Pesta telah usai. Hiruk pikuk dan lalu lalang tamu sudah buyar. Sekelilingnya masih berantakan seperti bekas konser idol. Lumayan kotor. Terlihat juga di tengah ruangan lelaki paruh baya mengintruksikan para pegawainya untuk melepas pernak pernik dekorasi pernikahan. Lelaki yang lebih muda merapikan meja dan kursi berderet. Ada yang melepas kelambu, mengambil hiasan bunga hidup dan mati serta mematikan lilin berukuran besar berbentuk hati yang terpajang di tengah ruangan. Lilin - lilin kecil berwarna merah bertabur diatasnya.
Mereka kompak, cekatan dan jelas prosfesional. Mana mungkin keluargaku menyewa orang tidak kompeten dibidangnya. Bisa - bisa acara ini buyar. Well, acara lancar jaya.Ya sepupuku menikah, anak om yang paling dekat denganku. Om Rian. Pemilik tambang batu bara di Kalimantan. Jutawan Indonesia. Simon nama anak sulungnya yang tak lain sepupuku. Orangnya keren tapi agak sombong. Persis diriku. Ya Allah maafkan kami. Dia lulusan Universitas Oxford. Cumlaude. Bener deh tuh anak otaknya encer. Tujuh tahun dia hidup di sana. Sendiri. Kadang om Rian mengunjunginya sesekali. Tidak tiap tahun. Dia anak lelaki bukan perempuan. Ada rumah permanen keluarga Poses. Tiap akhir tahun ditahun ganjil pasti aku, Simon, dan Memet menghabiskan waktu liburan di sana. Private Jet adalah transportasi keluarga kami saat liburan. Di mulai saat usia kami remaja tentunya. Suasana kota Oxford membuatku rindu ingin pergi menikmati sore di sana. Kota tua yang artistik. Suasana kota yang sendu. Apalagi saat musim dingin, entah apa yang merasukiku sampai aku betah untuk berlama lama tinggal di sana.
"Saya terima, nikah dan mas kawinnya Jessyka Isnandar binti Mahmud Almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."
Ucap Simon lantang.
"Bagaimana? Sah? Sah? Sah? "
Pak Penghulu menegaskan kepada saksi kedua mempelai, keluarga, dan tamu yang hadir.
Spontan seluruh tamu undangan berkata Sah. Mereka menjadi suami istri. Simon dan Jessy. Selamat yaaa. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Aamiin.
Tepuk tangan riuh menggema. Tak luput adegan drama tangisan keluarga besarku pecah. Aku pun demikian. Tak kuasa menahan haru. Indahnya suasana ini. Aku rindu dan menginginkannya. Nanti.
"hey Sabil" sapa seseorang dari sudut ruangan. Aku menoleh dalam sekerjab mata. Lelaki maskulin menyapaku. Tak ku gubris dan kubiarkan dia berharap cemas. Aku tidak tertarik. Tuxedonya terlihat menawan walaupun hanya sekilas mata memandang. Rupawan iya. Mungkin dari keluarga kolega om Rian.
Dasar nih! Dia kurang ajar banget ngedahuluin nikah. Gumamku. Langkah kakiku agak cepat menuju pelaminan. Untuk memberikan pelukan terakhir padanya. Secara dia sekarang suami orang. Nggak bisa bebas lagi nyerobot sembarangan. Meskipun kita saudara.
"Simon"
Pelukanku mendarat.
"Jagain Jessy dengan baik. Ingat lu punya sodara perempuan, gue"
Dia memberiku hormat mengiyakan sambil meringis. Jessy juga mengulurkan tangan mungilnya memelukku erat. Dia tersenyum bahagia melepas lajangnya dengan sepupuku yaa ku katakan memang tampan. Aku melepas pelukannya pelan dan memberikan sepatah dua patah kata nasihat. Bla bla bla... Dan seterusnya. Jessy mengangguk pelan.
Saat semua mata tersenyum padanya kadang aku merasa kikuk mengapa hal seperti ini belum terjadi padaku? Oke belum saatnya. Pasti nanti. Percaya saja Allah lebih Tau. Wah pikiranku jadi kemana - mana. Sadar Sabil. Life goes on.
Sekejap mata ruang megah milik keluarga besarku ini rapi. Semua orang sudah pergi. Hanya aku dan adikku Memet yang masih asyik dengan kado - kado dari teman Simon. Angin berhembus menusuk kulitku, dingin lantaran hujan. Deras sekali. Jika hujan turun dengan derasnya redanya pun cepat, namun jika hujan turunnya berupa titik - titik kecil alias gerimis redanya pun lama.
Zraaaa...
