9. Simpatik?

2.3K 102 3
                                    


Dua hari sejak kejadian itu tak hentinya ia terus memikirkan Rena. Ucapan Rena masih membekas dihatinya. Ia sudah berusaha melupakan kejadian itu tapi kenapa wajah Rena masih menghantuinya? Sial!

Rena masih sekolah seperti biasanya, ia sudah pasrah dengan apapun keadaan yang menimpanya. Saat ini ia diperpustakaan membaca seputar kesenian tari. Ia masih mencintai impiannya itu menjadi seorang penari terkenal.

Namun ingatan dua hari yang lalu masih saja diingatannya.

"Baiklah kak— sekarang aku sudah yakin, mungkin pria itu bukan kakak. Dari penolakan kakak aku sudah yakin kalau dia bukan kakak—, aku yang salah sudah menuduh kakak." Ucapnya dengan tetes air matanya.

"Ren— nak, tapi bukankah kamu mengatakan kalau Ryan yang sudah menghamilimu?"

"Bukan bu— bukan Ryan, bukan dia. Lebih baik kita pulang bu, ya bu..." ucap Rena sembari menolong ibunya berdiri dan mereka pergi meninggalkan Ryan yang mematung.

Rena menitikkan air matanya mengingat itu lagi. Kenapa hidupnya sekarang jungkir balik 180 derajat? Mana Rena yang dulu berprestasi bahkan membanggakan ibu dan ayahnya juga sekolahnya.

Ia kembali masuk ke kelas setelah bel tanda masuk nyaring terdengar bunyinya. Ia mengikuti pelajarannya dengan wajah pucatnya.

Ibu Guru Yenny adalah salah satu guru yang sangat menyukai Rena selain berprestasi ia juga selalu masuk siswi yang selalu berhasil mengharumkan nama sekolahnya.

Disela pelajarannya ia merasa mulutnya ingin memuntahkan isi perutnya. Astaga kenapa harus sekarang? Rasa mualnya mulai bergelanyut, dan Dessy menatapinya bingung.

"Mual?" Ucapnya pelan.

Rena hanya mengangguk kecil.

"Buruan gih kamar mandi, takutnya temen kita pada curigaan lagi."

Rena mengangguk patuh, lalu ia berdiri dan menuju ibu Yenny.

"Bu, izin ke toilet."

"Iyaa Rena," ibu Yenny tersenyum.

Rena mempercepat langkahnya menuju toilet dan ia muntah, perutnya terasa sakit sekali. Walaupun sedari tadi hanya cairan bening saja yang keluar dari mulutnya. ia menatap kaca yang terpampang di toilet itu bahkan ia tidak pernah membayangkan kalau ia akan hamil di usia yang masih sangat muda. Rena meringis menahan air matanya, ia tidak kuat menghadapi kenyataannya.

Ia menegarkan hatinya, sudah ada Yosri dengan beberapa temannya juga beberapa guru menatapinya heran.

"Yos? Ibu Lela?"

"Mari ke kantor," ibu Lela pergi meninggalkan Rena begitu saja diikuti guru lain.

"Rasain kamu! makanya jangan cewe jangan sok munafik." Yosri menahan emosinya.

Rena tidak menjawab dan memilih bungkam lalu ia pergi mengikuti jejak kepala sekolahnya dengan suasana hati campur aduk antara takut, frustasi juga lelah.

"Tolong ceritakan apa yang dikatakan Yosri itu tidak benarkan nak?" Ibu Lela merasa sangat tidak percaya dengan kabar itu.

Rena yang sedari tadi duduk, ia tertunduk takut bahkan tangannya terasa basah karena kegugupannya. ia tidak siap kalau harus dikeluarkan dari sekolah, tapi apa dia punya hak untuk tetap bertahan?

"Rena, tolong lihat ibu nak. katakan kalau Yosri itu bohong."

Perlahan Rena mulai mendongakkan kepalanya menatap ibu Lela dengan ragu.

"Rena ..."

"Bohongkan nak?"

Rena menatapi beberapa guru ikut menatapnya dengan tatapan was-was.

RenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang