SENIN (SATU)

5.3K 599 44
                                    

Namanya Ami, kependekan dari Amigdala. Ayahnya yang memberi nama. Bukan tanpa alasan tentunya. Dan tentu bukan karena ayahnya, yang hanyalah seorang pemilik rumah makan seafood, tahu bahwa itu nama bagian dari otak yang berfungsi untuk memproses memori dan reaksi-reaksi emosional. Ayahnya hanya kebetulan mendengar kata itu dari percakapan pelanggannya. Entah percakapan seperti apa, hanya saja di telinga lelaki separoh baya itu, Amigdala terdengar indah untuk nama perempuan yang sedang dikandung istrinya.

Jadilah dia bernama Amigdala Putri Suherman.

Semua orang memanggilnya Ami, sebagaimana dia ingin dipanggil. Semua orang, kecuali satu. Manusia paling norak sejagad raya bernama Januar Pamungkas. Lelaki itu, hanya lelaki itu satu-satunya, yang memanggil dia dengan sebutan...

"Otak! Tunggu! Kamu mau ke bawah? Boleh nitip makan siang sekalian ga? Aku masih banyak laporan yang musti ditulis. Tolong, please?"

Ami memejamkan mata, berusaha menahan emosi, sebelum berbalik, menghadapi satu-satunya manusia yang memanggilnya dengan nama organ tubuh.

"Nggak mau!" jawabnya ketus.

"Halah, sekalian Otak. Apa aja gapapa. Eh tapi kalau pas lewat nasi padang, aku mau nasi padang aja, lauknya otak. Makasih, Otak."

"Nggak mau!" sahut Ami lebih ketus seraya berbalik dan berderap menjauh.

"Nasi padang lauk otak, satu, ya Otak!"

Ami terus berjalan menuju lift, pura-pura tidak mendengar teriakan si manusia dungu satu itu yang didengar oleh semua penghuni lantai 3, di mana divisi terjemahan bekerja.

"Beliin aja udah. Nanti, kamu tetesin sianida dikit, beres."

Ami, yang masih bersungut-sungut, menoleh dan tersenyum ketika menemukan Tarra, gadis manis yang mulutnya tidak manis, sudah berada di sampingnya, menunggu lift. Dia dan Tarra cukup dekat secara hanya mereka berdua, wanita yang masih berstatus belum pernah menikah di divisi terjemahan.

"Terlalu enak kalau matinya karena keracunan. Aku maunya menjejalkan granat ke mulut lelaki itu."

"Iiih, berantakan banget nanti mayatnya, darah di mana-mana. Bagusan juga sianida, bersih."

"Heh,kalian berdua, bisa ganti topik ga? Ini kita mau makan siang kalian malah bahas begituan!" Tania, rekan senior di divisi terjemahan yang juga menunggu lift, protes ketika tampaknya pembicaraan Ami dan Tarra tentang sianida dan granat akan terus berlanjut.

"Januar itu naksir sama kamu, Ami, sesederhana itu masak kamu ga ngeh sih?" Ajeng, rekan senior yang lainnya ikutan nimbrung.

Spontan Ami membuat gerakan muntah.

"Lho, jangan gitu. Ojo sengit-sengit, mengko ndulit," lanjut Ajeng.

"Mbak Ajeng tolong ya, jangan pakai Bahasa daerah, roaming akunya," Tarra protes.

Lift datang dan begitu pintunya terbuka, para wanita itu langsung masuk.

"Kamu ini gimana sih, Tar, 5 tahun tunangan sama priyayi Jawa kok masih roaming aja tiap ada yang ngomong pakai Bahasa Jawa," sahut Ajeng.

"Lha, kayak situ nggak aja, mbak, nikah 10 tahun sama lelaki Manado, tidur seranjang sampai punya anak 2, tetep aja cuma ngerti kata ngana dan babungkus," tukas Tarra yang disambut tawa oleh Ami, Tania, bahkan Ajeng juga.

"Tapi aku setuju lho sama Ajeng. Januar itu jadi tengilnya cuma pas sama kamu, Mi. Itu bentuk perhatian sih kalau menurutku," Tania mengembalikan topik pembicaraan mereka.

Ami kembali memasang wajah mual.

"Perhatian dari Tartarus. Dia itu merisak, Mbak, bukan perhatian."

Days of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang