Jika hidup adalah sakit, maka patahkanlah hidup itu hingga aku tak merasakan sakit.
~Adelle
***
Dingin malam adalah hal yang sangat ditunggu jika berada di perkotaan. Hal itu juga berlaku bagi gadis yang berdiri di balkon kamarnya. Ia tengah mengutak atik sebuah alat kemudian menempelkan alat tersebut pada telinga.
"Ma, gimana kabarnya?" Ada rasa senang yang meletup-letup ketika teleponnya tersambung dengan pihak yang dituju.
Samar-samar terdengar gelak tawa khas anak kecil diiringi gelak tawa wanita dewasa. "Kita sehat kok, ini Mama lagi nemenin adik kamu bermain," jawabnya riang.
Ada rasa iri terselip dalam hati Adelle. Selama 3 tahun terakhir, Adelle tak pernah bertemu dengan orang tuanya. Mereka seolah tidak pernah memikirkan bagaimana kondisi Adelle selama ini.
"Mama sama papa kapan pulang?" tanya Adelle berusaha menahan sesak di dadanya.
Mereka jarang sekali berkomunikasi, entah sibuk atau pura-pura sibuk, entah ia sebagai prioritas atau bukan. Yang ia tau, ayahnya memang sibuk, tapi bagaimana dengan ibunya? Ia merasa ibunya sengaja menghindarinya.
"Papa kamu masih sibuk," balasnya. Adelle sudah hafal di luar kepala, ibunya pasti akan mengucapkan kalimat itu. Yang ia herankan, kenapa ibunya selalu menjawab seolah tanpa beban? Apa mereka sudah melupakan kehadiran Adelle?
"Sudah dulu, ya, Mama mau nidurin Gavin." Tanpa menunggu balasan dari Adelle, ibunya mematikan sambungan telepon. Adelle tersenyum kecut, padahal kerinduan itu belum terobati.
Dulu ia sangat disayangi orang tuanya. Namun, semenjak adiknya, Gavin lahir semua berubah. Satu tahun setelah kelahiran Gavin, mereka pindah, tetapi Adelle sengaja ditinggalkan. Mereka melarang Adelle ikut karena mereka takut akan merepotkan ibunya, padahal usia Adelle saat itu sudah mencapai 14 tahun.
Adelle menutup pintu balkon kamar, kemudian berjalan menuju meja belajar. Netranya terpaku pada sebuah foto di atas meja belajar. Kaki jenjang putih itu pun melangkah mendekat, Ia tersenyum memandang sebuah foto beberapa tahun silam. Perlahan tangan lembutnya menyentuh bingkai foto itu. Saat itu, mereka merayakan ulang tahun Adelle. Di sana, semua tersenyum senang seolah takkan ada jarak seperti sekarang. Mengingatnya membuat Adelle merasa sesak dalam hati hingga air mata yang sekuat tenaga ia tahan, luruh menganak sungai. Sungguh ia merindukan saat masa kecil.
Tok tok!
Mendengar suara itu, Adelle langsung menghapus air matanya, kemudian berjalan untuk membuka pintu.
"Maaf, Non, menganggu, ini belum diminum obatnya," ucap wanita paruh baya dengan sopan.
Lagi-lagi Adelle tersenyum kecut. Tanpa obat mungkin ia tak dapat hidup lebih lama lagi. Yang ia ketahui, obat itu hanya pereda sakit, bukan penghilang penyakit. Bukankah mengonsumsinya itu tak ada gunanya? Mengonsumsinya sama saja menunda apa yang akan terjadi.
"Makasih, Mbok, sudah diingatkan," ucap Adelle sambil mengambil nampan berisi beberapa butir obat dan segelas air putih.
"Iya, Non, nanti kalo sudah selesai Mbok kesini lagi," ucapnya seraya membungkukkan badan.
Adelle selalu melarang hal itu. Namun, wanita itu tak pernah mengindahkannya. Padahal tak sopan rasanya bila orang tua membungkukkan badan pada yang lebih muda.
Adelle mengangguk kemudian masuk ke dalam kamar. Ia lalu meletakkan nampan itu di atas meja kosong di samping ranjang. Kemudian ia mengambil sebutir obat dan memandangnya lekat.
"Tanpa ini mungkin semua sudah berakhir." Ia menggigit bibirnya berusaha menahan air mata yang berdesakan ingin keluar. Ia benci mengapa harus selemah ini.
