9. Penantian manis, taubat sepasang kekasih kontroversial

7 0 0
                                    

"Aku akan bersamamu, Rino. Mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Aku akan membuka hati ini. Kamu menyadarkanku. Namun, ada syarat."

Hampir aku tak bisa mengeluarkan kalimat ini. Rino menunggu lanjutan kalimatku, namun lagi - lagi aku tak sanggup memberinya banyak syarat. Bukannya mencintai seseorang harusnya tanpa syarat. Dia terlihat serius, kedua alisnya bertemu serentak dan dia menggigit bibirnya. Entah apa yang kupikirkan aku terusik melihatnya, dia begitu manis. Mata air untuk melepas dahagaku. Rino mengangkat pelan kepalanya, menginterupsiku. Kedua tanganku reflek menyentuh pipinya, lembut. Aku suka dan dia membiarkannya. Lelaki yang manis namun menakutkan. Dia lelaki possesifku. Dia penguntitku. Aku tak peduli, selama dia bersamaku.

"Apa yang kamu inginkan? Cepatlah, beritahu aku. "

Bibirnya menggetarkanku, aku ingin sekali menciumnya. Tidak. Jangan. Aku meronta, jiwa yang kering ini butuh seseorang. Rino mengambil tanganku, meremasnya. Dia akan menciumku, dia seolah tau mauku.

"Hentikan," bisikku, aku memalingkan wajahku.

"Tidak, aku tidak bisa"

"Aku ingin kita belajar. Lebih mencintai Rabb yang menciptakan bumi dan langit. Kamu bersedia? "

Kudorong pelan tubuh Rino.

"Yang kita lakukan salah selama ini. Kita harus mencari guru spiritual Rino. "

Dia terdiam, menatapku sesekali. Menghela nafas panjang sekali. Dadanya kembang kempis. Jelas. Mungkin dia akan menolaknya. Aku akan menunggu jawabannya. Aku akan setia menunggunya.

"Aku akan meninggalkan dunia glamour, ku mulai dengan memakai khimar. "
Kataku lagi

Dia semakin dalam menatapku dari biasanya. Dari awal hingga akhir tidak pernah berubah. Namun, kali ini. Matanya. Senyumnya merebak.

"Aku setuju. Asalkan kamu selalu di sampingku sampai kita menua. Mari Menikah. Harus halal. "

Aku tersenyum mendengarnya, kata hangatnya menyirami jiwa panas ku.

Aku terhenyak, menikah dengan Rino. Rasa sakit di hati menghujamnya. Melayang seluruh pikiran. Aku sudah membuat keputusan. Aku akan menjalani cinta ini dengan Rino. Aku akan menikahinya. Menjadi keluarga besar Heryawan. Rino Haru Heryawan. Aku menerima lamaranmu.

"Maukah, menjadi istriku Sabil? Menua bersama, saling mencintai."
Tanyanya dan pernyataannya.

"Semua harus karena Allah Rino. Jika komitmen ini kita jaga, aku menerima lamaranmu."

Rino tertawa lepas, dia kegirangan. Lelaki yang dengan setia menjaga hati dan fisikku selama ini. Aku bersyukur bertemu dengannya.

Semua keluarga besarku datang ke Oxford, hanya keluarga besar. Perayaan pernikahan kami berdua tertutup. Kami tidak ingin media luas mengetahuinya. Aku sudah berjanji untuk melepas dunia itu. Langkah baru, awal baru dimulai. Aku akan menikah. Seperti tidak nyata pilihanku Rino. Saat mengingat memori itu, selangkah lagi aku menjadi nyonya Sanjaya, namun sekarang aku akan menjadi nyonya Haru Heryawan. Takdir yang sudah tertulis.

Semua tampak bahagia, mereka hadir. Keluarga Rino juga sama, senyum bahagia mereka merekah. Tidak ada rasa sedih membayangi. Namun, seperti ada yang salah dengan hati ini. Terasa sakit, apakah aku masih belum melupakan Destan? Apakah sebenarnya aku masih mengharapkannya? Tidak, hari ini adalah acara pernikahanku. Tidak adil buat Rino aku masih berpikiran seperti ini. Tidak bijak.

Ku atur nafasku pelan, masih berdebar. Pernikahan ini acara yang sakral. Aku harus bisa melewati hari ini. Aku tidak boleh merusaknya.

Rino memang tampan, dia cocok mengenakannya. Semua pilihanku, senyumnya menancap di hati. Aku masih belum bisa melupakannya. Semua kebaikan, ketulusan dan permintaan maafnya. Permohonan maaf yang menùrutku tulus. Sakit yang kualami memang bukan karena sebab. Dia mencintaiku melebihi nyawanya hingga berani melalukannya. Aku memaafkannya karena masih ada kebaikan di dalam dirinya.

"Aku akan keluar sebentar, menyapa tamu undangan Sabil."

Aku mengangguk tanda iya. Rino keluar kamar. Melepas senyuman manis sesekali padaku. Aku malu dibuatnya.

