Dulu, saat Hyunjin berumur empat tahun, Chan hyung mengajarinya tentang arti menyayangi dan mencintai tanpa mengharapkan balasan.
Di umurnya yang masih sangat belia, Hyunjin mudah memahami apa yang dibicarakan orang-orang dewasa, makanya ia cepat pula memahami perasaan menyayangi dan mencintai itu. Ia menyayangi Chan hyung, dan ia mencintai lelaki itu walaupun Chan hyung hanyalah seorang kakak asuh di panti asuhan yang ditempatinya.
Hyunjin sudah begitu merasakan kekeluargaan di panti asuhan yang telah menerimanya sejak ia lahir. Walaupun ia tidak tahu siapa orang tua kandungnya, ia bersyukur telah ditempatkan di panti itu yang menjadi tempat ia belajar tentang kehidupan selama empat tahun belakangan ini.
Tetapi rasa kekeluargaan yang ia miliki itu akan segera punah saat ia diberitahu oleh Chan hyung kalau akan ada sepasang suami istri yang ingin mengadopsinya sebagai anak. Hyunjin bahagia, ia tidak bisa memungkiri itu. Mungkin ia akan merasakan rasa menyayangi dan mencintai yang benar-benar khusus untuk dirinya setelah ia mendapatkan orang tua angkat.
Tetapi ternyata, ada rasa kecewa yang merayap hatinya saat melihat siapa calon orang tua angkatnya.
"Hei, Hyunjin, sini kemari. Sapa kedua orangtuamu," Chan hyung memanggil Hyunjin yang bersembunyi di balik tembok. Sementara lelaki muda itu duduk di ruang tamu bersama dua pria asing.
Dengan langkah ragu, Hyunjin keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan mendekati Chan hyung. Bocah kecil itu kemudian duduk di pangkuan Chan hyung sambil menatap kedua pria asing di sebrang sofa dengan tatapan ragu.
"Hai, Hyunjin," sapa pria asing yang bertubuh paling kecil sambil melambaikan tangannya pada Hyunjin. Bibirnya tersenyum dan pria itu terlihat sangat bahagia bisa bertemu dengan calon anak angkatnya.
Melihat Hyunjin yang hanya diam saja, Chan hyung menurunkan Hyunjin dari pangkuannya dan mendorong bocah itu untuk mendekat pada calon orang tua angkatnya.
"Ayo sapa appa dan aboeji. Cium kedua tangannya. Mereka akan menjadi orang tua yang hebat untukmu, Hyunjin," ucap bibir kecil Chan hyung.
Hyunjin melangkah mendekati kedua pria asing―yang adalah calon orang tua angkatnya―dengan langkah ragu. Sama seperti hatinya, yang merasakan keraguan untuk menerima kedua pria itu sebagai appa dan aboeji-nya. Karena...
Ya Tuhan! Demi apa? Kedua orang tuanya bukan sepasang pria dan wanita!
Melainkan sepasang... gay.
**
Mungkin Tuhan memang sudah menuliskan takdir-Nya untuk Hyunjin. Ia hidup dan dibesarkan oleh kedua pria yang kemudian ia panggil dengan sebutan appa dan aboeji.
Tidak seperti apa yang diragukan Hyunjin, ternyata kedua pria itu sangat menerima kehadirannya di rumah kecil mereka. Kedua pria itu sangat menyayangi dan mencintai Hyunjin. Mereka merawat Hyunjin seperti merawat anaknya sendiri. Dan Hyunjin merasa mereka berdua adalah Chan hyung kedua di dunia ini. Mereka benar-benar seperti Chan hyung. Merawatnya, menjaganya, mengajarinya, menyayanginya, bahkan mencintainya.
Cinta?
Hyunjin pernah bertanya suatu kali saat ia hanya berdua bersama appa di rumah ketika malam hari, sementara aboeji sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Ketika itu usia Hyunjin sudah memasuki sepuluh tahun. Dan Hyunjin sudah mulai mengerti perasaan yang begitu dewasa itu.
"Apakah appa benar-benar mencintai aboeji?"
"Tentu saja, Hyunjin sayang. Kalau appa tidak mencintai aboeji, untuk apa appa menikah dengannya?"
"Tetapi bukankah kalian sama?"
Appa hanya terdiam beberapa saat sebelum kembali menjawab. "Apakah Hyunjin pernah mendengar kalimat 'cinta itu buta'?"
Hyunjin mengangguk. Ia pernah menemukan kalimat itu di salah satu artikel majalah yang ia baca.
"Cinta itu tidak mempunyai mata, Hyunjinnie~. Makanya dia disebut dengan cinta itu buta. Karena cinta tidak perlu melihat. Dia hanya perlu merasakan." Appa menggerakkan tangannya menyentuh dada Hyunjin. Hyunjin hanya memperhatikan tangan appa-nya yang berada di depan dadanya. "Di sini. Cinta hanya perlu merasakannya di sini. Di dalam hati."
Hyunjin menggerakkan tangannya menyentuh dadanya sendiri setelah appa menurunkan tangannya. Dia merasakan hatinya berdebar setelah mendengar ucapan appa-nya. Entah karena apa.
"Kelak akan ada seseorang yang menarik perhatianmu, entah itu lawan jenismu atau sesama jenismu. Dan pada saat hal itu terjadi, janganlah menolaknya dengan mengingkari perasaanmu. Biarkan hatimu berbicara. Biarkan hatimu yang merasakan. Kamu hanya perlu mengikuti alurnya."
"Walaupun dia sesama jenis, appa?"
Appa mengangguk.
"Apakah itu yang appa rasakan saat bertemu dengan aboeji?"
Sekali lagi appa mengangguk. "Dulu, appa pikir, seharusnya ini tidak boleh terjadi. Appa tahu perasaan ini salah. Pasti salah. Tetapi hati appa sudah berbicara dan appa tidak bisa mengingkarinya. Karena ketika orang yang tepat datang, appa akan mengetahuinya."
Setelah pembicaraan empat mata dengan appa-nya, Hyunjin kemudian merasakan kehidupannya begitu singkat. Menjalani hidupnya sehari-hari sebagai pelajar, pulang ke rumah membantu appa memasak, atau pun menemani aboeji bermain catur, mengobrol ngalor-ngidur bersama kedua orang tuanya, dan kegiatan lainnya yang menurutnya sama sekali tidak istimewa. Semua itu terasa begitu singkat hingga ia tak sadar sembilan tahun sudah berlalu dengan cepat.
Dan pada tahun itulah Hyunjin bertemu Seungmin.
Di umurnya yang saat itu sudah menginjak sembilan belas tahun, Hyunjin bertemu dengan Seungmin. Dan ia hanya perlu waktu semenit untuk menafsir Seungmin, sejam untuk menyukai Seungmin, dan sehari untuk mencintai Seungmin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boys Who Are Like Wild Birds [Hyunmin] ✔
Fanfic... but eventually Hyunjin will come back to Seungmin. [bxb, boys love]