Bunyi derasnya hujan. Gelap tanpa bintang, aku bisa melihatnya dari langit - langit Hall Poses. Atapnya yang paling tengah terbuat dari kaca. Diameternya kira - kira 2 meter. Saat malam dan tidak hujan cahaya bulan menembus dengan indahnya. Cahaya berpendar memenuhi ruangan. Indah. Aku masih mematung dengan menengadah. Melihat dentuman hujan mengenai kaca. Senyumku menyibak. Teringat dulu. Ada seorang anak kecil laki - laki memberiku gelang tali saat aku menangis sendiri disini. 10 tahun lalu. Saat acara perayaan pernikahan emas kakek Poses dan nenek Waginem. Dia menghampiriku. Mengangkat wajahku yang dibanjari air mata. Mataku sembab. Dia tersenyum manis dan memberiku benda yang diluar dugaan. Gelang tali yang sampai sekarang masih ku pakai. Kubelai lembut gelang talinya.
"Apa kabarmu"
Ku sampaikan rindu dikala hujan ini turun. Tak berapa lama, 20 menit kemudian hujan reda. Angin berhembus perlahan. Pintu besar utama masih terbuka dan memang si Memet belum menutupnya. Aku memanggil kecil adikku satu ini untuk segera menutup pintu utama dan menyisakan pintu darurat menuju keluar.
Sunyi hanya suara air mancur yang terngiang. Menyebalkan. Momen apa ini? Akhirnya aku dan Memet jadi korban.
Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju kamar utama bangunan super besar ini. Kalah rumah presiden. Keluarga Poses memang top markotop. Hihi.... Supaya rampung tugas yang diembankan padaku aku menelpon pak Ilen untuk membantu memasukkan semua kado ke lemari penyimpanan. Percuma saja ku taruh di kamar Simon, toh dia lagi bulan madu ke Praha. Busyet dah tuh anak, jauh amat bulan madunya. Aku lelah. Tiga hari ini sibuk dengan penataan acara pernikahan Simon. Beneran lelah. Dasar nih anak. Tetapi dia adalah satu - satunya sepupuku, meski menjengkelkan tetaplah aku menyayanginya.
"Met, ayo balik. "
Ajakanku yang tak digubrisnya karena dia lagi asyik duduk mojok sambil nge game.
"Woi Met, ntar lu gue jambak"
"Apaan sih Kak. " melengos
Sangking malesnya nurutin maunya nge game cubitan manja mendarat dahsyat di pipi bakpaonya. Segera ku seret tangan dan mengambil Handphonenya. Kulempar bebas ke tas pesta biruku. Aman. Memet manyun bukan kepalang, ekspresi songongnya kumat sambil mengikutiku di belakang. Tapi masa bodoh akh, suka - suka lu dah Met. Kekehku pelan.
Rumah utama keluarga Poses terpisah dengan rumah yang kutinggali. Satu komplek hanya saja Papa tidak ingin menempati rumah induk karena ingin rumah sendiri. Rumah papa tidak sebesar rumah kakek, menurutku nyaman karena fasilitas yang diberikan papa sangat memuaskanku dan Memet. Luas jika kamu mau lari keliling saat dihukum guru di sekolah. Jadi anak horang kaya itu kadang nyenengin kadang ironis. Nyenenginnya apapun yang kamu mau pasti ada sejak lahir, ironis kamu bakal sendirian di rumah gede karena orang tua kita sibuk kerja.
Kakek Poses bule Eropa yang nyangkut di Indonesia. Kakek lahir di kota Oxford. Sudah lama tinggal di Indonesia. Terpesona dengan nenekku tersayang. Waginem. Nenek Waginem yang selalu cantik tiap harinya. Kulit coklatnya sangat mulus tiada bekas. Perpaduan yang apik. Ras yang berbeda bersatu padu. Takdir. Jodoh. Maka lahirlah anak cucu yang beragam. Contohnya aku yang berkulit kuning langsat, Memet putih seperti porselen, dan Simon coklat. Keren menurutku.
Sesampainya dirumah, senyum mama menyambutku. Hangat. Papa juga. Mereka duduk di ruang kelurga sambil ngeteh. Semburat kerut yang menghiasi wajah tak menampik usia telah menggelayuti mama dan papaku.
Aku sayang kalian.
===nitakurnia===
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Kehangatan 1, 2
RomanceSabil nama panggilan gadis cantik keluarga Poses. Sabilanry Poses nama lengkapnya. Seorang selebritis dan model terkenal. Sangat populer. Kecantikannya tidak diragukan lagi. Berlesung pipit , rambut coklat, mata lebar, kulit kuning langsat dan jel...