"Bajingan! Apa-apaan ini?" lelaki yang sudah tidak muda lagi itu menatap tak percaya kepada segerombol orang yang entah datang darimana, tengah berlari kearahnya,"darimana datangnya para cecurut itu?"
Ucapan yang memang hanya ditunjukkan kepada dirinya sendiri itu, tidak mendapat tanggapan.
"Bos? Bagaimana?" suara teriakan lelaki lain yang adalah tangan kanannya, mengelegar di antara pertarungan yang sedang terjadi.
"Kemana Panjul sialan? Kenapa tidak juga datang?"
Panjul adalah salah satu anak buahnya yang bertugas membawa bala bantuan.
"Tidak tahu. Bagaimana, Bos?"
Lelaki yang dipanggil Bos itu melayangkan pandangan ke jalanan yang sudah menjadi medan peperangan. Anak buahnya yang semula di atas angin, mendadak banyak yang terkapar. Bala bantuan musuh yang baru saja tiba terlalu perkasa untuk dilawan.
Ada bangsat pengkhianat!
Dia tidak pernah mundur.
Tidak pernah sekalipun.
Tetapi... tatapannya bersirobok dengan salah satu anak buah yang dia tahu baru saja menjadi ayah beberapa jam yang lalu. Pemuda yang masih separuh umurnya itu sudah terluka di bahu, pun begitu, tidak ada tanda ketakutan di matanya.
Lelaki itu memejamkan mata.
Dia tidak pernah mundur...
Tidak pernah!
~*~
Sekali lagi, Tania melihat jam di ponselnya sambil menguap. Sudah hampir hampir tengah malam. Diedarkan pandangan ke sekelilung stasiun Kalibata yang lengang. Hanya ada segelintir orang yang masih menunggu kereta terakhir seperti dirinya.
Tania menguap sekali lagi.
Dia benar-benar kelelahan. Sepulang kerja tadi, dia memenuhi undangan bridal shower Rheana, sahabatnya yang akan menikah dua hari lagi. Tawaran untuk menginap yang tadi dia tolak, sekarang terasa menggiurkan.
"Harusnya aku menginap saja tadi di apartemen Rheana,"gumamnya.
Harusnya aku tahu diri, usia sudah tidak muda lagi gaya-gayaan pesta sampai tengah malam.
Kembali Tania mengedarkan pandangan ke sekeliling stasiun. Dan matanya menangkap sosok seorang lelaki berjaket hitam panjang, berjalan mendekat. Perlahan, entah mengapa, kantuknya menguap. Aura lelaki berjaket hitam itu tanpa sadar membuat Tania begidik.
Mengambil duduk di ujung bangku yang sama dengannya, lelaki itu sama sekali tidak memandang Tania. Bahkan terkesan lelaki itu berusaha menyembunyikan wajahnya dengan membungkuk. Berusaha untuk tidak terang-terangan menatap, Tania mengalihkan pandangan.
Gagal.
Entah mengapa, seperti ada magnet yang menarik matanya untuk kembali menatap sosok yang terus duduk membungkuk itu.
Lalu dia melihatnya.
Mulanya hanya setetes. Lalu setetes lagi. Dan setetes lagi. Tania mengerjap.
Darah?
Cairan berwarna merah gelap yang menetes dari ujung lengan jaket hitam si lelaki itu tidak salah lagi adalah darah. Tania panik. Segera dia celingak-celinguk, mencoba mencari petugas stasiun. Dia baru akan melambaikan tangan kepada salah satu petugas yang berdiri cukup jauh di ujung, ketika suara maskulin yang dalam terdengar.
"Jangan panggil."
Spontan Tania menoleh dan mendapati teman sebangkunya yang sedari tadi duduk dengan setengah membungkuk, sedang menatapnya.