Seperti hari-hari sebelumnya, Diba tidak mengikuti pelajaran karena harus melakukan persiapan untuk olimpiade. Bertemu Aga lagi, membuat jalannya untuk melupakan Aga semakin sulit. Apalagi setiap istirahat Sasya menghampiri Aga diruang bimbingan membuat Diba harus bisa menahan rasa cemburunya. Ia tidak punya kuasa untuk menyuruh Aga menjauh dari Sasya dan menjaga perasaannya. Membiarkan Aga dengan pilihannya, melihat Aga bahagia dengan pilihannya, itu yang dipilih Diba untuk menguatkan hatinya.
Diba keluar dari ruangan itu, mencari udara segar di taman belakang dengan setumpuk buku untuk ia pelajari. Tidak mau menahan sesak melihat Aga dan Sasya yang selalu terlihat mesra. Aga yang cuek di depan Diba, berbanding terbalik dengan Aga yang begitu manis di depan Sasya.
***
"Ka lo beneran udah jadian sama si Lisya? Lo beneran bisa move on dari si Sasya?" tanya Rey yang tetap fokus dengan game diponselnya.
"Gue nggak yakin bisa lupain Sasya, tapi gue harus coba supaya Aga tetap pada pilihannya, dan gue bakal lupain Sasya lewat Lisya"
"Tapi gue lebih setuju Aga sama si Diba sih Ka. Lo tau kan Sasya sepupunya Vero?"
"Jangan berburuk sangka dulu. Setahu gue, Sasya nggak berhubungan baik dengan Vero. Biarin Aga dengan pilihannya sendiri Rey. Dia butuh waktu buat ingat semuanya"
"Sa ae lu nyet!" ucap Rey sambil menoyor kepala Arka yang sedang memakan siomaynya.
"Sakit bego!"
Ddrrrttt
+6282338******Jaga sahabat lo sebaik mungkin
Tangan Arka mengepal. Teror itu lagi. Rey yang mengetahui jika Arka sedang marah merebut ponsel yang berada digenggaman Arka. Rahangnya mengeras, Rey tau jika Arka sangat tidak suka diteror, apalagi aksi teror itu melibatkan sahabatnya. Rey kembali melihat ponsel Arka, membaca ulang pesan yang masuk dan meneliti nomor pengirimnya. Rey tidak asing dengan nomor itu. Arka bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan Rey begitu saja.
"Tenangin dulu diri lo Ka. Lo jangan sampai gegabah"
"Gimana gue bisa tenang Rey, perasaan gue nggak enak tentang Aga"
"Kita cukup selalu ada buat Aga Ka. Kita harus ada waktu dia lagi emosi, kita harus ada waktu dia lagi butuh temen. Kita harus bisa nenangin dia" Arka diam. Ia mencerna ucapan Rey. Rey benar, Aga bisa bahaya jika dia sedang emosi. Arka tau kelicikan dari Vero dan genknya. Mereka akan melakukan segala cara untuk mematahkan lawannya.
"Kita peringatin Aga sekarang, kelemahannya ada di masa lalunya" ucap Rey lalu bangkit dari duduknya.
Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang mendengar dan merekam pembicaraan mereka. Seseorang yang bisa saja membuat hancur Aga, juga orang-orang terdekatnya. Rey lupa mengunci pintu kearah rooftop. Kecerobohan yang bisa menjadi awal kehancuran.
"Lo nggak ngunci pintu rooftop?"
"Gue lupa Ka. Kenapa?"
"Tadi gue lihat bayangan seseorang. Gue takut dia denger pembicaraan kita"
"Nggak ada orang nyet! Kita juga cuma ngomongin buat jagain Aga"
"Dia bakal tau kelemahan Aga. Dan dia bisa aja nyebarin itu—kalau dia orang yang jahat" ucap Arka lalu turun mendahului Rey. Rey terdiam. Apa yang dikatakan Arka benar. Ia merutuki dirinya sendiri yang ceroboh tidak mengunci pintu rooftop. Bisa saja itu menjadi senjata lawan untuk semakin menghancurkan Aga. Rey, Arka maupun anggota Destroger tau jika penyebab kecelakaan Aga dulu adalah ulah genk motor yang diketuai oleh Vero.
"Hallo, Vero Pradipta Nugraha. Gue punya berita bagus buat lo. Jam 7 gue tunggu di taman balai kota sebelah utara"
"Lo siap—" panggilan terputus sepihak. Bahkan Vero belum sempat selesau bertanya.
"Sebentar lagi lo akan lebih hancur Adhitya Gracio Adelard" ucapnya dengan pelan dan seringai yang licik.
***
"Besok ada sosialisasi dari kepala sekolah. Ibu harap kalian bisa mendapat juara pertama. Maaf besok ibu tidak bisa menemani kalian bimbingan, tetap akur dan tingkatkan kerja sama kalian. Ingat, kalian satu tim" ucap Bu Rini sambil mengemasi buku-bukunya. Baik Aga maupun Diba tidak ada yang berniat untuk menjawab ucapan Bu Rini, mereka memilih diam dan mendengarkan setiap ucapan Bu Rini.
Melihat kedua anak didiknya yang tidak merespon membuat Bu Rini menghela nafas berat dan menggelengkan kepalanya. Heran dengan dua remaja yang sedang ada dihadapannya kenapa sekarang menjadi saling menjauh, padahal sebelumnya mereka menjadi sesuatu yang utuh. Memang anak remaja jaman now sangat aneh.
Bu Rini keluar dari ruangan setelah mengucapkan salam dan memberikan setumpuk soal untuk dipelajari Aga dan Diba. Sebenarnya bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, namun Aga dan Diba masih setia berada diruang bimbingan dengan pikirannya sendiri-sendiri. Hening. Tidak ada yang bersuara sepatah kata pun. Bahkan hembusan nafas mereka pun nyaris tak terdengar. Hingga beberapa saat suara decitan dari kursi Aga memecah keheningan. Aga memberesi bukunya lalu keluar dari ruangan tanpa sepatah katapun. Diba melihat Aga yang mulai menjauh. Hatinya teriris, kenapa Aga sama sekali tidak menganggap keberadaan Diba? Mungkinkah Diba seperti makhluk ghaib bagi Aga?
'Sabar Dib, dua hari lagi' batin Diba dalam hati. Rasanya ia ingin segera menjauh dari Aga, berusaha menyembuhkan lukanya sedikit demi sedikit. Mencari ketenangan yang selama ini masih belum bisa ia temukan. Benar kata Lisya, ia tidak boleh seperti ini terus menerus, bahagia itu diciptakan bukan dicari. Diba harus bisa menciptakan bahagianya sendiri. Ia tidak boleh terpuruk terus menerus, Aga sudah bahagia seharusnya Diba pun sudah bahagia meski—tidak bersama Aga.
***
Cinta itu luka yang berawal dari rasa. Rasa suka yang berubah menjadi cinta. Seiring waktu menjadi asa. Hingga akhirnya berakhir dengan luka.
Hello readers😍
Bagaimana dengan part ini?
Suka nggak? 🤔
Kalau kalian suka komen ya! Nanti ceritanya aku lanjutin❤Tinggalkan jejak kalian, oke?😉
Semoga kalian suka ya❤
KAMU SEDANG MEMBACA
A.G.A [Selesai]
Teen FictionAku pernah mencintai dengan sangat, lalu takdir memberi cobaan hebat, dan akhirnya kau membalas ku dengan luka yang menyayat~ SELAMAT MEMBACA SEMUA 🌈 VOTEMENT KALIAN ADALAH SEMANGATKU ❤