Tanya Google

8.5K 689 33
                                    

Perempuan itu sudah berulang kali meremas tangan. Matanya tak lepas dari jarum-jarum jam yang berputar sesuai porosnya. Menghitung detik demi detik waktu yang berjalan. Sebenarnya dia menghitung begitu demi melupakan detak jantungnya yang mulai menggila. Menunggu saat paling mendebarkan yang sebentar lagi tiba.

Sayup terdengar suara khutbah nikah untuk para mempelai baru dimulai. Bukannya fokus mendengar isi nasehat yang disampaikan, perempuan itu justru sibuk menyusun kepingan-kepingan ingatan dalam kepalanya. Saat di mana semua ini berawal.

Sore itu, Medina sedang mengaduk es teh di gelasnya. Tatapannya fokus pada bongkahan air beku yang kini semakin kecil. Sedikit lagi batu es itu melebur menjadi satu dengan cairan kemerahan yang turut berputar sehaluan dengan gerakan sendok.

"Sudah dapat calon buat abangmu, Al?" tanyanya tiba-tiba.

Seseorang yang dipanggil 'Al' menggeleng pelan. Turut memperhatikan isi gelas Medina, lalu menjawab, "Susah cariin dia. Sudah kutawarin teman-temanku yang dia kenal, anak-anak saudara jauh dan dekat, bahkan tetangga yang jelas naksir dia, tapi nggak ada yang cocok. Entah dia cari cewek seperti apa."

Sesaat Medina diam. Sepuluh detik kemudian dia kembali melempar pertanyaan.

"Kalau aku gimana?"

Perempuan keturunan Jawa Pakistan di hadapannya tampak terkejut. Sebenarnya bukan hanya sahabatnya itu saja yang kaget. Medina sendiri juga tak menyangka kata-kata yang semula hanya berani dia suarakan dalam kepala, kini meluncur begitu saja dari mulutnya.

Medina tahu itu ide tergila yang pernah tercetus dalam kepalanya. Menawarkan diri untuk dinikahi oleh lelaki yang nyaris tak dia kenal, bahkan hanya beberapa kali bertemu. Itu pun tak pernah ada interaksi yang terjadi antara dirinya dengan kakak lelaki Alia, sahabatnya.

"Jangan ngawur, Din!" Setelah terbengong-bengong sesaat, akhirnya Alia kembali menemukan suaranya.

Medina tersenyum kikuk. "Nggak pantas, ya? Abangmu ganteng, kaya lagi. Masa punya istri perempuan biasa yang hidup dan besar di desa."

Kemudian dia mengalihkan pandangan, menghindari sorot mata Alia yang menatapnya miris. Dia tampak begitu putus asa karena tak bisa melanjutkan kuliah terhalang masalah dana. Beberapa bulan lalu, kakak lelakinya mengatakan tak mau lagi membiayai kuliahnya, bahkan memaksa agar dia menikah dengan juragan ikan di desa. Konon, pria itu duda beranak lima yang usia anak bungsunya bahkan lebih tua dari dirinya.

"Bukan gitu. Justru dia yang nggak pantas buat kamu. Kualitas seseorang itu bukan dilihat dari fisik dan materi yang dipunya, tapi dari kepribadiannya."

Medina mengembuskan napas lelah.

"Aku pulang aja kali, ya? Nikah sama kakek-kakek itu. Paling juga umurnya nggak panjang. Kalau dia mati nanti, aku pasti dapat warisan, terus bisa lanjut kuliah," ujarnya melantur, lalu tertawa. Menertawakan penderitaannya sendiri.

Alia cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar ide konyol sahabatnya itu, hingga tiba-tiba berkata, "Beneran mau nikah sama abangku? Dia itu gila."

Sekali lagi Medina tertawa.

Sebenarnya dia juga merasa sudah gila sejak Pramono menolak meneruskan menanggung biaya kuliahnya. Sejak itu dia begitu lantang bersikeras mengatakan akan lulus dengan gelar sarjana pendidikan bagaimanapun caranya. Bahkan dia memutuskan untuk tak pulang ke rumah dan menumpang di rumah ibu tiri Alia hanya demi membuktikan keseriusan kata-katanya pada sang keluarga.
Benar, sejak itu dia sudah mengklaim dirinya gila. Jadi, dia berpikir melakukan satu hal gila lagi sepertinya tak mengapa.

"Coba tanya abangmu, mau nggak sama aku? Kalau dia gila, mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya," sahutnya waktu itu sambil tertawa sumbang.

Lalu, di sinilah dia sekarang. Duduk di sebuah ruangan dengan baju pengantin. Kebaya putih bersih dipadukan dengan kain batik hitam keemasan yang membalut tubuhnya. Di pojok ruangan, seorang wanita tua duduk dengan wajah semringah. Membuat Medina teringat kata-kata wanita itu beberapa jam setelah acara lamaran selesai. Di antara kotak-kotak berpita yang sedang dibongkar, ibunya berkata, "Lihat, Nduk. Bagus-bagus isinya, pasti harganya mahal. Emak ndak nyangka kalau kamu akan dilamar laki-laki kaya dari kota, ganteng lagi."

KEMED : Marriage in MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang