Depression

62 19 8
                                    

Direvisi biar gak bertele-tele:)
Happy read!
______________________________

Malam dengan puncak kesunyiannya, terus memaksa kepingan memori buruk untuk menyatu kembali. Enggan berdamai dan terus berontak tanpa orang lain ketahui.


Ingin terlelap namun mata tetap terjaga, ingin pergi namun hati tak menyutujui. Rasanya seperti mati langkah di tempat yang tak seharusnya.

Ruang yang hening, perasaan yang hancur, ribuan kenangan yang menyakitkan— sungguh siapa pun pasti berpikir tidak ada hal yang lebih baik dari kematian. Semua begitu menyesakkan hingga untuk bernapas saja rasanya harus bertukar nyawa.

Yoora berusaha untuk tidak peduli dengan apa yang sudah terjadi, namun usahanya selalu saja sia-sia. Tidak ada yang bisa ia percayai saat ini. Ibunya pergi dan tak pernah kembali, ayahnya pun entah kemana. Mereka meninggalkan beribu tusuk luka tanpa memberitahu bagaimana cara menyembuhkannya.

'Jaga dirimu, nee? Eomma baik-baik saja. Ini hanya sakit biasa. Besok juga pasti akan sembuh. Maafkan eomma. Eomma tidak bermaksud membuatmu kecewa di hari yang membahagiakan ini'

'Eomma bangga padamu. Kau lulusan terbaik, kan?, Eomma sudah tahu. Eomma juga sudah menyiapkan hadiah untukmu. Kau bisa memintanya pada Oppa 'mu nanti. Tapi jangan memintanya sekarang. Ambil saat kau telah melewati masa Suneung selanjutnya'.

'Yoora, eomma ingin istirahat sebentar. Eomma lelah. Tolong bangunkan eomma saat senja nanti, nee?'

Dan saat hari telah beranjak senja, yang minta dibangunkan tak kunjung membuka matanya. Alat yang menempel pada tubuhnya tiba-tiba dilepas begitu saja. Selimutnya berganti kain putih, bahkan ruangannya pun tak lagi sama.
Dia benar-benar istirahat, namun bukan untuk bangun di waktu senja.

Yoora hancur. Hatinya amat terluka.

Dan, Nasihat lama itu benar sekali.

Pada akhirnya, kamu hanya harus menjadi dirimu sendiri. Menepuk dadamu berkali-kali saat dunia mulai menyakitimu. Karna nyatanya, tidak ada yang benar-benar paham tentang keadaanmu. Beberapa orang terlihat peduli hanya karena mereka ingin tahu masalahmu, bukan untuk membantumu.

Gadis Park itu tersadar dari lamunan kelam yang menyiksanya. Ia mencari obat-obatan yang biasa ia minum di saat seperti ini.

'Apa sebaiknya aku mati saja?'

***

Jajaran pengurus organisasi terpopuler di Yongsan Internation School baru saja menutup rapat panjangnya. Seluruh penghuni ruangan terdengar menghela napas berat; merasakan sekujur tubuhnya nyeri akibat terlalu banting tulang dalam mempersiapkan misi terbarunya.

"Jihoon, Gwaenchana?" Tanya seorang gadis bersurai hitam. Ia merasa sedikit aneh. Pria yang biasanya bersemangat dalam menjalankan program kerja baru, sekarang terlihat tidak berminat mengikutinya. Bisa ditebak dari posisinya sekarang; menenggelamkan wajahnya dibalik lipatan tangan di atas meja.

Yang ditanyai mendongakkan kepala. Jantungnya mulai berpacu lebih cepat saat melihat gadis itu tersenyum padanya.

Ia membalas senyuman itu.

"Nan gwaenchana, Tzu."

Lain dengan Jihoon yang terlihat stay cool, gadis bernama Tzuyu itu malah terlihat gelagapan saat mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Bukan, bukan kata-katanya yang membuat Tzuyu diam seribu bahasa, tapi tatapan serta senyuman yang laki-laki itu berikan. Sungguh, jika degup jantung Tzuyu bisa terdengar, pasti suara degupannya akan sangat berantakan.

"K-kau tt-tidak pulang?" Sial, jantung Tzuyu mulai berefek pada mulutnya.

Jihoon mengangguk samar. "Eoh. Aku akan pulang"

"Mau pulang bersama?"

'Eh?'

"... E-ehh maksudku sampai gerbang sekolah." Imbuh Tzuyu cepat. Takut terjadi kesalahpahaman.

"Hm. Kajja"

Mereka berjalan dengan suasana yang canggung. Hanya derapan langkah kaki yang terdengar di sepanjang koridor sekolah.

'Aku gugup sekali. Sepertinya aku sudah jatuh, Park Jihoon. Sekarang bagaimana?'

.
.

Sampai di gerbang, Tzuyu melambaikan tangannya pada Jihoon. Gadis itu pulang mengendarai mobil bersama supirnya yang sudah menunggu. Jihoon membalas lambaian tangan Tzuyu. Sekali lagi, ia memberikan senyum hangatnya untuk Tzuyu. Entahlah, setidaknya sedikit bebannya teralihkan, sebelum akhirnya ia mengingat kembali masalah yang harus ia hadapi sekarang. Ya, biaya persiapan perkemahan besok.

Sebenarnya Jihoon bisa saja meminjam sedikit uang pada Jimin, Jaehyun, ataupun Tzuyu yang selalu siap membantunya. Bahkan Jungkook juga sudah menawarkan diri dengan senang hati. Namun bagaimana pun, Jihoon bukan tipe orang yang mudah menerima bantuan. Gengsi? bukan. Ia hanya pantang meminta empati dari orang lain.

Laki-laki bermarga Park itu mulai menyalakan mesin motornya; hendak pulang sebelum hari semakin larut. Ia berniat membeli ramyeon dengan sisa uang yang ia miliki.

"Tabunganku untuk masuk Universitas sepertinya cukup. Kupikir Yoora tidak akan— astaga Yoora!"

-------------------------------------------------------------
TBC

VOTE 'NYA JAN LUPA😊
GAK SAMPE 3 DETIK KOQ☺

MOHON BANTUANNYA🙏

Let Me Know || (Kim Taehyung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang