.
Malam berlalu dalam seribu tanya, sedangkan Kartika terlelap di sampingku tetap diam dalam semua rasanya. Genggaman jemarinya erat seakan enggan menjauh, kepala mungil itu tenggelam dalam dada seakan mencari kenyamanan dalam debur detak jantungku.
Perempuan memang aneh, namun sungguh unik yang di dekatku ini. Sikap dingin seolah gugusan salju, namun bisa berubah menjadi ombak yang ganas. Dengan cepat menjadi tenang tanpa ada riak yang menandakan dirinya baru saja bergolak, sungguh pengendalian jiwa yang anggun.
.
*
.Dan pagi ini kelopak mata menjadi dingin oleh tiupan hangat bibirnya, tersenyum dekat di mataku. Hanya bisa berdoa, semoga senyum itu lah yang selalu kulihat pertama kali ketika membuka mata ini dan yang terakhir ketika esok mata ini tertutup untuk selamanya.
Rasa mual kembali menghantui pagiku, begah dan lemas padahal tidak aktifitas berat. Berangkat ke kantor setelah mengantar Kartika, dia mencium tanganku dan mendaratkan kecupan manis di pipi adalah kemesraan pagi yang baru tercipta, hanya bisa mengecup keningnya sebagai balasan.
.
[Pak In]
Chat WA masuk dari Kartika, ketika aku masih sibuk bertemu buyer siang ini. Mengabaikan sejenak, mungkin tidak seberapa penting. Sepuluh menit kemudian, chat Kartika masuk lagi.
[Assalamu'alaikum, Pak In] dengan emotion sedih, hatiku tak enak langsung menghubungi Kartika.
"Mimi Tika kenapa, sakit ta?" tanpa salam aku tanya Kartika.
"Assalamu'alaikum, pak Iiin!" suara Kartika ditekan saat menyebut nama, menandakan dia mengingatkanku.
"Wa'alaikumsalam, iya sayang iya.. gupuh pak In kok Mimi sedih gitu."
"Enggak, cuma ngingetno Pak In buat maem jangan telat ya, nanti asam lambungnya naik lagi."
"Heemmm habis ini ya, Miminya juga maem."
"Pak In,"
"Daleeem, kangen ta?" godaku agar tidak kaku, karena ini pembicara pertama di telpon bersamanya. Konyol banget pernikahan kami, satu tahun baru dengar suaranya di telpon.
"Ih pak In, nguawoor kok." Aku tertawa membayangkan raut mukanya saat bilang ngawor, gemes seketika.
"Tika ijin ke Jombang ya, ada urusan dikit. Ini saya sudah sama Pak Fajar."
Apa Hermawan marah dan menghindar sehingga Kartika pergi sendirian, aah tapi itu lebih baik karena semalam aku berpikir untuk menyuruh Kartika berhenti saja dari sana dan kalau ingin bekerja di kantorku sendiri. Selain waktu kami untuk bersama semakin banyak, aku butuh asisten pribadi yang bisa diajak pergi untuk urusan luar kota. Kasihan Kartika di rumah sendirian kalau kutinggal pergi lama, yah sekali dayung tiga pulau terlampaui.
.
*
.Pukul lima sore mobil kuparkir di garasi, sekilas terlihat Kartika duduk di teras menunggu. Ada apa, pamitnya ke Jombang kok sudah pulang. Pakaiannya juga rapi meskipun bukan baju pergi, tetapi berbeda dengan yang dulu-dulu dan ada polesan lipstik di bibirnya.
"Mimi kok sudah pulang, katanya pergi?" tanyaku disambut kecupan di tangan dan pelukan di pinggang. Bu Minnah tersenyum melihat kemesraan kami, aku balas kedipan mata yang membuat pembantuku itu terkekeh.
"Sudah, kan tadi bilang urusannya dikit." jawabnya sambil menyentilkan ujung jarinya, gayanya mirip Nadia membuatku makin gemes. Pipinya semburat merah karena malu, karena aku mencuri bibirnya disaat bu Minnah masih berdiri di pintu tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LELAKIMU
General FictionAssalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam literasi dari Dayang Sumbi. Nama pena pemberian para sahabatku. Semoga selalu menyukai cerita-cerita yang saya tulis. Mungkin terkadang kisahnya tidak bisa dinalar logika, tetapi bukankah demikian h...