Terpergok

435 44 2
                                    


Malam yang teramat panjang aku lalui setelah menerima chat WA Kartika, seribu pertanyaan seolah menjadi anak tangga yang harus dilalui untuk sekedar mengintip cahaya bintang. Mungkinkah dia memang bintang yang mampu menerangi semua yang disekitarnya, atau hanya bintang yang berpendar indah namun sukar untuk direngkuh. Aah Kartika, mengapa harus kurasakan sedemikian sakit untuk menggapai cahaya cintamu.

**

"Piii..pipiii...bangun! baaanguuunnn..." Nadia menarik-narik hidungku.

"Dek jam berapa sih, Pipi ngantuk masihan."

"Sholaaattt subuuuhhh, nanti Mimi Tika datang marah lo kalau gak subuhan," Nadia menarik selimut dan memukul kakiku.

Dan mata ini berubah terang mendengar nama Tika disebut, akankah dia kembali ke rumah ini. Selamanya atau sekedar menghabiskan waktu sampai seratus hari meninggalnya Mami, atau sampai empat puluh harinya saja, aku harus bagaimana?

Apa Nadia berpikir kalau Kartika kembali kesini untuk seterusnya, atau hanya luapan kebahagiaan akan hadirnya Kartika yang sesaat sebelum dia berangkat ke pondok sehingga antusias menyambutnya. Atau mungkin ada hal lain yang tidak aku ketahui, yang telah mereka bicarakan kemarin di telpon.

Ya terserahlah, paling tidak aku ada kesempatan menebus rasa bersalah atas sikap selama ini, perduli amat dengan alasan Kartika mau menikahiku. Meskipun ada perih menusuk sudut hati, tetapi rasa cinta ini mengalahkan rasa itu.

Nadia memilih menunggu di rumah, entah apa yang dikerjakan bersama pembantu. Mereka  tidak kalah semangatnya, seakan menyambut sang ratu. Aku kembali sibuk bekerja tanpa berani berharap lebih tentang kembalinya Kartika, meskipun dalam hati memohon dia tinggal selamanya.

***

Sampai tiba waktu makan siang aku putuskan untuk makan di restoran ditengah kota, sendirian. Aku lirik arloji menunjuk angka satu ketika mobilku memasuki area parkir, berjalan sedikit menunduk karena membalas chat staff kantor tentang pekerjaan.

Dan mata ini hanya membulat dan terasa perih, ketika melihat seseorang yang aku kenal keluar dari restoran. Kartika keluar dari sana bersama Hermawan dengan senyum yang sumringah, seakan ada kebahagiaan yang tengah dibagi bersama.

Kartika berdiri mematung dan menatap canggung, sedangkan Hermawan menunduk. Sedetik kemudian aku melewati mereka, seolah tidak mengenal bahwa mereka istriku dan mantan iparku. Hati ini terlalu sakit untuk menduga, harga diri terlanjur luluh lantak dengan semua kenyataan yang aku temui beberapa hari ini.

Melangkah ke dalam restoran seolah tidak melihat siapapun, memilih meja di sudut agar tidak menjadi pusat perhatian makan siang seorang diri. Dada bergemuruh oleh amarah, tetapi otakku harus tetap waras seperti Nadia yang bisa mengambil keputusan untuk mengobati hatinya. Belajar dari siapapun termasuk anak, menguatkan hati menghadapi kenyataan kearah hal yang positif. Indra kamu harus bisa seperti Nadia, kendalikan hatimu.

Hanya menunduk dan terpejam menahan perih,  menahan tumpahan air mata yang sudah hampir meluap. Aku laki-laki, tetapi begitu cenggeng dengan mudah menangis. Sesungguhnya aku tidak cenggeng, hanya tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Mami, orang satu-satunya yang memahamiku pergi karena kelakuanku. Ya Allah Ya Rabb, inikah hukuman dunia untukku.

Tangan terkepal menahan emosi, menghempaskan nafas untuk menetralkan rasa. Namun disaat mulai menata hati, terdengar kursi di depanku di geser dan seseorang duduk di hadapanku.

"Pak In..." tanganku disentuh dengan lembut, tanpa melihat pun aku tahu dia siapa.

"Aku ingin makan siang sendiri Tik, tolong jangan ganggu," ucapku tanpa mengangkat kepala untuk memandangnya, entah mengapa pedih itu kian merayap ke sekujur tubuhku saat mendengar suaranya.

LELAKIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang