Semua ini hanya untuk balas budi.
Itu saja.
Berkali Ami mengucapkan kalimat itu dalam hati, seumpama mantra.
Hanya untuk balas budi, dia akhirnya mengiyakan ajakan Januar untuk makan malam. Restoran makanan Thai langganan Ami pun jadi pilihan.
"Kalau tahu kayak gini, dari dulu-dulu aku rajin bantuin kamu," ujar Januar seraya menikmati Tom Yam.
"Pengingat aja, kalau-kalau kamu lupa, kamu yang mengajak, jadi kamu yang bayar."
"Iya, Otak. Jangankan cuma makan Tom Yam, kamu mau minta bulan madu ke Italia sekalian nonton Juventus kesukaanmu itu juga aku kasih."
Ucapan Januar membuat Ami tersedak kuah Tom Yam dan langsung terbatuk-batuk.
"Yaelah Otak, ini aku baru ngomongin bulan madu kamu udah batuk-batuk parah, gimana kalau ngomongin malam pertama yak?"
Sambil melotot kesal, Ami mengambil serbet putih di sampingnya dan melemparkan ke muka Januar.
"Ngomong yang aneh-aneh lagi, aku pergi," ancam perempuan itu.
Alih-alih peduli dengan ancaman itu, Januar mengambil serbet dari mukanya, lalu menatap Ami dengan serius.
"Kasih tahu aku musti gimana, Otak. Dulu aku dekatin kamu dengan serius, kamu menjauh. Aku dekatin kamu dengan becanda, kamu marah-marah. Apa aku langsung ke rumah mu saja, ngelamar?"
Ami ternganga mendengar ucapan Januar. Ingin rasanya dia menghardik lelaki itu lagi karena bercandanya keterlaluan, tetapi keseriusan di mata Januar terlihat jelas, membuat Ami kehilangan kata-kata.
"Ami, nikah yuk?"
~*~
Untuk kesekian kalinya Ami berguling di atas kasur, berpindah posisi tidur, berharap dengan begitu paling tidak dia bisa memejamkan mata. Nyatanya, nihil. Sampai jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari, dia belum juga bisa memejamkan mata. Wajah serius Januar ketika mengajaknya menikah tadi, terus muncul di benak. Biasanya dia akan berteriak "Januar sialan!". Tapi kali ini, entah mengapa, alih-alih kesal, Ami malah terus memikirkan lelaki itu. Hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan. Selama hampir lima tahun mereka menjadi rekan kerja, tidak sekalipun Ami pernah memikirkan Januar lebih daripada kapasitasnya, rekan kerja. Seingatnya, dulu lelaki itu tidak suka mengganggunya seperti akhir-akhir ini. Dan apa yang Januar bilang tadi? Mendekati dengan serius? Entah apa yang dimaksud lelaki itu dengan mendekati dengan serius, karena nyatanya, Ami tidak pernah merasa didekati dengan serius.
Atau memang kamu yang tidak peka, Ami.
Bisa jadi. Sejak hubungannya dengan Theo kandas, Ami memang belum pernah memiliki hubungan yang baru. Kalau ditanya mengapa mungkin jawabanya tidaklah rumit. Awalnya, karena dia tidak siap membuka hati. Lama-lama, entah mengapa dia nyaman sendiri. Memiliki kekasih tidak lagi menjadi sesuatu yang dia prioritaskan. Toh dia baik-baik saja melakukan semua sendiri. Kalau dia merasa terlalu lelah dan butuh orang lain untuk berbagi, dia hanya perlu memesan tiket kereta dan pulang ke Cirebon, ke rumah orang tuanya. Bukan berarti dia tidak mau, hanya saja belum terpikirkan dan belum ada sosok yang cukup membuatnya menyadari bahwa dia tidak lagi ingin hidup sendiri.
Hingga Januar mengajakmu menikah, tadi.
Kesal karena tidak juga bisa tidur, akhirnya Ami menyerah. Dia bangun dan beranjak menuju dapur, membuat coklat panas. Membawa coklat panasnya ke kamar, Ami menyalakan laptop, sambal tangannya meraih ponsel. Ada beberapa pesan. Dan salah satunya dari...Januar.
Singkat, padat, jelas, dan membuat perasaan Ami semakin ga karu-karuan.
"Aku tidak bercanda, karena tahu bercanda tidak sebrengsek itu. Aku serius dengan ucapanku tadi."