@rinasetianingrum__writer
NOTE: tulisan ini dilindungi hak cipta (c)
Sekali waktu, Sarah menerima ajakan Edys ke mall bersama yang lain. Usai menonton, mereka bermaksud makan di sebuah restoran Korea.
Ketika melewati butik yang menjual produk luar, semua berteriak kecil di depan etalase. Mengagumi dan saling memberi komentar tentang barang-barang mahal yang mereka tahu.
Jika disimak, semua yang mereka bicarakan itu sebenarnya bukan pula barang-barang yang mereka punya? Melainkan milik kenalannya atau saudaranya?.
Dalam hati Sarah merasa miris; hanya dengan membicarakan hal-hal yang tidak mereka miliki saja, atau sekedar mengenal orang-orang yang berpamor saja, sudah membuat mereka merasa setara?!.
Kekey tampak terkagum-kagum mendengar pembicaran mereka. Sementara Sarah yang tidak berkomentar, dianggap terbelakang karena tidak mengerti topik yang mereka bicarakan.
Ketika memesan makanan, Janet membantu Sarah memilihkan menu karena khawatir salah pilih. Edys ikut menjelaskan terbuat dari apa makanan terebut dan bagaimana mengolahnya.
Sembari menunggu pesanan, Janet berkomentar tentang film Crazy Rich Asian yang baru mereka tonton.
"Kalian pasti ga nyadar, di bagian akhir film itu ada bagian yang kelewat sama penulisnya." ujar Janet.
Semua saling berpikir dan bertanya, di adegan yang mana.
Kekey langsung menoleh pada Sarah, "Menurut penulis kita gimana?."
"Lo nanya sama penulis yang ga lolos mading?." celetuk Janet.
Selama ini, puisi-puisi Sarah memang selalu ditolak Saskia yang bertugas sebagai pengurus. Dia beralasan, puisi tersebut terlalu sufistik, terlalu berat dan sukar dipahami untuk ukuran anak SMA.
"Bikin yang biasa-biasa ajalah. Gak usah riyak. Masih banyak yang lebih pinter dari kita. Harus tawadhu."
Padahal diam-diam, Saskia sering mengutip quote dan puisi Sarah saat memberi nasehat ke teman-temannya.
Dengan membuat sedikit perubahan, dia bahkan memposting karangan yang ditolak tersebut di akun sosial medianya. dan mengakui sebagai karyanya.
"Coba tanya editor mading?." Edys menunjuk Saskia dengan gerakan dagunya.
"Ah, buat apa juga sih ngebahas cerita alay?. Ga berbobot. Mending liat debat politik di youtube." ujar Jaka.
"Hadeh, capek banget liat drama politik. Mending drama Korea ketahuan?!" Janet menghela nafas.
"Yang pasti, pesan moral film itu adalah nggak boleh mengecilkan orang hanya karena status sosial." celetuk Jaka.
Sarah sedikit tersedak. Bisa-bisanya anak itu bicara tanpa berkaca?.
"Hmm ... kalo menurut gue sih, pas di bagian neneknya, " jawab Saskia," Ibunya kan udah ngerestuin hubungan anaknya tuh, tapi neneknya gak dikasih liat, setuju apa nggak. Padahal kan dia juga menentang?."
"Nah, itu bener!" Janet mengacungkan jempol.
Saskia tersenyum puas.
"Lo, emang cocok jadi editor mading, Sis. Jeli banget! Jangan-jangan, penulis film itu dulunya juga ga lolos mading?" ujar Janet.
Semua tertawa makin keras.
"Itu trick, bukan missed!" Tiba-tiba Sarah berkata, dan membuat tawa mereka terhenti.
"Maksud, lo?"
"Itu trick mempengaruhi alam bawah sadar, karena penulisnya punya tujuan lain." ujar Sarah.
YOU ARE READING
Comfort In Silence
RomanceKisah tentang Sarah (17th) yang tidak ingin terpengaruh jaman, tetapi malah terjebak dalam kondisi tersebut dan menyebabkan cinta dan cita-cita luhurnya hancur.