[05] Hal Kecil

605 120 22
                                    

Mulanya kamu menyoroti pemuda yang tengah sibuk geluti dunia dalam benda portabelnya di pinggiran sofa itu dengan pandangan biasa. Dan lama-kelamaan kamu malah jengkel sendiri lantaran keapatisan kekasihmu, Jung Hoseok itu, kian menjadi-jadi. Padahal kamu berupaya keras ambil topik pembicaraan bahkan perhatian. Tapi hasilnya? Jangankan diladeni, dilirik dari ujung ekor saja tidak.

Dia tetap anteng bersama ponselnya, dan kamu total terabai.

Bukan bermaksud tampilkan diri sebagai perempuan manja atau berlebihan, tapi, hei, astaga, dua pekan lalu dialah yang paling ingat dan antusias. Jika kamu paksa ingat kembali, menjelang hari pada tanggal ini selama tiga tahun silam juga topiknya masih Jung Hoseok yang memulai.

"Hubungan Taehyung dan Jimin bisa langgeng juga ternya-oh, oh, oh! Bukannya kita juga begitu? Malah lebih hebat. Menjelang empat tahun? Wah, kita sudah saling ikati cinta selama itu. Perlukah dirayakan, lebih dari sebelumnya? Bagaimana menurutmu?" Hoseok mengoceh demikian semangat seolah kontras keceriaannya diputar ke tiga tingkatan lebih tinggi. Akan tetapi, apa yang terjadi? Kala mengijak hari, seluruh untaiannya luput bagai tersapu hujan tadi pagi. Tidak bersisa.

Sesuai data yang terselubung dalam ungkapan Hoseok, hubungan kalian telah menapak di tahun keempat persis pada hari ini. Jika ditanya bagaimana skema hubungan kalian berkembang, tentu jawabannya bakal menghabiskan kelewat banyak waktu ketimbang usia hubungan itu sendiri. Ringkasnya, pahit, asam, manis, serta asin sudah terecap. Karena seluruh yang namanya komitmen, baik seumur jagung maupun beringin, mustahil luput disinggahi; risiko.

Namun, terlepas dari kenyataan ini ikatan pertamamu, menjalaninya dengan Jung Hoseok membikin kamu lebih terwarnai, sehingga tendensinya ialah bahagia dan suka cita. Biar kamu tengah jengkel terhadapnya, tetapi kamu tidak akan mengelak kalau dititah supaya meneriakkan betapa bersyukurnya kamu punyai Hoseok di sisi. Juga, dia yang memilih dan masih memilih kamu, jangan lupa.

"Hoseok," panggilmu, coba membuka topik baru. Tidak terakumulasi lagi kerjapanmu saking lamanya tunggui Hoseok beri tanggapan berupa deham, tidak berartikulasi pula. "Aku mendapat tawaran menjadi asisten desainer salah satu perusahaan pakaian di Inggris. Menurutmu bagaimana? Ambil atau tinggalkan?"

"Terserah."

Ekspetasimu bahwa Hoseok akan melotot kemudian serbui kamu bersama bermacam pertanyaan dan permohonan tetap tinggal mengiringi, seketika luruh akibat balasan singkat, dingin sekaligus datar tersebut. Kamu sontak meneleng lesu sambil curahkan pandangan skeptis. Demi umur hubungan kalian, padahal ini termasuk perkara krusial yang perlu dibahas. Jika tidak juga, mana mau kamu repot, sebab kamu bakal terima tanpa ragu dan beritahu Hoseok.

Lantas, kamu selipkan rambut di telinga dengan gerakan kasar. "Kalau sedang marah, setidaknya, ya, bilang!" hardik berkedok seru itu terlontar implusif bersamaan beranjaknya kamu guna menyeret diri menjauh. Hindari gelegak sialan yang manatahu hendak meledak lebih sekadar itu.

Sepanjang hentakan kaki, kamu mencibir habis-habisan gelagat Hoseok yang kamu nobati paling menyebalkan daripada yang menyebalkan. Sekali lagi, di bawah gerutuan, kamu gali ingatan agar jumpai sumbu mula dari perkara sialan ini. Apa karena lupa membalas pesan? Atau karena melewatkan dua panggilan telepon? Atau karena telat bukakan pintu ketika dia sudah mengetuk pintumu berkali-kali? Astaga! Jika memang marah, ya, setidaknya ungkapkan. Bukan dengan bersikap acuh tak acuh seperti anak gadis sedang merajuk. Kamu yang demikian pun, kiranya tidak sebegitunya.

Dengusan kasar berulang terlepas, bahkan kamu berani taruhan kalau mukamu turut sumbangkan emosi melalui gurat-gurat kemerahan. Kamu yang sudah menyinggahi satu kursi makan memicing ke arah di mana kamu datang. Nihil, tidak ada siapa pun di sana.

"Hoseok bodoh!"

Umpatan terakhir sebelum kamu peka, jika di dalam lambungmu sedang mengadakan unjuk rasa, menuntut agar lekas didatangkan nutrisi cukup. Benar kata orang di berbagai belahan bumi, sebagian besar marah dan kesal hanya berujung kelaparan, atau sebaliknya. Dengan kadar sentimen yang nampaknya tundukan kepongahan, kamu beringsut menuju pantri. Sebab topik hari-harimu ialah Hoseok, maka ingatanmu akan senantiasa dicokoli sepenggal nama buah sebagai simboliknya-pun pengantar kisah kalian.

Pai apel? Boleh juga, pikirmu. Berhubung Hoseok juga mencintai olahan itu, apalagi ditambah fakta, bahwa pasta yang dipakai adalah orisinil buatan ibunya. Kamu yakin, ini senjata terampuhmu buat memberi Hoseok pelajaran secara non-verbal. Bibirmu refleks tertarik.

Tunggu saja.

Tanganmu telah terjulur guna menggapai gagang pintu pantri atas, tetapi yang terjadi selanjutnya sungguh di luar sensorikmu. Ada tangan lain yang menginterupsi, dan di kala bersamaan, kamu pun resapi sentuhan di kulit dahi. Menekanmu mundur dengan lembut untuk mencegah timbulnya kemungkinan interaksi menyakitkan ketika dia membuka pintu tersebut.

Kamu tidak perlu repot-repot memutar leher untuk tahu itu siapa, karena kamu sendiri pun sudah kepalang akrab. Entah aroma yang menguar atau sentuhan yang mengecap, kamu tahu, itu milik Jung Hoseok. Dan perlakuan ini adalah sekian dari hal kecil yang kamu sukai.

Sesaat pantri terbuka, yang kamu temukan bukan sekadar bahan baku pembuat kue dan stoples pasta apel, melainkan ada benda asing turut berjejer di antaranya. Sembari meraih benda tersebut, kamu serta-merta mengernyit. Status benda berkotak biru tua disertai pita merah di atasnya tersebut memanglah asing, tetapi bukan berarti kamu menampik kalau kamu kenal nama dari isinya.

Kecil, melingkar, dan berinti permata. Terlihat sederhana sekaligus elegan di satu waktu, sehingga sanggup membikin kerjapanmu melambat ketimbang beberapa sekon lalu. Kamu tertegun, kagumi pancaran kecantikannya.

"Suka?"

Alunan vokal di tengkuk menyihirmu membalikkan badan. Sebuah profil tersenyum sempurna terpampang satu setengah jengkal dari pandanganmu-tidak sedikitpun dia menjauhkan posisinya darimu, dan tidak tersisa lagi tanda-tanda manusia menyebalkan dalam sosok tersebut.

"Apa maksudnya?" tanyamu seraya pamerkan benda cantik yang kamu temukan.

"Mengklaimmu sebelum didahului orang," pungkas Hoseok dengan santainya. Namun, melihat kamu yang tidak tunjukan tanda-tanda akan bereaksi sesuai ekspetasi, ia pun meletakkan tangan di kedua sisi, merundukkan kepala kemudian memangkas jarak antar wajah kalian. "Kenapa? Tidak tertarik menjadi Nyonya-nya Jung Hoseok?"[]

 "Kenapa? Tidak tertarik menjadi Nyonya-nya Jung Hoseok?"[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jung Hoseok:

Senang sekali, ya, sampai lampu kamarnya masih terang begitu? Haha.

Jangan lupa dipakai, cincinnya.

Oh iya, soal tawaran kerja di Inggris. Kamu ... tidak bohong, 'kan? Jangan tinggalkan~!

ENDING SCENE: Appleseok's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang