Hari Kedua

1.6K 233 12
                                    

Enam tahun yang lalu

“Selamat sore, La. Hari kedua di Gresik, suka?” Nayla yang tengah menikmati suasana taman menoleh. Sedetik kemudian, ia mengembuskan napas kesal.

“Seharian ini suka karena gak ada yang ganggu saya. Tapi sore ini, mendadak rasa suka saya hilang. Ustaz ngapain sih ke sini?” sungut Nayla sembari mencoret-coret buku kecil yang ia bawa.

“Taman ini saya kira tempat umum, La, jadi semua orang boleh ke sini. Masalahnya di mana?” Nadhif tertawa. Ia senang karena Nayla menanggapi ucapannya meski dengan nada ketus.

Nayla memutar bola mata. “Ustaz di sini, di dekat saya, dan menyapa saya. Itu masalahnya! Taman ini kan luas.”

“Nah, ini. Ini yang mau saya luruskan. Kenapa kamu selalu menghindari saya, La? Apa saya semenyebalkan itu?” Bukannya menjauh, Nadhif justru duduk di kursi depan Nayla.

“Iya!”

“Bagian mana dari sikap saya yang terlihat menyebalkan?” Nadhif mengernyitkan dahi sembari terkekeh. Gadis di hadapannya ini jujur sekali.

“Semuanya.”

“Kata semuanya itu bisa lebih dispesifikkan lagi, Lala?”

Nayla menarik napas panjang, kemudian meletakkan buku dan bolpoinnya di atas meja, “Saya tidak tahu spesifiknya di mana, yang jelas saya gak suka kalau Ustaz Nadhif dekat-dekat sama saya.”

“Segala sesuatu harus punya alasan, La.”

“Tidak semuanya. Beberapa hal tidak membutuhkan alasan,” sanggah Nayla.

“Contohnya?”

“Cinta,” sahut Nayla asal. Namun, ia seketika menutup mulut. Apa yang sedang ia ucapkan? “Tolong anggap saya tidak pernah mengatakan satu kata tadi,” lanjutnya.

Nadhif tertawa, “Kenapa muka kamu merah? Kamu hanya sedang berpendapat, Lala. Bukan sedang menyatakan cinta pada saya.”

Nayla tak menjawab, ia mengalihkan pandangan sebab mendadak merasa canggung luar biasa.

“Kamu menggemaskan sekali dengan ekspresi itu, Lala,” goda Nadhif.

Merasa tak akan mendapat sahutan dari gadis kelas 3 Aliyah di hadapannya, Nadhif memutuskan untuk kembali bersuara. “Jadi, kenapa dalam cinta tidak butuh alasan?”

“Kenapa masih dibahas sih, Ustaz? Udah deh bahas yang lain aja,” sungut Nayla.

“Oh, jadi kamu masih mau ngobrol lebih lama lagi sama saya, ya? Sampai-sampai saya disuruh cari pembahasan lain. Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya saya dan Lala akur,” sahut Nadhif semringah.

“PD sekali Anda!” sentak Nayla. Ia segera berdiri dan beranjak dari hadapan Nadhif. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa lelaki senarsis ini dipilih sebagai pengajar di pesantrennya.

“Eh, saya serius, Lala. Tolong duduk dulu, jangan terburu-buru,” cegah Nadhif.

“Sebenarnya Ustaz ini mau apa sih?” Nayla menatap Nadhif kesal, namun kembali duduk.

Nadhif tersenyum melihat Nayla yang kembali duduk. Sedari tadi, ia telah merasa jika gadis itu sedikit berbeda. Ia terlihat lebih ramah dibanding hari-hari sebelumnya.

“Saya mau tanya serius, Lala. Kalau memang sebalnya kamu ke saya itu tanpa alasan. Lalu, kenapa harus sebal? Kenapa kita tidak berteman saja?”

“Saya murid dan Anda guru. Bagaimana bisa berteman?” sahut Nayla ketus.

“Maksud saya, minimal kita tidak bertengkar setiap bertemu. Lagipula, sebenarnya kita tidak pernah punya masalah, La. Kita bisa menjalin komunikasi layaknya murid dan guru pada umumnya,” jelas Nadhif.

