@rinasetianingrum__writer
NOTE: tulisan ini dilindungi hak cipta (c)
Jakarta,
Sebagai anak pemilik Panti Asuhan, sebenarnya Sarah cukup memiliki pamor. Ibunya_yang biasa disapa dengan panggilan Mamo alias Mama Monik _memiliki citra yang baik di mata warga.
Ketika Sarah berusia 5 tahun, Mamo berniat hijrah ke Jakarta. Ia menjual rumah dan perkebunan peninggalan almarhum orangtuanya di Semarang. Beberapa hari sebelum berangkat, mendadak dirinya mendapat kabar, rumah sepupunya di Jogja diserang perampok!
Mamo shock. Sudah beberapa tahun dia tidak saling berkabar dengan mereka, tiba-tiba saja suami istri yang pernah menolongnya itu meninggal. Beruntung, Reno_anak mereka yang masih berusia 7 tahun_selamat.
Mamo pun membawanya serta ke Jakarta, dan membangun panti asuhan Rabiah Al Adawiyah. Ia mengambil nama sufi wanita itu, karena terinspirasi oleh kisahnya yang hidup seorang diri dan mengabdikan diri di Jalan Ilahi. Itu sebabnya, Mamo pun bertekad menjadi salik dan tidak ingin menikah lagi.
Namun, citra baik orangtua ternyata tidak cukup untuk membuat Sarah menjadi "seseorang" Di sekolah, ia justru dikucilkan lantaran dianggap tidak gaul, dan tidak berkelas. Ia juga dipandang tidak intelek dan tidak cerdas, karena tidak update dengan hal-hal kekinian dan diperlakukan seperti "itik buruk rupa" karena berkulit sawo matang.
Awalnya, diskriminasi tersebut tidak terlalu menganggu, karena pada dasarnya Sarah memang lebih suka melakukan segala hal sendiri. Dia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan, menulis puisi di taman sekolah, atau makan di kantin sembari membaca buku, terutama buku-buku filsafat dan tasawuf.
Sekalipun penyendiri, Sarah bukan anak yang minder atau pemalu. Dia sangat percaya diri mengeluarkan pendapat di muka kelas, sekalipun pemikirannya kerap mendapat cemooh karena dianggap nyeleneh. Dia banyak berceloteh hanya dengan orang-orang yang dirasa nyaman, seperti Mamo atau Reno.
Ketika proposalnya disetujui pihak sekolah untuk mengadakan penyuluhan tentang "Petani Milenial", Sarah bahkan lebih asyik berbincang dengan Pak Arifin yang menjadi narasumber, dibanding kesehariannya bergaul dengan sesama murid. Padahal, Pak Arifin bukan orang sembarangan. Beliau adalah tokoh yang pernah menduduki jabatan penting di bidang agraria, pada era 80-an.
Hal lain yang membuat Sarah makin tidak disukai adalah, kebiasaanya yang sering bercermin dan memperbaiki dandanan di tempat umum. Dia dianggap sok aegyo. Istilah tersebut biasa digunakan oleh para fans K-popers ketika berekspresi imut atau menggemaskan ala K-idol.
Sikap Sarah yang terkesan terobsesi dengan diri sendiri tanpa memusingkan pendapat orang lain, atau cemas tersaingi itu, membuat gank Edys merasa terintimidasi karena merasa diacuhkan keberadaannya. Mereka beranggapan, cewek yang tidak berkelas seperti Sarah, seharusnya kagum atau paling tidak iri terhadap mereka.
YOU ARE READING
Comfort In Silence
RomanceKisah tentang Sarah (17th) yang tidak ingin terpengaruh jaman, tetapi malah terjebak dalam kondisi tersebut dan menyebabkan cinta dan cita-cita luhurnya hancur.