Malam ini malam kelima belas meninggalnya Mami, perempuan tangguh yang telah melahirkanku. Memandang luar jendela kamar kerja, bersebelahan dengan kamar tidur. Di luar sana ada taman yang berdiri gazebo dan ayunan, diantara pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin.
Di ayunan panjang itu biasanya perempuan bernama Kartika menghabiskan malam sebelum tidurnya, dia istriku yang satu tahun lalu dipilih Mami untuk menggantikan Fita yang telah meninggal. Tapi ayunan itu sepi, tidak bergerak meski angin kencang menerpanya, kemana dia.
Tiba-tiba perih dada ini mengingat bagaimana Mami shock pagi itu, melihat aku tidur berdua di ranjang kamar dengan wanita yang bukan istriku. Beliau diam tak bergerak namun menatap tajam kearah kami, aku terpaku dengan tubuh terbalut selimut.
Terngiang nama istriku dipanggilnya sebelum membuka kamar yang dikira hanya istriku yang ada di dalam, karena sebelumnya aku pamit masih di Surabaya. Mami tidak tahu kalau semalam aku diam - diam pulang dengan membawa perempuan, dan tidur di kamar. Ya kamarku dan istriku, Mami tidak tahu bahwa aku mengusir Kartika untuk tidur di kamar lain agar bisa bebas bersama perempuan yang aku bawa.
"Tiik,Tika, Tiiik. iki lo tak belikno seprei baru buat kasurmu." Terdengar suara mami di luar kamar, memanggil nama istriku.
Dan pintu kamar pun terbuka tergesa, karena istriku yang entah dimana pagi itu tak menyahut. Kejadian tak terduga itu mengagetkanku yang masih telanjang di atas kasur, juga perempuan yang bersamaku.
Muka Mami didepan pintu menjadi merah, namun berubah pucat pasi ketika Kartika tiba-tiba muncul dari belakangnya.
"Maam, Mami kitaa ngobrol dikamar Maam, Mamii aja ya!"
Terbata suara istriku sambil menggandeng tangan mami yang masih memandangku tajam, nampak istriku itu gugup dan mencoba menarik mami keluar kamar. Tetapi mami malah terduduk bersimpuh dan memegangi kaki istlriku, sujud memohon maaf.
"Ya Allah Nduk, sepurane Mami yo Nduk sepurane!"
Tangis Mami memecah alam sadarku, dengan buru-buru kuraih baju dan celana. Kulihat istriku ikut bersimpuh dan memeluk mami yang menangis, mami masih berusaha memeluk dan mencium kaki isteriku. Aku berlari kearah mereka ketika kudengar jeritan isteriku sambil menguncang tubuh Mami yang lemas di lantai.
"Astagfirulloh, Maamiii, Maaamm, Mamiii. Pak Fajar tolong Pak! Pak Fajar, Buk Minnah tolong! Buk Minnaaahhh,Ya Allah Mamiii"
Teriak isteriku memanggil sopir kami, bergantian memanggil pembantu. Aku mencoba menyentuh tubuh Mami tapi ditepisnya. Baru kali ini melihat sikap kasar isteriku, meski raut muka itu tetap datar seperti biasanya.
Tergopoh Pak Fajar dan Bu Minah menghampiri mereka, pandangan mereka begitu sinis terhadapku yang terduduk di dekat kaki Mami.
Sebentar kemudian aku tersadar, mereka pergi dengan membawa Mami ke Rumah Sakit. Dentuman daun pintu yang dibanting Kartika serasa bom atom, mukaku serasa panas.
Tiba - tiba aku menjadi orang tolol yang tidak tahu harus berbuat apa, mengusir perempuan yang tidur bersamaku semalam. Aku lempar setumpuk uang ke mukanya, dan terdiam di ruang tengah memandang pintu kamar Mami yang terbuka.
Satu jam berikutnya, terdengar tangisan kedua pembantuku dan saling memberi perintah melakukan sesuatu. Mereka sibuk menggeser kursi meja dan sofa diruang depan dan tengah, menggelar karpet dengan terus menangis.
Mamiii ada apa Mam? Hati gelisah tak menentu, bertanya pada diriku sendiri. Kartika, apa yang terjadi? aku gugup melihat sepupuku masuk rumah juga menangis. Dan sejurus kemudian aku tahu, Perempuan tangguh yang kusebut Mami itu telah berpulang dipelukan menantunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LELAKIMU
General FictionAssalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam literasi dari Dayang Sumbi. Nama pena pemberian para sahabatku. Semoga selalu menyukai cerita-cerita yang saya tulis. Mungkin terkadang kisahnya tidak bisa dinalar logika, tetapi bukankah demikian h...