Sebuah Mimpi

467 40 3
                                    


Dinginnya angin malam membuat terlelap sejenak diatas kursi tunggu, membawa kedalam situasi yang aneh. Kami berdua, aku dan Kartika memakai baju pengantin, ya baju pernikahan kami dulu.
Banyak tamu yang menghadiri pernikahan kami, tetapi semua diam.

Tiba-tiba datang suara bergemuruh dari atas pelaminan, asap putih menyelimuti kami berdua. Kartika berteriak memanggilku tetapi asap putih kian tebal dan menghalangi pandangan, tiba-tiba Kang Rama melompat dan menangkap Kartika yang hendak dibawa asap itu melayang. Pandanganku yang terhalang asap putih tadi, berusaha menggapai tangan Kartika yang mencoba menggapaiku. Penuh dengan kepanikan mencari Kartika, kemudian ada tangan lembut yang memegang lenganku.

"Tikaaa!" teriakku seketika, menyangka itu tangan Kartika yang bisa meraihku.

"Dek Indra, bangun dek!" ucap Kang Rama disebelah sambil memegang lenganku, aahh rupanya aku bermimpi.

"Kenapa dek, kok njenengan kelihatan bingung gitu, kaget aku bangunkan ya?" tanya Kang Rama sambil memandang cemas, keringat membasahi tubuhku.

"Saya mimpi Kartika Kang." Lalu mencerita singkat tentang mimpiku, Kang Rama tersenyum sambil memandang pintu ruangan ICU.

"Alhamdulillah dek kalau Kartika tidak dibawa asap itu, Inshaallah Kartika besok sadar dan sehat kembali. Ayo tahajut dek, sudah jam tiga keburu subuh nanti."

Kami berdua putuskan sholat tahajut di sudut ruang tunggu, tidak berani ke Masjid kalau nanti Perawat membutuhkan kami tidak ada.

Masih terusik oleh mimpiku tadi, sepertiga malam kalau mimpi kata Mamiku itu firasat. Tetapi mengapa Kang Rama yang menolong Kartika, apa mimpiku hanya bawaan ingatanku saja karena Kang Rama lah yang mendonorkan darahnya pertama kali buat Kartika.

Dalam sujudku di sepertiga malam ini tetap memohon kesembuhan Kartika, aku bahkan lupa kalau dokter menyuruh untuk general check up.

Adzan subuh menggema, kembali ingat di kamar bersama Kartika. Jika aku tertidur setelah qiyamul lail, dia akan meniup kelopak mata untuk membangunkan tidurku.
Ya Allah ... dia masih tertidur disana tetapi hatiku sudah hancur berantakan, bagaimana jika Engkau benar mengambil dariku.

Terdengar lirih namaku disebut,

"Pak In ... Pak In ...."

"Tikaaa ...." Setengah meloncat karena terkejut, tersadar dari tidur di lantai ruang tunggu pagi ini, ketiduran setelah selesai sholat subuh tadi.

Bu Siti berdiri di depanku dengan wajah sedikit ketakutan, karena terkejut oleh teriakanku yang menyangka suaranya adalah suara Kartika.

"Astagfirulloh ... Bu Siti!" Aku mengambil nafas panjang menata kesadaran.

"Ngapunten Pak In, ngapunten njeh." Bu Siti duduk di depanku.

"Piye Bu, Abah sare di kamar mana?"

"Wonten kamar tengah Pak, mboten kerso sare kamar Ibu ndalem."

"Heemm ya sudah, ramuten yang bener ya makan e atau butuh laine jangan sampai nyari sendiri."

"Nggih Pak, ini Bu Minnah bikin bubur buat sarapan njenengan sama sarapan buat Pak Rama." Sambil membuka tas berisi kotak makan, ada susu hangat dan kopi di termos kecil.

"Ini air madu sama lemon, kata Bu Minnah yang nyuruh itu Jeng Tika tiap pagi njenengan harus minum ini dulu." Sambil mengangsurkan termos dan gelas, jadi teringat Kartika lagi setiap pagi aku dipaksa minum air hangat yang dicampur madu dan perasan lemon. Katanya baik untuk pencernaan dan penurun lemak perut, sambil menuang aku clingukan mencari Kang Rama karena tidak ada disekitar sini, kemana dia pergi.

Perasaan mual kembali menyergap ulu hatiku, Ya Allah ada apa dengan tubuh ini. Dari kejauhan terlihat Kang Rama datang membawa kantung plastik di tangan kirinya, dan dia berjalan sambil berbicara di telpon dengan seseorang.

"Kang Rama dari mana, ini ada kopi dan sarapan kiriman dari rumah. Monggo!" ucapku seraya mengeser duduk agar Kang Rama bisa duduk berhadapan denganku.

"Lo siapa yang antar kesini, dekat to Dek dalem e njenengan ki ama sini. La ini aku juga beli nasi bungkus e." Sambil menunjukkan kantung plastik di tangannya.

"Tadi Bu Siti yang mampir sekalian belanja kepasar, rumah ya agak jauh Kang sekitar 7 kiloan." Aku memegang perutku yang benar-benar nyeri dan mual.

"Dek, njenengan ko kesakitan begitu to. Periksa sekalian yo mumpung di rumah sakit, nanti Tika tak jaga e."

"Ndak apa-apa Kang, wes biasa gini."

"Lo karena biasa itu harus e curiga ada apa to  dek, wes sarapan agi trus kalau Poli sudah buka njenegan periksa. Bagaimana bisa ngrawat dan jaga Tika nek diri sendiri sakit."

Aku terdiam memandang rantang berisi bubur, kambali air mata ini tak bisa tertahan. Bagaimana bisa makan sedangkan istriku masih di dalam, belum ada kabar perkembangan apapun dari dokter dan perawat.

"Dek, boleh mikir boleh terbebani masalah. Tapi harus mikir sehat untuk diri sendiri agar bisa berbuat sesuatu untuk Kartika, kalau njenengan drop, sakit bagaimana bisa berbuat sesuatu untuk Kartika."

Akhirnya perutku yang dari kemarin siang tak kemasukan makanan, pagi ini separuh rantang bubur aku makan, karena Kang Rama selalu menasehati agar terus berusaha sehat untuk diriku sendiri dulu. Njenengan sebenarnya siapa Kang, mengapa kebaikan itu bagai bayang-bayang langkah Kartika.

Pukul sepuluh pagi dokter memanggilku untuk memberitahu perkembangan kesehatan Kartika.

"Pagi Pak Indra, begini ya pak. Kondisi Ibu sudah ada perkembangan yang bagus, intinya sudah lepas dari masa kritisnya. Jadi tinggal pemulihan kesadaran dari koma saja, kita tunggu sama-sama saja!" kata Dokter Wahyu memberi sedikit gambaran kesehatan Kartika dan sedikit membuatku lega.

"Kira-kira kapan istri saya sadar dok, Apa bisa menunggu didalam? "

"Belum bisa dipastikan Pak, semoga secepatnya. Untuk bisa menunggu di dalam saya rasa belum, tetapi untuk sekedar melihat beberapa menit saya bisa ijinkan asal mengikuti prosedur yang ada."

.

LELAKIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang