TRAUMA NADIA

634 50 11
                                    

Beberapa menit kemudian aku sudah berada di samping ranjang Kartika, menatap tubuh pucat itu lagi. Mulut, hidung dan lengannya masih ditempeli selang dan kabel yang terhubung pada alat medis disekitarnya, bahunya terbuka tak berbaju.

Pasti Kartika kedinginan dengan ruangan ber-AC ini, bagaimana kalau dia cegukan seperti biasa kalau kedinginan, apa boleh digosok minyak kayu putih. Aku menggenggam erat telapak tangan itu, tetapi sudah tak sedingin kemarin. Menaikkan selimut sampai leher dan menutupi sebagian lengannya agar tidak kedinginan, kening yang kukecup pelan serasa hangat oleh nafasku sendiri. Ya Allah kalau boleh meminta aku saja yang menggantikan sakitnya, lagi-lagi hanya air mata yang mengalir deras di pipi.

Entah mengapa begitu cengeng aku sekarang, mencoba menatap langit kamar ICU ketika sekilas terlihat Kang Rama berdiri diluar jendela menatap kami disini. Rupanya gorden penutup jendela kaca telah dibuka sejenak, untuk para keluarga bisa mengintip pasien yang berada di dalam.

"Ayo, Mimi bangun ... Mimi sayang bangun ya!" bisikku di telinga kiri Kartika, dan seperti terkejut dia menggeser telapak tangannya. Alhamdulillah Ya Allah, Kartika mungkin mendengarku.

"Sayang, Pak In di sini, bangun gi ayo bangun!" bisikku lagi lebih semangat setelah melihat gerakan tangannya tadi, tetapi tangan itu kembali diam. 

Sepuluh menit bersamanya di sana membuatku kian gelisah memikirkan bagaimana kondisi Kartika, keluar ruangan dengan langkah yang lemas.

.

Mencoba menyalakan ponsel Kartika yang sejak kemarin aku off, dan benar saja ada ratusan notifikasi yang berdesakan masuk.Tak ada satupun yang aku kenal, dari tampilan teratas kubaca sekilas betapa banyak orang yang berdoa atas kesembuhan.

Membuka panggilan masuk dan tak terjawab, Bagus Hermansyah yang terbanyak tak terjawab dan pemanggilanku kemarin siang saat peristiwa itu belum terjadi disaat ponsel ini ditinggalkan di kamar oleh Kartika. Ada SMS dari M Banking, pemberitahuan transfer masuk ke rekening Kartika, entah siapa saja dari mana. Aku hanya bersandar kembali di punggung kursi, berdzikir dalam diam ketika ponselku berdering dari Neng Shinta.

"Assalamu'alaikum, Dek In."

"Wa'alaikumsalam, nggih Neng ada apa?"

"Ini aku sudah ketemu Nadia tapi anaknya gak mau diajak pulang e Dek gimana?"  aku baru ingat kalau Neng Shinta disuruh Kang Rama untuk memberitahu Nadia kalau Miminya sakit, sekarang kok malah gak mau bezuk ada apa nak.

"Mana Nadia Neng saya tak bicara." pikiranku kembali campur aduk, marahkah Nadia, padahal minggu kemarin baik-baik saja ketika kami berkunjung kesana.

"Pipi ... Adek gak mau ketemu Mimi... gak mau." Nadia sudah berbicara sambil menangis sebelum aku menyapanya.

"Adek ... kenapa, Dek? Marah ta sama Mimi. Kan Mimi sakit, dek kasihan."

"Adek takut Piii, Adek takut lihat Mimi Tika mati kayak Mimi Fitaa ... gak mau Adek gak mau lihaattt huuaaa." Jleeekkk dadaku serasa dihantam puluhan kilo baja, anakku masih trauma dengan kematian Fita karena kecelakan dan sekarang Kartika juga terluka karena kecelakan. Astaghfirulloh ....

Ya Allah, betapa hancur hati anakku pastinya. Sekian menit aku masih mendengar isak tangisnya diseberang sana, sedangkan disini aku pun tak kalah deras air mata mengalir.

"Adek jangan nangis lagi ya, doa terus buat Mimi agar kembali sehat. Nanti kalau Mimi sehat akan nemui Adek di pondok ya sayang ya, anak cantiknya Pipi gak boleh sedih ya. Pipi yang rawat Mimi, Adek bantu doa ya." Aku mencoba menenangkan tangis Nadia.

"Pi, apa Kak Yoga sudah tahu kalau Aminya sakit? Sedih Pi, Kak Yoga kasihan."

"Mungkin Abinya Kak Yoga yang bilang dek, Pipi kan gak bisa hubungi Kak Yoga di pondoknya. Sudah Adek kembali belajar ya, jangan nangis lagi Nak."

Neng Shinta kembali ke RS tanpa Nadia, siang itu Abah Ummi Baskara datang menjenguk, Abah Ummi Anggoro juga datang kembali.

.
.

Selepas Magrib kembali datang pemuda yang kemarin ikut menyumbangkan darahnya bersama beberapa anak muda, ijin mengelar istighosah di ruang tunggu. Kang Rama dan Hermawan duduk di pojok dan aku lebih dekat ke arah pintu ruang ICU, berjaga kalau ada panggilan dari perawat tetapi sampai tengah malam tidak juga ada kabar atau panggilan.

Tiga hari sudah Kartika lelap dalam tidurnya, membuat sakit di ulu hatiku kian nyeri jika memikirkan. Kang Rama pamit kembali ke Ponorogo untuk sekedar memantau kantor, sedangkan aku sendiri hanya memantau kerjaan dari ponsel.

Untung saja Kartika kemarin sempat menempatkan beberapa tenaga potensial, sehingga sangat membantu kondisi darurat seperti ini.

Pagi ini dokter kembali memanggilku, dan ada dua dokter sekaligus yang menemui.

"Pak Indra, apa selama ini Ibu pernah mengalami komplikasi atau pernah ada riwayat sakit yang mungkin bisa kami pelajari ulang untuk penanganan kesehatan Ibu?"

"Eeehh tidak pernah Dok, tapi kalau dulu-dulu saya belum tahu sebab kami baru satu tahun bersama. Saya akan cari kan info dari keluarga dulu."

"Secara medis Ibu sudah normal Pak, organ vitalnya bagus. Tetapi mengapa masih belum sadar juga, jadi kami rasa lebih baik Ibu dipindah ke ruang perawatan saja. Menurut kami Ibu ada trauma kejiwaan, maaf sebelumnya. Mungkin ada masalah keluarga, yang membuat Ibu tidak ada semangat untuk menyadarkan diri dari koma Pak. Karena selain kondisi fisik pasien, pengaruh dari psikis sangat besar dalam hal ini."

Aku menunduk dalam, benarkah Kartika menolak sadar karena merasa kecewa dan sakit hati karena kemarahanku kemarin.

"Lalu solusinya bagaimana Dok?"

"Langkah awal ya kita pelajari rekam medis kesehatan Ibu terdahulu sebelum kecelakaan, Ibu dipindah ke kamar perawatan agar bisa lebih dekat dengan keluarga yang datang, mendengar suara mereka mungkin bisa merangsang keinginan untuk kembali bangun. Anda mungkin lebih tahu siapa orang terdekat Ibu, yang mungkin bisa membantu bathinnya bersemangat hidup lagi."

Segera kuhubungi Abah Anggoro, Shinta dan Kang Rama yang mungkin tahu penyakit yang pernah di derita Kartika. Tetapi semua menjawab tidak ada atau tidak tahu, terpaksa menghubungi Bagus yang lama hidup bersama Kartika. Tetapi bukan jawaban yang aku terima, lelaki tampan itu kembali memaki dengan ucapan kotor dan menyakitkan

LELAKIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang