Pagi ini, Zheya bangun dengan mata berbinar indah. Bagaimana tidak, Om Beno yang menetap di Malaysia itu pulang mengunjungi rumahnya dengan membawa sebuah kamera cantik untuk Zheya.Rasanya, Zheya ingin sujud syukur saat itu juga pada Om Beno sebab sudah mengerti betul apa yang sangat ia inginkan.
Karenanya, Zheya jadi tambah semangat hari ini. Ia menghabiskan sarapannya dengan lahap dan sigap, sampai-sampai Bunda memarahinya saat terbatuk ketika minum susu. "Zheya, pelan-pelan minumnya,"
Zheya menjauhkan gelas dari bibirnya, ia bertitah. "Nggak bisa, Bun. Zheya mau buru-buru ke sekolah!"
Om Beno mendengus geli. "Duh, Om jadi nyesel kasih hadiah kamera buat Zheya." Ucapnya dengan nada yang dibuat-buat sedih.
Airmuka Zheya seketika layu dan tidak bersemangat lagi. "Yah..., kenapa?"
"Haha, enggak kok Om bercanda," Om Beno tertawa.
"Dasar Om Bemo!"
"Loh, kok Bemo?" Tanya Bunda sedikit mengernyit.
"Soalnya Om Beno mirip Bemo-nya Bang Jarwo, hihi!"
Om Beno dan Bunda tertawa. "Udah pinter ya, sekarang nyamain Om sama bemo butut. Siapa yang ngajarin?"
"Om Beno!" Zheya menambah gelakannya seraya menunjuk Om Beno. "Udahlah, Om Beno, Bunda, Zheya pergi dulu! Dadah," Pamitnya setelah ia sedikit meredakan tawa. Zheya berlari terbirit-birit menuju pintu depan.
"Zheya! Kamu nggak mau minta anter Om?" Om Beno bertanya, sedikit keras karena bayangan Zheya sudah sepenuhnya meninggalkan dapur.
Di depan pintu sembari mengenakan sneakers, Zheya berseru. "Makasih, Om. Zheya mau naik sepeda aja!"
Zheya lekas meraih sepedanya di gudang yang sekarang menjelma menjadi garasi. Disinilah letak sepeda black-pink Zheya terparkir bersama satu motor matic yang biasa Bunda gunakan, dan mobil hitam metal jika saja Ayah pulang.
Jam tangan di pergelangan kiri Zheya memberitahunya bahwa sekarang masih pukul enam. Zheya tersenyum. Setidaknya, ia akan punya banyak waktu luang untuk menggunakan kamera barunya sebelum bel masuk berdering.
Jalanan Semarang tampak ramai. Maklum saja, ini hari kerja. Semua orang pasti tengah sibuk berhimpitan menuju tempat tujuan mereka masing-masing. Sama halnya dengan Zheya yang telaten mengkayuh pedal sepeda.
Biarpun padat, Semarang tidak seperti Jakarta. Kota ini benar-benar istimewa. Tidak ada polusi, dan tenang. Zheya jadi merasa beruntung karena setahun lalu ia membuat keputusan yang benar dengan ikut Bunda merawat Eyang Uti yang kini sudah tenang di alam surga.
Ya, sebenarnya Zheya tinggal di Jakarta bersama Bunda, Ayah, dan saudara perempuan yang tiga tahun lebih tua darinya; Zoya. Namun, kabar buruk datang dari keluarga Bunda yang tinggal di Semarang. Tante Reyna–istri Om Beno–memberitahukan bahwa Eyang Uti sakit keras. Sehingga dengan seizin Ayah, Bunda pergi bersama Zheya untuk merawat beliau.
Beberapa bulan setelah divonis sakit stroke, Eyang Uti meninggal dunia. Kala itu seluruh keluarga baik yang di Jakarta maupun Semarang serta Om Beno yang bekerja di Malaysia berbondong-bondong ke rumah duka. Kemudian, setelah perginya Eyang Uti, Tante Reyna memutuskan untuk ikut bersama suaminya ke Malaysia. Dan mau tak mau Bunda menjaga rumah warisan Eyang Uti bersama Zheya.
Ayah sepertinya tidak terlalu keberatan, apalagi Zoya.
"Zheya!" Suara nyaring seorang cewek memanggil namanya. Membuat Zheya celingukan mencari dimana asal suara. "Zheya, aku disini!" Zheya lalu menengokkan kepalanya, ternyata itu Luvi.