“Untuk ukuran umum, tidak ada seorang guru yang duduk berdua dengan muridnya di taman seperti ini, Ustaz.”

“Baiklah, terserah kamu mau menganggap apa. Yang jelas, saya tidak ingin kamu terus menerus merasa anti pada saya, Lala.” Nadhif mengusap wajah frustrasi, ia merasa kehabisan kalimat untuk menimpali jawaban kritis Nayla.

“Iya iya, saya sebenarnya paham dengan maksud Ustaz. Tidak perlu menampilkan wajah bingung begitu, Ustaz. Baiklah, kita berdamai,” kekeh Nayla pelan. Nadhif seketika takjub. Ia sampai tak sempat berkedip mendengar kekehan Nayla. Untuk pertama kalinya semenjak mereka saling kenal, baru sekali ini ia mendengar tawa gadis itu, apalagi ditujukan untuknya. Benar-benar terlihat mempesona.

“Astaghfirullah! Ustaz kenapa ngelihat saya begitu?” Nayla terkejut begitu menyadari Nadhif tengah menatapnya lama.

Nadhif tergagap, kemudian segera menunduk, “Eh, astaghfirullah.”

Nayla sontak berdiri, “Emm, saya balik ke kamar dulu, Ustaz. Gak enak dilihat orang. Nanti kalau orang-orang jadi suuzon malah dosa di kita.”

“Eh, iya iya. Silakan,” sahut Nadhif canggung.

“Assalamualaikum,” pamit Nayla. Entah mengapa sore ini ia begitu tenang menghadapi Nadhif.

“Waalaikumsalam,” jawab Nadhif. Namun, baru saja Nayla hendak melangkah, Nadhif kembali membuka suara, “Oh iya, terima kasih, La.”

Nayla mengernyitkan dahi, “Untuk?”

Nadhif tersenyum, “Sudah mau mengobrol banyak tanpa adu urat bersama saya. Percayalah, ini obrolan kita yang paling normal. Terima kasih juga karena sudah mau berdamai dengan saya.”

“Oh, iya. Sama-sama, Ustaz.” Nayla mengangguk, menyunggingkan senyum tipis sejenak, kemudian kembali melangkah.

Nadhif terpukau. Senyum Nayla tipis dan singkat. Namun, entah mengapa debaran di jantungnya terasa keras dan lama. Ia mendadak tak paham mengapa hatinya bisa seketika menghangat.

*****

“Nayl, kamu pulang-pulang dari taman kenapa senyum-senyum sendiri? Gak kerasukan, kan? Kamu sih surup-surup gini keluar kamar,” tegur Shanum. Ia merasa aneh dengan Nayla yang tiba-tiba merebahkan tubuh sembari tersenyum lebar.

“Apaan sih, Num. Ya enggaklah, ngawur kamu!” sungut Nayla.

“Ya siapa tahu, lagian kamu aneh. Jadi, kenapa senyam-senyum sendiri?” tanya Shanum penuh selidik.

“Kepo!” jawab Nayla sembari menjulurkan lidah.

“Ih, tumben kamu gak galak. Abis ngapain sih di taman?” Shanum benar-benar merasa aneh. Tak biasanya Nayla menanggapi sesuatu tanpa nada ketus.

“Gak usah kepo deh, Num. Udah sana lanjutin kegiatan kamu.” Nayla mendorong tubuh Shanum agar menjauh darinya.

Nayla kembali tersenyum begitu Shanum kembali sibuk dengan kegiatannya. Ia tak tahu tersenyum untuk apa. Ia hanya ingin tersenyum, itu saja. Jika tadi ia berkata pada Nadhif bahwa cinta adalah salah satu perkara yang tidak membutuhkan alasan. Maka kini, ia ingin menambahkan. Beberapa senyum juga tak membutuhkan alasan untuk muncul.
Iya, Nayla hanya ingin tersenyum sore ini, tanpa alasan.

*****

Ciye yang lagi senyum-senyum sendiri.
Ciye yang damai.
Ciye Nayla ciyeeee.

Masih suka nungguin Nadhif-Nayla, kan?
Selamat membacaaaaa.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Labirin Cinta NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang