Sudah lima belas menit Medina berada di dalam ruang dosen, menghadap sang pembimbing skripsi untuk konsultasi. Sementara dosen muda di hadapannya serius membaca lembar demi lembar bab satu proposalnya, beberapa kali perempuan itu mengibaskan tangan di depan muka. Keningnya basah, padahal di sana terpasang pendingin ruangan. Duduknya juga tak tenang.
"Are you okay?"
Pertanyaan dosennya membuat Medina tersentak.
"Pardon me?"
"Kamu sakit?"
Perempuan itu menggeleng. Ini kedua kalinya dia mendapat pertanyaan seperti itu. Tadi saat menunggu di koridor fakultas, salah satu temannya juga mengajukan pertanyaan yang sama.
"I'm fine."
Dosen bahasa inggris itu mengangguk.
"Kamu terlihat pucat," ujarnya lalu kembali menekuni kertas di tangannya. Sesekali bertanya mengenai isi proposal itu, guna menguji sejauh mana mahasiswinya itu menguasai skripsinya sendiri. Setelah dirasa cukup dengan beberapa catatan penting pada bagian yang harus diperbaiki, bimbingan skripsi itu pun diakhiri."Mungkinkah saya bisa lulus tahun ini, Pak?" tanya Medina sembari memasukkan proposalnya ke dalam tas.
"Kenapa tidak? Saya tidak akan mempersulit mahasiswa. Selagi kamu rajin bimbingan dan revisi, tak ada yang tidak mungkin."
Perempuan itu mengangguk, berpamitan. Namun, ketika akan beranjak, dosennya berkata, "Saya punya beberapa buku tentang teori yang kamu gunakan dalam skripsimu. Kalau butuh, silakan datang ke rumah."
Seketika binar senang terlukis di wajah pucat Medina. "Really?"
"Sure."
Medina tersenyum semringah, tampak begitu antusias. "Thank you, Sir. Nanti saya hubungi lebih dulu, kalau akan datang ke rumah Pak Rafdi."
Rafdi mengangguk. "Apa kamu pernah bertemu Alia?"
Perlahan antusiasme di wajah perempuan itu menyurut. Dia mulai berpikir jangan-jangan kebaikan yang Rafdi tawarkan itu semata untuk mendapat informasi darinya. Sungguh, dia tak ingin terlibat jauh dalam masalah rumah tangga sahabatnya yang diperistri oleh sang dosen. Sementara pernikahannya sendiri tak jelas akan bermuara di mana.
"Hmm ... pernah beberapa kali." Medina memilih jawaban aman.
Tentu saja Rafdi tak tahu kalau dirinya dan Medina sama-sama menjadi menantu Yatno, karena sudah beberapa bulan tak dapat menjalin komunikasi dengan Alia.
"Kalau saya tanya Alia di mana, kamu nggak akan kasi tahu, 'kan?"
Medina tersenyum kikuk, dia menjadi serba salah. Selebihnya tak ada jawaban yang keluar dari mulut perempuan itu, hanya melempar tatapan meminta maaf.
Rafdi paham. Dia hanya tersenyum pahit. "Ya, sudah. Tolong sampaikan saja salam saya untuk Alia."
"Baik, Pak. Semoga Alia segera mau pulang. Dia ... masih butuh waktu, sepertinya."
Dosen itu mengangguk. Tak lagi melanjutkan pembicaraan.
Medina paham, inilah saatnya undur diri. Setelah berpamitan sekali lagi, dia beranjak dari duduk. Sempat meringis saat tubuhnya berdiri tegak, perlahan perempuan itu berjalan keluar ruangan. Keringat dingin semakin banyak mengucur dari tubuhnya.
Pandangannya terasa berputar karena itu dia berpegangan pada tembok pilar. Tertatih berjalan menuju bangku yang tersedia di beberapa sudut koridor. Dia tak tahu pasti apa yang terjadi pada dirinya, yang jelas saat ini perut bagian bawahnya seperti diremas-remas.Dia menghela napas dalam lalu kembali mengembuskannya perlahan. Dilakukannya berulang sembari memejamkan mata.
Perlahan rasa nyeri itu mulai berkurang, entah setelah berapa lama Medina terduduk di sana. Dia menegakkan tubuh begitu hati-hati seolah takut rasa sakit itu akan kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMED : Marriage in Mission
General FictionTELAH TERBIT (REPOST) "Abangku itu gila, yakin kamu mau nikah sama dia?" Medina tertawa. "Mungkin aku bisa jadi ahli jiwanya." *** Bukan atas dasar cinta, bukan juga karena perjodohan, Kemal dan Medina sepakat menikah. Mereka sama-sama punya misi ya...