Hujan baru saja reda ketika seorang perempuan bernama Kartika, pamit pulang ke kostnya kepada pembantu di rumah besar itu.
Sebagai menantu tunggal di rumah itu, Kartika lah yang mewarisi segala urusan rumah tangga disana, bahkan sebelum Ibu mertuanya meninggal.
Aminnah, pembantu tertua di rumah besar itu menatapnya dengan iba. Bu Minnah demikian mereka memanggil, kerja disana sejak Indra masih duduk di bangku SMA, dan mengenal baik semua kerabat termasuk keluarga besan.
Perempuan paruh baya itu hanya menghela nafas panjang, mengingat rentetan peristiwa yang terjadi disana.
Indrawan Widjanarko adalah putra tunggal dari Bapak Anggoro dan Ibu Nuraini, meskipun sebenarnya dia memiliki saudara kembar yang meninggal karena kecelakan. Karena itulah Indra begitu dimanja dan digadang oleh kedua orang tuanya.
Di masa kanak dan remaja, sebenarnya Indra anak yang patuh dan baik, sebelum Papinya tidak merestui hubungan cintanya dengan Savitri yang masih sepupu sendiri.
Savitri adalah putri dari kakak Bu Nuraini, sehingga dalam adat jawa tidak boleh menikah antara sepupu jika pihak wanita lebih tua kedudukan dalam silsilah keluarga.
Terlebih setelah Indra dijodohkan dengan putri dari sahabat papinya, Fita Puspitasari ibu kandung Nadia. Kelakuan Indra berubah drugal dan urakan, sering mabuk dan main perempuan. Tetapi tetap bertanggung jawab dalam bekerja melanjutkan usaha orang tuanya, memiliki toko - toko besar di banyak kota.
Seringnya bepergian untuk mengurus bisnis membuat Indra makin bebas dalam pergaulan, sampai istrinya Fita serasa tidak dianggap ada. Pak Anggoro sampai jatuh sakit dan meninggal memikirkan putra tunggalnya.
Namun, senakal-nakalnya kelakuan Indra, dia tidak berani melawan titah Maminya. Itulah sisi baik dari lelaki yang berperut agak tambun, karena alkohol yang sering diminum. Tetapi kalau sudah marah apapun akan dihancurkan, berteriak dan memaki. Namun ada yang berbeda sejak menikah dengan Kartika, tidak pernah terdengar barang pecah dibanting, dia lebih memilih pergi dan pulang kondisi mabuk.
Ibu Nuraini memaksanya menikahi Kartika karena petunjuk dari Kyai di Tuban, bahwa hanya Kartika yang mampu mengendalikan Indra. Susah payah Ibu Nuraini menemukan sosok Kartika, yang hanya dibekali petunjuk oleh Kyai dimana bisa menemukan Kartika.
"Piye Yu nurut sampeyan, opo aku harus mlaku ngulon?" tanya Ibu Nuraini meminta pertimbangan Bu Minnah, malem itu sekembalinya dari Tuban.
"La monggo sak kerso, nanti Nadia kaleh kulo njeh sampun manut kok."
"Trus nek ora iso nemu kepriye Yu?"
"Loooo belum dilampahi ko sudah nyerah, haiyoo bismilahi to Bu!"
Sejak saat itu Ibu Nuraini sering pergi ke Ponorogo, mencari pondokan atau yayasan untuk anak-anak jalanan atau anak terlantar, karena disana akan mendapatkan menantu yang punya watak Trajumas sesuai petunjuk Kyai.
Ibu Nuraini tidak perlu alasan untuk pergi beberapa hari, karena beliau memang sering pergi luar kota juga untuk mengurus bisnis atau sekedar berkunjung ke kerabatnya yang jauh.
"Yu, aku wes yakin kalau Kartika iki calon mantuku, atiku mantep nyawang slirane seng anteng tapi anget. Tapi punya anak siji lanang Yu, wes joko." demikian cerita bu Nuraini kepada bu Minnah tentang sosok Kartika, yang katanya dikenal di Sanggar Anak Jalanan yang dikunjunginya.
Bu Minnah cuma manggut-manggut saja, tetapi mikir bagaimana reaksi Indra nanti kalau tahu dia di carikan istri lagi tanpa persetujuan nya.
"Buk, Bu Minnah. Bikino kopi trus campuren racun ben aku mati buk!' keluh Indra saat tahu tanggal pernikahannya sudah ditentukan lagi, dan dia tetap tidak bisa menolak titah Maminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LELAKIMU
General FictionAssalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam literasi dari Dayang Sumbi. Nama pena pemberian para sahabatku. Semoga selalu menyukai cerita-cerita yang saya tulis. Mungkin terkadang kisahnya tidak bisa dinalar logika, tetapi bukankah demikian h...