"Kamu masih sama Sabil, cantik. Apalagi dengan khimar putih yang kau pakai sangat cocok denganmu. "

Suara lelaki yang telah lama tidak ku dengar menembus gendang telingaku. Aku menoleh dan betapa terkejutnya aku, Destan..dalam hati ini meronta.
Aku menahan air mata ini, lelaki ini. Dia tersenyum melihatku. Wajah muram terakhir yang kulihat tidak ada. Dia tersenyum untukku. Aku bisa gila, aku masih tak percaya, dia datang lagi dan membawa canduku. Aku ingin sekali melemparnya jauh.

"Berbahagialah" lalu dia pergi

Aku, masih menatap punggungnya. Ingin hati mengejarnya, aku ingin memeluknya sebentar saja. Sebentar saja untuk melepas kerinduanku. Rindu yang telah jadi abu. Dia pergi tanpa melihatku lagi, kaku seperti robot dia memalingkan wajahnya. Senyum itu, apakah dia berikan untuk kado pernikahanku. Aku ingin menangis, namun tertahan lagi dan lagi. Aku tidak bisa meninggalkan Rino begitu saja. Aku harus bertanggung jawab. Kemana dia pergi.. ?

Aku menunggu saat statusku berubah menjadi istri. Aku menunggunya di kamar pengantin, Oxford saksi cinta dan pernikahan ini. Namun, hatiku masih...tidak, jangan sekarang. Aku akan sangat berdosa padanya. Detik sudah berlalu, menit sudah berlalu dan putaran jarum panjang telah berlalu. Aku was - was dengan pernikahan ini. Persiapan yang hanya 2 bulan, dan aku mengundang kerabat terdekat saja.

Jam yang telah ditentukan akan terjadi, detik - detik ini. Detik ini aku akan benar merelakanmu Destan, aku akan bersama Rino. Aku segera berdiri hendak pergi ke Hall tempatku melangsungkan pernikahan. Rino belum kembali, aku akan menyusulnya. Namun, tiba - tiba seseorang menarik tanganku.

"Ikut aku!"

Destan menggenggam tanganku dan mengajakku berlari keluar dari lorong. Aku, entah kenapa aku menurutinya. Semua orang tengah menungguku dan mengapa aku membiarkan mereka pergi meninggalkanku sendiri.

Masih terlihat jelas wajah ini. Wajah Destan Sanjaya sama seperti kali pertama aku bertemu dengannya. Begitu segar, begitu menggoda dan begitu memikatku tanpa sadar. Aku mulai lelah, kakiku mulai lelah dengan heel 5cm ku.

Aku sudah berada di luar gedung, di halaman belakang. Mobil hitam tengah menungguku. Destan ngos ngosan namun wajahnya gembira. Apa dia mulai gila? Aku bertanya berulang dalam hati. Apa aku yang gila? Sudah mau diajaknya berlari kabur dari pernikahanku. Aku ingin kembali. Bersama Rino keputusanku. Aku melepas tangan Destan, dia memandangiku. Destan meraihnya lagi, aku melepas lagi. Berulang sampai 3x. Aku berbalik membelakanginya, perlahan kuambil satu dua langkah. Tiba - tiba Destan memelukku dari belakang, dia memelukku sampai terasa sesak. Aku susah bernafas.

"Jangan pergi, aku mohon."

Aku mencoba melepas pelukan Destan. Namun, gagal total. Dia tidak ingin melepasku.

"Aku akan menikah dengan Rino. Sudahlah Destan, semua berakhir." Destan tetap memelukku.

"Aku bukan ayah anak Merra. Aku bukan ayahnya, Sabil." Kalimat itu menyambar kesadaranku, jiwaku yang terpenjara bebas lepas. Tindihan gunung di dadaku juga hilang seketika. Ada bahagia di balik ucapan Destan. Masih terlena. Asaku pergi hilang timbul. Ada kegelisahan menyertainya.

"Merra, dia menjebakku. Aku masuk ke dalam perangkapnya. Dia menginginkanmu hancur Sabil. Dia ingin menyakitimu lewat aku. Percayalah."

Aku masih tak percaya dengan perkataannya. Sungguh? Merra sejahat itu? Aku masih merenung, perlahan ku lepas pelukan Destan. Aku maju selangkah lagi dan berbalik menghadapnya. Matanya masih sama, mata itu mata pertama kali saat aku bertemu dengannya. Lelaki dengan setulus jiwanya mencintaiku.

"Percayalah Sabil, aku tidak pernah sekalipun membohongimu. Mereka berdua telah merencanakannya."

"Mereka berdua? Siapa?" Aku mulai ketakutan akan kebenaran yang terjadi sasaat lagi. Mungkinkah ada seseorang lagi di belakang Merra? Tapi siapa?

"Aku, Sabil."

Aku mencari darimana datangnya suara yang sangat familiar. Aku terkejut, tangisan ini tertahan.

===nitakurnia===

Cahaya Kehangatan 1, 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang