"Jan, jujur deh, kamu naksir Ami, kan?" tanya Tarra, tepat ketika Ami sampai di kubikel Januar.
Januar yang sedang menyuap nasi padangnya menoleh namun tidak langsung menjawab. Sejurus kemudian, lelaki itu tertawa ngakak, tetap tidak mengatakan apapun, hanya tertawa ngakak.
Tawanya itu...
Ami terbangun dari tidurnya dan langsung merasakan kepalanya nyut-nyutan.
Sial! Kenapa juga kejadian siang tadi harus terbawa dalam tidur?!
Dengan kesal, wanita itu memukuli bantal.
Januar sialan!
~*~
Dengan muka kusut karena kurang tidur dan emosi yang ga karu-karuan, Ami datang ke kantor. Moodnya pagi ini benar-benar berada di dasar jurang.
"Pagi, Ami...woo, kenapa kamu? Pagi-pagi sudah kayak Zombi gitu?" Tarra muncul ketika Ami menunggu lift untuk ke lantai 3. Biasanya, ketika hatinya cerah, secerah mentari pagi, Ami akan dengan hati menggunakan tangga untuk menuju ke lantai tiga, hitung-hitung olah raga. Tapi tidak pagi ini.
Menoleh, Ami langsung memberi Tarra tatapan kesal.
"Gara-gara kamu!" ucapnya gusar.
"Aku? Lha aku ngapain yak?"
Baru akan membuka mulut, Ami dengan cepat menutupnya lagi ketika melihat siapa yang berjalan mendekat.
Januar, tentu saja.
Dengan kekesalan yang semakin memuncak, wanita itu berbalik dan melangkah pergi.
"Lho, Mi? mau kemana?" tanya Tarra keheranan.
"Pakai tangga, butuh olah raga," jawab Ami dengan nada gusar yang tidak berusaha dia tutupi.
Benar-benar pagi yang menyebalkan.
~*~
Sedang asyik mengetik, tiba-tiba sosok yang sudah berusaha dia hindari sedari pagi, muncul.
"Otak, kamu ga makan siang?"
Alih-alih menjawab, Ami bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
"Kalau ditanya itu, jawab, Otak!"
Ami memejamkan mata. Dia sangat lelah dan jengkel.
"Otak..."
BRAK!
Januar langsung melompat mundur ketika tiba-tiba Ami menggebrak meja kerjanya. Beberapa kepala langsung bermunculan di balik kubikel mereka, mencari tahu sumber suara yang mengagetkan.
Dan Ami, wanita itu menatap Januar dengan kekesalan di ubun-ubun.
"Namaku Ami, bukan otak..." ujarnya lirih dan disertai air mata yang tanpa dia sadari sudah menetes.
"Kamu...nangis?" Januar bertanya, tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Dengan kasar, Ami menghapus air matanya dengan punggung tangan. Tidak mengatakan apapun lagi, wanita itu berjalan melewati Januar.
"Tunggu," Januar yang seperti tersadar, menarik tangan Ami, "kamu menangis?"
Memejamkan mata, Ami mencoba menahan diri untuk tidak menjambak rambut cepak lelaki di hadapannya. Yang dia lakukan kemudian hanyalah mengibaskan tangannya dengan kasar hingga lepas dari cekalan Januar. Setelahnya, tanpa menoleh lagi, Ami berjalan cepat menuju toilet, meninggalkan Januar yang mematung, menatap kepergiannya.