"Wuidih, mau kemana, Neng? Udah lenongan cantik gini?" Tania yang baru masuk ke toilet langsung berkomentar seraya bersiul ketika melihat Ami sibuk berdandan di kaca.
"Kencan, Mbak. Sama bapaknya bayiku," jawab Ami asal, seraya tetap fokus memberi maskara ke bulu matanya.
Tania yang masuk golongan teman kerja yang cukup dekat dengan Ami tertawa. Dia sendiri dari awal tidak langsung percaya tentang kabar Ami hamil. Selain sedikit tahu sifat juniornya itu, Tania memang bukan tipe orang yang gampang percaya dengan gossip.
"Bukannya bapaknya bayi kamu si Januar? Mau kencan sama Januar nih?"
Tidak menjawab, Ami hanya begidik lalu kembali fokus berdandan. Kali ini dia sibuk memakai eyeliner. Tania tertawa.
"Feeling-ku kayaknya beneran nih, kamu bakalan jadi sama si Januar," kata si senior seraya memasuki salah satu bilik toilet.
Ami mencibir tanpa menghentikan aktivitasnya. Dia masih kesal dengan lelaki itu perihal popmie tadi siang. Jelas dia tahu lelaki itu tahu bahwa dia tidak hamil. Januar terlalu pintar untuk percaya kabar kabur tidak jelas macam itu. Walau tidak akur, tetapi Ami tidak akan menutup mata pada kenyataan bahwa Januar itu pintar. Dan fakta bahwa lelaki itu sengaja menganggunya walau jelas tahu dia tidak hamil, sungguh mengesalkan.
"Dia membuatmu kesal karena kamu duluan yang membuatnya kesal," Tania masih lanjut memberi komentar dari balik bilik.
"Aku membuat dia kesal? Kapan gitu, Mbak? Yang ada dia noh yang tiap hari selalu memancing emosi dengan manggil aku otak terus."
"Tipe lelaki itu ada macam-macam, Mi. Ada yang iseng gangguin sebagai bentuk perhatian. Eeeh ga percaya..." Tania, yang sudah keluar dari bilik, tersenyum menatap Ami yang lagi-lagi memutar bola matanya. Sambil mencuci tangan, dia melanjutkan, "almarhum suamiku dulu ya seperti itu, Mi. Caranya ngasih perhatian yang usil gitu."
"Beda itu mah. Januar itu bukannya ngasih perhatian ke aku, dia itu cuma kurang kerjaan aja. Eh, Mbak mau lenongan juga? Eciee, mau kencan juga nih yeee."
Tania, yang mengeluarkan tas kecil berisi peralatan dandan dari totebag-nya, tertawa.
"Kondangan, Mi. Aku ini udah ketuaan kali buat kencan."
"Nonsense. Mbak baru juga 38, Madonna aja yang udah usia nenek-nenek masih kencan juga."
"Hahahahha, ya Madonna usia udah nenek, body masih sekenceng 30-an. Lha aku?"
Keduanya tertawa lalu kembali sibuk berdandan.
"Hastagaaa, jadi ini kenapa sebelum jam 5 kalian udah cap cuss ke toilet, pada lenongan ternyata," Tarra masuk ke toilet dan langsung geleng-geleng kepala melihat Tania dan Ami.
"Aku mau kondangan, kalau Ami mau kencan."
"Sama Januar? Pantes ditungguin tuh," cetus Tarra seraya masuk ke bilik toilet.
"Ngaco. Siapa juga yang mau pergi ma Januar," jawab Ami.
"Lha terus itu Januar nungguin siapa?" tanya Tarra dari balik bilik.
"Entah. Kamu tanya aja sama dia, nungguin siapa."
"Kalau bener dia nungguin kamu, gimana Mi?"tanya Tania.
"Yaitu urusan dia. Aku sih ada yang jemput bentar lagi."
~*~
Ternyata "yang jemput bentar lagi" tidak kunjung datang juga. Ami sudah gelisah, berkali-kali melihat jam di layar ponselnya. Berkali-kali pula dia berusaha menelepon lelaki yang berjanji akan menjemput. Nihil, tidak ada satupun panggilannya yang diangkat. Tiga puluh menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda si penjemput bisa dihubungi, Ami sudah sangat kesal. Dia bahkan terlalu kesal untuk duduk di salah satu dari bangku-bangku beton yang tersebar di lobby gedung perkantoran ini. Wanita itu hanya mondar-mandir gelisah.