Ami menghindar.
Tentu saja.
Apalagi yang bisa dia lakukan selain menghindar.
Insiden di pantry pagi itu sungguh-sungguh memalukan. Ingin dia bertanya, apakah Januar mendengar semua percakapan antara dirinya dengan Tania. Tetapi, tentu saja dia tidak bertanya. Dia belum gila.
"Makan siang ga? Atau mau nitip?"
Tarra muncul di kubikel Ami, dan tidak heran ketika melihat kawannya itu sedang menelungkupkan wajah di meja. Dia mendengar tentang insiden di pantry tiga hari yang lalu. Tentu dari cerita Ami sendiri.
"Aku ga minat makan," jawab Ami tanpa mengubah posisi.
"Mi, merasa ga sih kalau kamu itu uring-uringan sendiri ga jelas?"
Akhirnya, dengan gerakan lamban, Ami mengangkat mukanya dari meja, lalu mengangguk.
"Iya, aku memang payah."
"Januar lho, santai kek di pantai."
Ami mengangguk lagi, kali ini dengan muka memelas.
Kenapa jadinya kayak gini sih? Kenapa dia jadi ga karu-karuan kayak gini sih?
"Bangun! Ayo cari makan enak. Aku yang traktir!" ucap Tarra seraya menarik paksa badan Ami.
"Mau kemana kalian?" Tania muncul tepat ketika Tarra berhasil menarik Ami bangun.
"Makan siang," jawab Tarra.
"Jangan," jawab Tania.
"Mbaaak, jangan becanda deh! Stress karena masalah asmara juga butuh asupan tenaga kaliii."
"Bos besar datang, kita semua diundang makan siang bersama di Shaburi. Januar tadi udah booking tempatnya. Jangan keluar dulu."
Kening Tarra berkerut.
"Ngapain lagi sih si Bos besar? Akhir-akhir ini sering banget muncul yak?" tanyanya.
"Kabarnya sih calon istrinya kerja di sekitaran sini. Makanya dia demen mampir. Begitu gosipnya."
"Calon istri?" Ami, yang sudah kembali duduk, akhirnya ikut nimbrung menanggapi, "emang bos besar belum menikah?"
"Yeee, kemana saja Mbak, udah tahunan kerja di sini masak ga tahu juga kalau bos besar kita belum menikah," jawab Tania, "penasaran ga sih kalian sama calon istrinya si bos besar itu?"
"Bukan si artis dengan dada montok itu ya, Mbak?" tanya Tarra sambil lalu.
"Hush, artis dada montok siapa, ngawur. Jangan-jangan anak kantor kita ya?"
"Jangan-jangan malah kamu, Mbak Tania? Hayoooo..." cetus Ami seraya meraih kaleng biskuit coklat kesukaannya.
"Hush, makin ngawur. Mana mau Bos besar sama janda kayak aku."
"Lhaa mbak, situ mah janda rasa perawan, kali. Katanya nih ya, Mbak, kalau udah lama ga berhubungan suami istri, itu rapet lagi, kayak perawan gitu,"celoteh Tarra seraya ikut mengambil biskuit coklat dari kaleng di tangan Ami.
"Hush, kalian ini ya makin ngawur aja. Kalian berdua tuh malah yang mungkin. Jangan-jangan kamu Tar?"
"Iiih, kok aku? Ami noh, yang galau mulu."
"Lha Ami mah galau karena Januar, bukan karena Bos besar. Iya kan, Mi?"
Ami mendengkus, mulutnya mengerucut, mendadak sebal mendengar nama si biang kerok kegundahan hatinya disebut.
"Ah dia mah galau juga dibikin sendiri."
Ami melotot tidak terima mendengar ucapan Tarra.
"Tarr, aku tanya deh sama kamu. Seandainya nih, ada lelaki yang ngajak kamu nikah tapi ya gitu, ngajak kayak ga niat, gimana perasaanmu? Bohong kalau ga galau!"