"Dulu aku sangat berharap padamu, tapi sekarang aku muak denganmu. Mungkin kau tak dapat masuk lagi ke dalam tubuhku," lanjutnya. Ia mengambil obat lain yang fungsinya berbeda, tetapi tanpa salah satu darinya, semua tak akan ada gunanya. Ah, lebih tepatnya obat penunjang. Kemudian ia berjalan menuju balkon dan membuka pintu kembali.
Ia memandang beberapa butir benda kecil itu sekali lagi seraya berkata, "Aku tak membutuhkanmu lagi." Setelah kalimat itu keluar dari bibirnya, benda kecil itu melayang entah kemana.
Melihat obat itu tak lagi di tangannya, ia lalu memandang langit yang begitu memukau. Bintang bertaburan, bulan bercahaya terang dan awan pun tak berniat untuk menutupi keindahannya.
Adelle tersenyum sendu. "Ma, Pa, Adelle rindu," lirihnya, "jika ada waktu, pertemukan aku dengan mereka, Tuhan," lanjutnya dengan suara yang perlahan semakin tak terdengar.
"Ahh ...," desis Adelle. Kepalanya terasa sakit seperti dihantam ribuan batu, bersamaan dengan itu cairan merah muda keluar dari hidungnya.
Tanpa menutup pintu balkon, Adelle berjalan dengan tertatih menuju ranjangnya. Kini pandangannya mulai mengabur.
"Non!" jerit wanita paruh baya yang melihat Nona mudanya tengah terduduk di lantai dengan tubuh yang bersandar pada dinding dan tangan yang meremas kepala.
"Mbok, telpon Dokter Leo," lirih Adelle sebelum kesadarannya terenggut.
***
Seorang pria dewasa memasuki sebuah rumah dengan langkah lebar. Keringat bercucuran di pelipisnya tak ia hiraukan lagi. Satu yang menjadi tujuannya, yaitu gadis kecil yang ia rawat selama beberapa bulan terakhir.
"Mbok!" panggilnya setelah membuka pintu kamar yang sudah ia hafal di luar kepala.
"Dokter, ini … anu," ucapnya diantara rasa bingung, takut dan cemas.
Dokter itu langsung mendekati gadis yang tengah menutup matanya rapat. Dengan gesit ia memeriksa keadaannya.
"Bagaimana, Dok?" tanya wanita paruh baya itu.
"Kita tunggu Adelle bangun," singkatnya yang dibalas anggukan dari wanita itu.
"Memangnya Non Adelle kenapa, Dok? Akhir-akhir ini saya lihat Non mudah lemas lalu sekarang pingsan. Saya jadi takut, Dok," tuturnya heran walau dilanda kecemasan.
Beberapa bulan terakhir ini, ia ditugaskan untuk mengingatkan nona mudanya untuk meminum obat dengan teratur. Dalam batinnya ia selalu bertanya, obat apakah itu? Belum lagi kejadian akhir-akhir ini yang semakin membuatnya cemas.
Dokter Leo hanya tersenyum. Ia sudah berjanji pada Adelle untuk tidak memberitahukan keadaannya pada siapapun, bahkan pada keluarganya sendiri. Alasannya, karena ia ingin orang lain merasa cemas akan keadaannya. Bukankah Adelle terlalu baik?
"Mbok doakan saja," ucap dokter Leo sambil menyingkirkan poni di kening Adelle kemudian mengelus lembut kening itu. Keningnya mengkerut melihat jejak air mata yang mengering di pipi Adelle. Sedetik kemudian ia mengusap pipi halus Adelle.
Bangun, Adelle, banyak yang masih peduli denganmu. Batin dokter Leo.
________Tbc_______
Maaf cerita ini aku publish ulang lagi hehe
Masih ingat, 'kan?
Jangan lupa voment untuk next part😊
4 April 2019
Karrisapr
KAMU SEDANG MEMBACA
INELUCTABLE
Genç KurguJika sebuah nyawa yang hadir adalah anugerah, mengapa ada orang tua yang tega membuang buah hatinya? Satu per satu semua orang meninggalkanmu. Menamparmu dengan satu kenyataan pahit, bahwa kau tak pantas untuk mereka. Menimbulkan luka menganga yang...