hingga detik ini, satu setengah tahun usai ia diwisuda.
Nayla tersenyum miris. Ia tak berharap banyak pada Rafif. Ia merasa cukup menganggap Rafif abangnya. Toh, ia belum sesiap itu untuk membuka hati. Ia telah kenyang dengan rasa kecewa. Pengalaman jatuh hati pertama kali membuat ia benar-benar waspada dan berhati-hati. Jatuh hati untuk pertama kali dan patah di waktu yang sama sungguh bukan hal yang mudah untuk dilewati, terlalu menyakitkan. Dan entah mengapa, menyembuhkan lukanya butuh waktu selama ini.Nayla paham, tidak semua lelaki sama dengan masa lalunya. Rafif jelas bukan orang yang terlihat akan mengecewakannya. Namun lagi-lagi, Rafif tak pernah membahas perihal rasa apa pun dengannya. Dan, Nayla selalu paham, segala sesuatu yang samar tak pantas diharapkan. Ia sungguh banyak belajar dari pengalamannya Enam tahun yang lalu
*****
"Sesuatu yang samar tak pantas diharapkan."
Jleb banget gak sih? Hehe. Hayo, siapa di sini yang masih suka ngarep ke hal-hal samar? Naya angkat tangan, haha.Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin Cinta Nayla
SpiritualIni tentang sulitnya melupakan. Ini tentang beratnya mengikhlaskan. Ia ingin marah, namun lidahnya kelu tak terarah. Ia ingin menangis, namun air matanya telah habis terkikis. Ia ingin menyampaikan segala perasaan, namun kenyataan memporak-porandaka...