Langkahku terhenti sejenak, disaat terasa kaki Nadia dikaitkan erat ke perut. Seakan Nadia enggan memasuki rumah yang kelihatan sudah senyap, mungkin saat ini mereka sedang sholat dhuhur.
Aku putuskan masuk lewat pintu depan, agar tidak melihat mereka yang sedang kumpul bersama. Menurunkan Nadia di depan pintu kamar tempatnya tidur semalam, setengah berbisik aku bilang ke Nadia,
"Adek mandi lalu sholat dhuhur giih!" sambil mengusap hidungnya yang memerah karena banyak menangis."Pipi sholatnya barengan Nadia, disini ya!" Nadia melirik ke arah Kartika yang dari tadi mengikuti kami dan berdiri di samping kiriku. Hanya bisa mengangguk dan berlalu dari sana, menuju kamar Kartika untuk mandi dan berganti pakaian.
Memasuki kamar ini kembali melihat lukisan mereka, hatiku berdesir perih. Bahkan lebih perih dari yang semalam, aahh Indrawan Widjanarko ternyata kamu tidak lebih dari batu pijakan untuk seorang Kartika. Hanya menjadikanku muhallil atas pernikahannya, pantas saja dia tidak terusik oleh perlakuan burukku. Namun benarkah hatinya sedemikian keji, mempermainkan takdir orang lain dalam sakralnya pernikahan.
Aku tersenyum pahit memandang ranjang berkelambu putih itu sekilas, kemudian mandi sambil berpikir apa harus memberikan surat cerai secepatnya ke Kartika. Tetapi sisi hatiku yang lain berbisik jangan biarkan Kartika pergi, sebab apapun yang terjadi Kartika masih dalam kuasaku sebagai suaminya.
Saat keluar kamar mandi ponsel Kartika berdering, sedangkan empunya tidak di sini. Tercenung sesaat, haruskah kuangkat panggilan dari Hermawan itu. Tiba-tiba Kartika masuk ke kamar dengan membawa baju cadanganku yang ada di mobil, kuambil baju dari tangannya dan memakai sambil melirik ke arahnya yang menjawab telpon dari Hermawan.
Dadaku begitu sesak namun tidak tahu harus berkata apa, keluar kamar membawa tas kecilku menuju kamar Nadia. Merasa tidak berhak atas kamar ini, terlalu memaksa sakit untuk tinggal lebih lama.
Ternyata Nadia sudah menunggu di depan pintu, mengajak sholat dhuhur bersama di kamarnya.
Entah berapa lama aku berdoa dan berdzikir tanpa menyadari Nadia berjongkok di hadapan dan menghapus air mata yang deras mengalir. Kembali memeluk gadis kecil yang selama ini luput dari perhatian, putriku yang pandai menyimpan luka.
"Pipi kok nangis doanya, doa buat siapa sih?" tanya Nadia setelah aku melepaskan pelukan.
"Untuk Eyang Nur, Eyang Kung dan Mimi Fita, tadi adek doa apa hayooo?" jawabku sambil mengandengnya ke tempat tidur.
Mata bulat itu bergerak-gerak, seperti ada yang tertahan disana. Lalu,
"Doa agar Pipi dan Nadia gak sedih kalau nanti Mimi Tika pergi."Nadia menguap, kubantu membetulkan letak bantalnya ketika Nadia berbaring memeluk guling. Mencium kening Nadia sekilas sebelum berbaring disebelahnya, kami bersholawat sampai tidak terdengar lagi suaranya tanda dia terlelap. Aku pun hampir tertidur ketika merasakan ada yang duduk di dekat punggung ku.
"Pak In dahar dulu, sudah ditunggu!" kata Kartika seraya menyentuh lembut bahu kiri yang memeluk Nadia, aku menoleh sedikit dan menggeleng.
"Suruh ninggal aja Tik, gampang nanti aku sama Nadia belakangan. Nadia kecapekan, kamu saja temani mereka makan ya!" kataku sambil kembali memandang rambut Nadia.
Kartika bernafas panjang lalu meninggalkan kamar, aku hanya ingin anakku merasa ada yang memihaknya. Dan itu aku, pipinya.
***
Terbangun ketika merasakan kelopak mata dingin seperti sedang ditiup, membuka berlahan dan ternyata Nadia terkekeh di hadapanku.
"Pipi ayooo pulaaangg!" ucapnya seraya menggeret tanganku agar bangun dari tempat tidur. Rupanya luka hati dan kecewa membuat Nadia tidak lagi betah di rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LELAKIMU
General FictionAssalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam literasi dari Dayang Sumbi. Nama pena pemberian para sahabatku. Semoga selalu menyukai cerita-cerita yang saya tulis. Mungkin terkadang kisahnya tidak bisa dinalar logika, tetapi bukankah demikian h...