"Eh, Luvi!" Sahut Zheya menatap Luvi dan jalanan di depan bergantian. Luvi tampaknya tengah sedikit menyembulkan kepala di balik jendela mobil milik Papanya.
"Kita ketemu di sekolah ya!" Seru Luvi lagi. Jendela mobil yang terbuka di depannya mulai menutup kembali.
"Iya!"
Setelah itu, Luvi melaju dengan mobilnya. Dan Zheya jelas tak mau kalah, ia semakin menambah kecepatan mengkayuh sepedanya.
Beberapa kilometer lagi Zheya akan sampai pada gerbang sekolahnya. Ia melihat Luvi sudah turun dari mobil dan menunggunya di depan gerbang. "Tunggu bentar lagi, Luv," gumamnya tak sabaran.
Saking tidak sabarnya sampai Zheya lupa ada seorang pria jangkung yang tengah menyebrang di zebracroos. Zheya kelimpungan, kini mengerem pun tak sempat. Ban sepedanya keburu menyerempet sisi kanan pria jangkung itu. Membuatnya sedikit terhuyung jatuh dan Zheya lekas menabrakkan sepedanya ke pembatas jalan.
Keduanya jatuh.
Ini kecelakaan.
Luvi terkejut pun dengan beberapa guru yang kedapatan sedang piket menyalami para siswa. Sahabat Zheya sejak ia pindah itu langsung menghampiri Zheya dan menolongnya. "Zheya! Kamu nggak apa-apa? Zheya," Tanyanya dengan nada bergetar.
"Aku nggak pa-pa, Luv. Tapi Kakak-Kakak itu...,"
Zheya bangkit dan mendirikan sepedanya yang tadi sempat tergeletak menindih tubuh mungilnya. Ia melupakan rasa sakit di lututnya dan bergegas memastikan orang yang ia tabrak baik-baik saja.
"Kak, Kakak baik-baik aja kan? Ada yang luka nggak? Perlu diobatin?" Zheya bertanya memegang pundak pria yang masih terduduk di hadapannya ini.
"Nggak pa-pa,"
"Masih bisa berdiri kan?"
Pria itu lekas berdiri dengan Zheya yang membantunya. Ia sedikit pincang dan kesulitan berdiri tegak. "Saya oke, cuma baju saya jadi kotor."
Zheya dengan sisa kepanikan yang ada langsung bergerak membersihkan bagian blazer pria itu yang kotor. "Eh, kamu ngapain?" Tanya pria itu tersekat.
"Aku mau bersihin blazer-nya."
"Udah, nggak apa-apa. Saya permisi dulu,"
Pria itu bergerak hendak meninggalkannya. Namun Zheya mencegat. "Eh, tunggu dulu. Aku mau minta maaf udah bikin Kakak kayak gini. Hm, nama Kakak siapa?"
"Udah saya bilang, saya oke."
"Namanya?"
"Nggak terlalu penting. Tapi yah, nama saya Darrel."
"Oke, makasih!"
Dan seperti tidak sedang merasa kesakitan setelah jatuh, Zheya kembali ke tempatnya lagi dimana ada Luvi yang siap mencaci-makinya karena ia tidak hati-hati dalam bersepeda.
"Zheya, kamu gimana sih, naik sepeda nggak ati-ati gini? Untung Masnya baik mau maafin kamu, coba kalo enggak."
Peduli setan dengan omelan Luvi, Zheya berdecak riang. "Luvii, kamu tau nggak? Kakak-Kakak tadi ganteng bangeeett,"
Luvi mengernyit.
"Namanya Darren. Astagaa Luvi, dia ganteng,"
"Iya, iya terserah. Udah ayo, masuk. Kamu nggak malu diliatin banyak orang?"
Mendengar itu, Zheya spontan menatap sekelilingnya. Beberapa pengguna jalan, beberapa siswa SMA, dan guru yang berdiri di depan gerbang. Mereka semua menonton Zheya sejak tadi.
Astaga, seketika pipi Zheya merona malu. Dan karena itu, luka di lututnya yang baru saja ia dapat jadi terasa sedikit nyeri.
|♪|
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Form [butuh revisi]
Teen FictionKisah tentang Darrelyon Sterling, si air tanpa wadah yang mencari-cari bentuk cintanya.