Tujuh

9 3 0
                                    

"Maksutnya teh?" Natan bertanya-tanya.

"Ehh kalian, kalo mau ribut jangan disini dong. Orang lagi ngantri ni!" Teriak salah satu konsumen pada mereka.

Teh Dina langsung mengambil posisi antriannya. Natan masih berdiri mematung memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Disamping itu Cici terlihat pucat dan lemas.

"Sayang, mana ice cream nya?" Ucap bang Jonas pada teh Dina yang sudah mendapat giliran.

"Iya sabar sayang!" Balas teh Dina dengan wajah cemberut.

"Kenapa sih... kok cemberutttt!!" Tanya bang Jonas yang hanya dibalas dengan senyuman kecut dari Teh Dina.

Cici langsung menarik lengan Natan untuk pergi dari kerumunan.

"Kenapa sih Ci? Lu narik-narik gitu!" Natan mengibaskan tangannya dari genggaman Cici.

Raut wajah Cici berubah drastis setelah bertemu dengan Teh Dina. Dia merasa takut karena pernah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Cici takut Natan akan tahu betapa busuknya dia. Selama ini dia sudah banyak membohongi semua orang dengan wajah alim dan sok suci nya.

"K..ki..tt..tta pulang Yuk! Tiba-tiba perut gue sakit Tan." Alibi Cici.

"Serius perut lo sakit? Yaudah ayo pulang Ci!" Natan langsung merasa cemas seketika.

******

"Heh Lel?" Ucap Reynald

"Emm"

"Lu yakin mau pergi?"

"Entah" Jawab Leli tanpa keyakinan.

"Yaudah gausah pergi Lel!" Ucap Nila.

Mereka berempat menatap kosong pandangan didepan nya sambil memangku kaki. Suasana itu terasa aneh. Leli yang tadinya semangat ingin pergi merasa bimbang dengan keputusannya.

Jam udah nunjukin pukul 7 malem. Gue dan temen-temen udah sampe di stasiun. Nila genggam tangan Leli erat banget kayak gak nge-izinin Leli pergi. Tapi Leli harus tetep pergi, mencari kehidupan baru. Leli mau ngulang semuanya dari awal. Punya kerjaan baru, temen-temen baru, tapi gak buat pacar baru.

Mereka duduk di kursi tunggu, nungguin kereta nya dateng. Mungkin Leli udah kecewa banget sama kehidupan dan beberapa orang di kota ini. Walaupun Leli emang lahirnya disini!

Leli menerawang jauh mengelilingi stasiun. Melihat kesana dan kemari. Berharap Natan lari tergopoh-gopoh ke arah nya dan meminta maaf. Tapi halusinasi gadis itu terlalu tinggi. Semua itu gak terjadi sampe kereta dateng.

Temen-temen yang nganterin Leli tertegun mendengar bunyi klakson kereta. Mereka semua memandang gue dengan raut wajah yang tak biasa.

"Lel, jangan lupain kita ya!" Ucap Nila sambil memeluk gue.

"Iya. Gak bakal kok. Makasih lo, kalian udah nganterin gue sampe nungguin lagi!"

"Lu sehat-sehat ya!" Ucap Reki.

"Iya tenang aja. Yaudah gue pegi yak! Bye semuanya. Semoga aja kita ketemu lagi!" Ucap gue sambil melambaikan tangan dan melangkah semakin jauh dari mereka.

Sadar air mata gue netes, gue sedih banget tapi gue juga kecewa. Gak ada yang gue harepin lagi disini. Setidaknya dengan kepergian gue, semuanya bakal baik-baik aja. Termasuk luka gue.

Sementara itu...

"Ci! Perut lo masih sakit?"

"Masih Nat!"

"Yaudah elo istirahat aja ya. Gue mau pulang!"

"Nanti aja pulang nya. Please!"

"Tapi kan elo sakit!"

"Ya mangkanya gue lagi sakit. Please temenin gue!"

"Emm.. iya!"

Ponsel Natan berdering, Natan langsung sigap mengambil ponsel dari saku celananya. Nampak disana nama Reynald yang menelpon.

"Siapa Nat?" Tanya Cici

"Ini Reynald!"

"Udah gausah di angkat, paling mau ngomelin elu lagi!" Ucap Cici.

Natan mematikan ponsel dan memasukan nya kedalam tas. Tanpa penasaran kenapa Reynald menelpon. Natan masih duduk di sebelah Cici kayak orang dongo dengerin omongan Cici yang ngatur-ngatur.

Selama gue pacaran sama Natan gue gak pernah ngatur Natan sama sekali. Karna gue tau, di atur itu gak enak.

"Eh Ci, udah malem ni! Gue pulang ya, besok mau kerja." Ucap Natan meminta izin.

"Yaudah iya, hati-hati ya Tan!"

"Oke!" Ucap Natan sambil tersenyum.

"Makasih ya buat hari ini."

"Weess!"

TOUGH LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang