Menggapai Langit di Kaki Langit

21 2 2
                                    

#Tugas kopling April week1
#sinau nulis tentang diri sendiri

Menggapai Langit di Kaki Langit

Eny namaku. Aku lahir di Pati,  sebuah kota kecil yang terletak di pesisir pantai utara Laut Jawa. Senja hampir berakhir ketika  aku dilahirkan, lewat tangan Mbah Dukun Bayi.
Kata Ibu, Dukun Bayinya sudah tua, jadi aku terlambat dibalik saat posisi lahir tengkurap. Alhasil air ketuban terminum olehku, sehingga hingga beberapa minggu  selalu muntah.
Jadilah aku sang bayi mungil yang sering sakit.  Seiring dengan waktu,  akhirnya aku bisa tumbuh dengan sehat.

Belum genap dua tahun usiaku, ketika kami harus pindah ke Magelang mengikuti Bapak yang berpindah tugas. Ya, Bapakku seorang tentara yang bertugas di Magelang.
***

"Pulangkan saja aku,  Mas. Aku tidak bisa menerima ini," teriak Ibu pada suatu malam sambil menangis.
"Baik, kalau itu maumu," kata Bapak dengan marah. Aku dan kakakku hanya bisa terdiam tak mengerti.

Seminggu kemudian aku, kakakku, dan Ibu diantar bapak ke Salatiga, ke rumah nenek dari Ibu. Setelah itu aku tak melihat bapak lagi.

Belum genap sembilan bulan di rumah nenek, aku punya adek bayi, laki-laki. Lengkaplah penderitaan Ibu. Ibu harus menghadapi cibiran tetangga yang meragukan kesetian Ibu, mengasuh bayi dan membiayai kami yang sekolah, tanpa nafkah dari Bapak.

Ibuku memang malaikat tak bersayap. Diantara kemiskinan yang membelenggu, tanpa nafkah dari bapak, beliau selalu bercerita bahwa bapak  pasti akan kembali, menjemput kami.

"Bu, bagaimana sih paras Bapak?" tanyaku suatu hari. Kala itu aku benar-benar sudah tidak ingat lagi seperti apa wajah bapak.
"Bapakmu adalah laki-laki yang gagah, Nduk. Ia tentara, dan sekarang mungkin masih bertugas di Magelang," ujar Ibu dengan mata yang menerawang sedih.
"Kalau Bapak tentara, pasti punya pistol, Bu," tanyaku lagi.
"Pasti, Nduk. Dulu Bapakmu sering berburu kijang saat masih bertugas di Magelang."
Aku berteriak senang.
Jika teman-teman meledekku," Eny gak due bapak, Eny ga due bapaaakk," aku sambil menangis akan menjawab," Awas ya, kalau Bapakku datang, kutembak kalian dor dor dor!"
Mereka berlari sambil menertawakanku.
***

Siang itu saat aku pulang sekolah, kulihat ada sesosok laki-laki gagah di rumah nenek.
"Nduk, salim dulu sama Bapak gih," kata Ibu lembut. Kulihat ada sinar kebahagiaan di mata ibu. Kusambut uluran tangan Bapak, kucium dengan takzim.
"Sini, duduk dekat Bapak," kata laki-laki itu.
Aku menggeleng, bersembunyi di punggung Ibu sambil terus mencuri pandang kepadanya. Entahlah, aku merasa asing dengan laki-laki yang menyebut dirinya Bapakku.
Tapi Bapak tidak lama, saat adik laki-lakiku pulang dari bermain, kudengar bapak berteriak pada ibu," Anake sopo kui!"
"Anakmu, Mas. Aku sudah hamil sebulan saat kau antar aku ke rumah ini, " kata Ibu dengan tenang.
"Aku ra percoyo,"kata Bapak.
"Demi Allah, Mas."
"Brakk!"
Bapak pun pergi tanpa pamit.
Ibu menangis terisak.
***
Tiga hari kemudian, adik ayah menjemput kami. Pagi itu, kami bersama paklik  naik bis ke Pati. Kepalaku rasanya berputar-putar melihat pohon yang berlarian di sekitar bis. Aku memang tak pernah diajak ibu naik bis, semenjak kami di Salatiga. Ibu tidak punya uang untuk sekedar naik bis saja.

Ashar sudah menjelang, saat kami tiba di Pati, di rumah nenek dari bapak.
Malam itu, bapak, ibu, kakek,nenek, dan bulik paklik serta bude pakde berkumpul di ruang tamu.

"Mun, opo koe gelem nompo Sarodjo maneh, sakwise koe ditatuni atimu," kata kakek dengan berwibawa.

Kulihat ibu menarik napas panjang, air matanya  terlihat menggenang di sudut matanya. Ingin aku berlari memeluk malaikat tak bersayapku, tapi aku takut dengan orang-orang yang asing bagiku. Hening sekali ruangan itu. Bapak hanya menunduk dan diam. Semua menunggu jawaban ibu.

"Piye Mun?" tanya kakek.
Setelah mengusap air matanya, ibu berkata," Inggih, Pak. Kulo tampi malih Mas Jo."
Bapak mengangkat kepalanya, lalu menatap ibu dengan senang.
"Opo koe yakin, Mun? Tatumu kui cukup jero, angel yen langsung mari. Siji maneh, Mun, Sarodjo iki wes pensiun dini soko militer, amargo soko polahe dewe. Gajine tentara sing pensiun dini kui mung cukup kanggo sadermo mangan," kata Kakek.
"Inggih, Pak. Kuo sampun kulinten urip prasojo."
"Koe pancen mantuku sing ayu, Mun. Ayu lahir lan batinmu."
Bapak berdiri lalu memeluk Ibu erat, kemudian bergantian kami dipeluknya.
Lalu malam itu suasana berubah gembira, penuh tawa.

Hari-hari selanjutnya aku masih belum bisa dekat dengan Bapak. Adik laki-lakiku justru yang dekat dengan Bapak.
Pernah aku dicium Bapak, dan responku luar biasa marah. Pipiku kucuci dengan sabun berkali-kali seraya marah-marah.
Entah seperti apa perasaan Bapak, aku tak mau tahu.

Suatu hari, ada perempuan datang mencari Bapak. Ia mengaku sebagai istri sah, dan ingin membawa pulang Bapak.  Kulihat Bapak kebingungan.
"Jo, ning mburi wae koe. Ojo cedhak-cedhak karo wong wedok kui. Mantrane ijik kuat," bisik Kakek.
Bapak pun menyingkir ke belakang
Pada perempuan itu, Kakek berkata," Aku mung ngakoni yen mantuku kui Mun. Yen koe ngaku mantuku, ndi surat nikahmu?"
Perempuan itu pun pergi tanpa Bapak. Kata Ibu, perempuan itulah yang merebut Bapak saat di Magelang dulu memakai jampi-jampi.
Agar bisa lepas dari mantranya, maka Bapak pun pensiun dini, dan melarikan diri dari perempuan itu. Setelah bertahun-tahun lepaslah jampi-jampi itu, dan membuat Bapak kembali ingat Ibu.

Aku pindah sekolah dari Salatiga ke Pati, di kelas dua SD. Anak baru, pindahan sekolah, udik lagi. So pasti dibully.
Sebelum ada guru masuk kelas, aku selalu jadi bulan-bulanan teman laki-laki. Kadang aku dijepret pakai karet gelang, tidak boleh duduk di bangku, dan kadang dipukul pakai penggaris kayu. Tapi aku tidak pernah menangis, dan tidak pernah mengadu pada ibu atau bapak.
Bullyan itu berhenti sendiri, saat aku bisa bersaing dengan mereka. Ya, aku termasuk anak yang pintar  saat itu.
***
Kelas dua SMP aku punya adik perempuan.
Aku senang sekali. Sore ini ibu tergesa mau pergi arisan.
"En, bisa mandiin adik?"
"Bisa, Bu."
Kuambil alih adik dari pegangan Ibu. Kubuka bajunya, diberi sabun hingga rata, kumasukkan ke dalam ember yang sudah kuisi penuh dengan air hangat, sesuai pesan ibu.
Tapi ahh...
Adik merosot nyemplung ke ember yang penuh air, karena tanganku licin kena sabun.
Aku ternganga...
Kucoba meraihnya, tapi selalu lepas tubuh adik. Aku makin panik saat adik meminum air, sambil menangis. Tubuh kecilnya bergerak-gerak tapi justru semakin banyak air yang masuk ke mulutnya.
Aku kebingungan, tidak ada siapapun di rumah.

Bersambung ke week 2

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menggapai Langit di Kaki LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang