Kijang Kencana

509 38 2
                                    

Perasaan seolah dihantam puting beliung, melayang berputar tanpa arah dan porak poranda hanya dengan memandang tubuh istriku yang berlindung dibawah selimutnya. Aroma khas minyak kayu putih seolah telah menjadi candu dalam udara yang kuhirup, menjadi penanda dia ada disini meskipun tidak pernah menyentuhku dalam gairahnya.

Mengingat meninggalnya Mami adalah hal terpedih dalam waktu terakhir, mengantarkanku pada sebuah cahaya kewarasan jiwa namun harus membayar dengan hidup terpisah dengan putri tunggalku Nadia, dan esok dia siap menjalani cerita barunya.

Tak kuat menahan derasnya dorongan air di pelupuk mata ini, bendunganku sebagai lelaki tidak cukup kuat menahan rasa bersalah dan sesal. Tidak ingin malu ketahuan menangis oleh Kartika, aku melangkah keluar kamar dan menuju kamar Nadia.

Dua belas tahun memilikinya dalam hidupku, ini yang kedua kali memeluk dan menemani dalam lelapnya, sampai tidak menyadari sejak kapan Kartika ikut berbaring di sebelah kiri Nadia.

"Pipi... Pipi... bangun! Mimi... Mimi... bangun! kok tidurnya di kasur adek sih?" ucap Nadia seraya menggoyang-goyang tubuh kami bergantian, aku dan Kartika.

"Dek, masih malem yuukk bobok lagi!" kata Kartika seraya memeluk Nadia lagi, tidak sengaja tangannya memegang lenganku yang juga sedang memeluk Nadia. Dia diam tak menyingkirkan tangannya dari lenganku, ada hangat yang mengalir disana dan aku menikmatinya.

"Ooww, Pipi Mimi boboknya ama adek karena besok adek mondok ya?" tanya Nadia lagi, sambil menyatukan telapak tangan kami di perutnya.

"Heeemm, ayo bobok lagi dek biar besok bisa subuhan tepat waktu!" ucap Kartika lagi sambil mencium pipi kiri Nadia, membuatku melakukan hal yang sama di pipi kanan Nadia. Akhirnya malam ini kami tidur bertiga dalam satu ranjang, dalam mimpi yang berbeda.

*****

Setelah makan pagi kami bersiap untuk berangkat mengantar Nadia ke pondok, terlihat Bu Minnah dan Bu Siti menangis melepas kepergian momongan mereka. Nadia memeluk dan mencium keduanya seakan menunjukkan betapa dekat hubungan mereka, bukan hanya sebatas pembantu dengan anak majikan.

Berangkat dengan senyuman ceria di wajah Nadia dan seperti biasanya, di dalam mobil  selalu memutar sholawat atau tembang jawa islami. Entah dari mana Nadia mengenal dan  mulai menyukainya, tetapi file di ponselnya penuh memori memuat itu. Wajahnya ceria tanpa beban, meski dia tahu tinggal di pondok tidak mudah baginya yang sudah terbiasa dilayani.

"Mimi Pipi, jangan lupa ke pondok tiap minggu pertama dan ketiga yaaa. Adek pasti kangen, kangen, kangeeenn." bergantian Nadia mencium kami bergantian.

Tidak pernah menemukan jawaban tepat mengapa Nadia begitu menyayangi Kartika yang hanya ibu tiri baginya, seperti diriku yang dulu menolak kehadirannya. Memikirkan setiap hari bagaimana bisa membuatnya tidak betah tinggal di rumah membuat nama Kartika tersimpan di sudut hatiku, berdiam diri disana dan tanpa sadar telah berakar dengan tumbuh tunas cinta, dan sekarang aku bersiap mencabut tunas yang kian subur itu dari hati ini.

"Pak In, Mas Rama sudah menunggu di parkiran pondok sebelah kiri" kata Kartika ketika kami sudah mendekati lokasi. Aku menoleh cepat ke arahnya, dia memandangku sekilas dengan tersenyum lalu memandang ponselnya lagi.

Kang Rama, neng Shinta dan mas Fadli suaminya serta beberapa anak rumah singgah ikut datang ke pondok. Entah apa tujuannya, namun Nadia sangat bahagia menemui mereka.

"Assalamu'alaikum." kang Rama menyalamiku dengan tatapan teduhnya, aku lelaki saja terpesona dengan senyuman itu tetapi bagaimana bisa dia masih melajang sampai usia sekarang.

"Wa'alaikumsalam Kang Rama, alhamdulillah bertemu kembali disini." jawabku.

Kami hanya membicarakan tentang Nadia yang diam-diam meminta mereka untuk datang mengantarnya ke pondokan hari ini, jadi dugaanku salah yang mengira Kartika yang menyuruh mereka datang.

LELAKIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang