Pagi yang cerah. Langit membiru. Aku masih saja berbaring malas. Mataku sembab. Apa aku menangis? Lupa. Sedetik kemudian kucoba duduk. Merapikan rambut kusutku. Berantakan sekali kamarku. Aku lupa juga menutup kelambu sehingga sinar matahari yang malu - malu di balik awan leluasa menerangi kamar besar beralaskan kayu. Masih belum sepenuhnya terang benderang, remang - remang. Aku berdiri dengan cepat, melangkah menuju wastafel, ku lihat bayanganku, tangan kananku cekatan mengambil sikat gigi dan pasta gigi. Perlahan ku mulai menggosok lembut sederet gigi putihku. Aku rajin tiap 6 bulan kontrol ke dokter gigi. Ku basuh wajah berminyak meskipun tidak banyak. Bunyi air kran membuyarkan lamunanku. Aku masih saja terus berpikir, mengapa mataku sembab?
ZRAAAA....
Percikannya membuat wajahku segar. Segera ku berendam sambil membayangkan lelaki di pesta pernikahan Simon. Senyumnya. Aku tidak suka. Tak berapa lama ku tarik handuk yang menggantung, kusingkap tubuhku. Aku bersiap diri menyambut hari ini.
" Selamat pagi, Minggu"
Awannya putih, namun aku yakin sebentar lagi hujan. Perkiraanku kadang benar kadang salah. Haha...tawaku dalam hati. Sok jadi cenayang. Aku suka dua musim di negaraku ini. Berbeda dengan negara - negara yang ku kunjungi tiap tahunnya. Empat musim. Indonesia juga sama, memberiku rasa nyaman. Saat panas kita bebas merasakan hangatnya sinar matahari di pagi hari, saat hujan kita bebas merasakan dingin, sejuknya gerimis kecil membuat bergidik bulu karena aku akan berkhayal tentang pangeran idaman. Narsis kali diri ini. Ups!
Ku amati jarum jam berputar, detik demi detik. Menit demi menit. Waktu adalah hal yang misterius. Aku berdiri membelakangi cermin dan menatap keluar rumah. Hamparan hijau taman rumah menyegarkan mata. Bunga mawarnya tumbuh sehat, makin hari makin cantik. Ada mawar putih, merah, hitam, biru, pelangi dan berbagai warna mawar lengkap. Bagai musim semi di Jepang saat bunga sakura bermekaran. Pemandangan yang indah. Aku maju beberapa langkah mendekat ke kaca jendela. Embun masih menempel menghias jendela. Mereka akan lenyap saat sinar mentari perlahan muncul dibalik awan putih berarak. Hembusan nafasku membekas. Tangan kananku bergerak menulis kata great today, start to positif. Tukang kebunku menyapa dengan bungkukan tubuhnya. Aku tidak mengharapkan itu. Aku tidak pantas mendapatkannya. Siapa aku? Beliau lebih tua, aku wajib hormat juga padanya. Sepagi ini taman rumah sudah bersih, daunpun tidak ada yang menari di atas rumput. Mereka sudah ditumpuk jadi satu di tong sampah. Pak Horin the best, usia tuanya yang menginjak 67 tahun tidak mengurangi kualitas profesinya. Jadi ingat dulu ada yang bercerita padaku, saat kamu mempunyai pekerjaan apapun itu lakukan dengan baik sekalipun kamu hanya menjadi tukang sapu jalanan. Wah...membekas.
Pagi ini aku harus menjemput papa di bandaran Soekarno Hatta. Sendirian. Kak Oben sibuk dan Memet ada kuliah pagi.
Final, aku sendiri. Mobil VW hitam papa nangkring lama di garasi. Hari ini aku akan membawanya keluar. Supaya mesinnya panas. Alibiku. Terlihat keren. Oh my... Lagi - lagi...Jalanan lenggang. Bisa ku hitung dengan jari mobil yang berpapasan denganku. VW papa mamang josh gandos, mesinnya enteng. Swing udara Air Conditionarnya menyapu wajahku. Sejuk. Belum panas. Tempat duduknya pun nyaman. Lalu lalang anak sekolah mulai banyak, karena masih pagi belum macet. Nyaman mengendarai mobil di pagi yang cerah. Semoga aku bisa. Aksesoris penyamanranku juga siap. Kaca mata hitam dan topi cantik ala wanita Eropa siap bertengger di atas kepalaku. Aku masih sering melakukan penyamaran, jaga - jaga dari wartawan iseng, penggemar gila bahkan dari kolega papa. Ngapain juga driver ini cuti. Akhirnya aku yang repot. Gumamku.
Papa pulang dari Swiss untuk keperluan bisnisnya. Meskipun kami dari keluarga berada, papa tetap tidak bergantung kepada kakek Poses. Harta bukan segalanya. Namun untuk hidup butuh biaya dan fasilitas. Ucap papa dulu sekali saat usiaku 10 tahun. Telepon dari papa tadi malam masih janggal. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Tanggal kepulangan bukan hari ini. Beliau mempercepatnya sehari dari jadwal. Semoga tidak terjadi sesuatu dengan papa. Mama yang masih di Swiss, akhir pekan ini baru pulang. My moom incredible woman. Inspiring me.
Di Bandara...
Aku menunggu papa di ruang tunggu kedatangan penerbangan internasional sambil mengutak atik HP memeriksa mungkin ada chatt. Kaca mata hitam ini menyamarkanku. Tidak ada yang mengenalinya. Sukses. Hari ini aku libur dari segala aktivitas artisku. Minggu ini akan ku habiskan waktu bersama papa. Kita akan pergi memancing. Sudah ku atur jadwalnya. Jadi papa tidak akan bisa menolak ajakanku. Papa menghampiriku dengan senyumnya. Mencubitbpipi dan memeluk erat. Damainya pelukan papa. Kita berjalan berjalan keluar dengan riang dan aku bergelayut manja ke papa.
Setibanya di dalam mobil,
" Ini buatmu."
Papa menjulurkan kado bungkus emas berpita hitam. Kotak kecil. Dililit renda mungil berbentuk hati di bagian tepi. Rapi sekali. Aku penasaran dan gugup saat kado ini di tanganku. Papa, apalagi yang akan kudapati? Semoga hal yang baik. Rasa kering dikerongkonganku mengajak reflek tanganku meraih botol air mineral yang bertengger di sela pintu mobil. Aku kehausan karenanya. Keringat kecil mengucur bebas di belakang punggungku. Aku mulai panik, nafasku mulai cepat, dan sesekali menoleh papa yang dengan santainya menyantap roti O di sebelahku. Mengusik kedamaian perutku. Aku lapar. Aku frustasi karena hal ini. Sadarlah Sabil. Hatiku terus menyemangati. Kubiarkan papa selesai sarapan. Menikmati aroma roti legend (menurutku). Aku mengambilnya sambil tersenyum mengamati papa. Papa tak menggubrisku. Sarapan pagi yang getir. Apa gerangan isi kado papa dari Swiss.
Roti papa habis, giliran anggur merah menjadi korban kelaparannya. Lima buah cukup buat papa. Aku tau selera papa, tadi aku membelinya. Roti kopi, buah anggur, soto, dan nasi kebuli adalah favorit papa.
" Apa ini Pa? "
Mataku mencoba berbinar
" Buka saja. "
Dengan sigap kubuka kado pemberian papa. Siapa sangka kunci rumah. Terdiam sesaat. Aku memeluknya dengan cepat. Aku tau papa akan membolehkanku tinggal di Inggris. Kado papa yang terindah. Kado kepercayaannya padaku. Terima kasih papa. Ucapku dalam hati
"makasih pa"
Senyum papa menjawab semua.
Aku akan tinggal di Inggris. Di kota Oxford. Rumah berbeda dengan rumah kakek Poses. Melepas sampul artisku. Rencanaku. Dunia hiburan sudah membuatku lelah. Tanpa privasi. Selalu jadi tokoh utama.
Aku akan tenggelam ke negeri orang menetap di sana. Sebenarnya sudah lama aku membahasnya dengan kak Oben. Berapa kali dari diskusi itu berakhir dengan pertengkaran. Hari ini rencanaku akan berjalan mulus. Kak Oben meyakinkanku bahwa keputusan itu kurang tepat. Apalagi aku sedang laris manis di hiburan tanah air tercinta. Ogah akh, publik figure melelahkan. Semua dikejar deadline, semua tertata rapi, berurut, dan membosankan. Mungkin aku tidak punya squad arisan seperti seleb lainnya. Jadi mereka bisa menikmati waktu bersama.
" Bagaimana Sabil? Kamu suka? Sudah waktunya kamu mandiri, nanti mbok Inem nemenin kamu di sana. "
"What? No papa, Sabil anak perempuan mandiri. Percayalah. Hidup Sabil akan baik - baik saja disana. Sabil akan kerja kantoran dan akan menjauhi dunia artis"
"Oke, papa percaya. "
Sumringah tak bisa dipendam. Bahagia. Aku akan hidup mandiri di negeri orang. Di kota Oxford, kota yang aku idamkan. Bak di dalam cerita dongeng si Princess keluar dari istana megahnya mencari jati diri. Mampukah aku? Aku pasti bisa. Semangat Sabil.
===nitakurnia===

KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Kehangatan 1, 2
RomanceSabil nama panggilan gadis cantik keluarga Poses. Sabilanry Poses nama lengkapnya. Seorang selebritis dan model terkenal. Sangat populer. Kecantikannya tidak diragukan lagi. Berlesung pipit , rambut coklat, mata lebar, kulit kuning langsat dan jel...