[06] Garis Retak

565 110 18
                                    

Senandung lepas dari belah bibirmu dan langkah bebas menunjukkan kamu tengah berada dalam suasana hati yang selaras dengan bentangan langit pada hari ini; cerah dan bagus. Apalagi tatkala kamu telah tiba di depan sebuah pagar hitam, maka gejolak amikal yang sudah tumbuh sejak kamu tinggalkan kantor kian mengembang.

Ini dikarenakan pihak kantor di mana kamu bekerja mendeklarasi seluruh pegawainya bisa pulang lebih awal. Menurut beragam informasi yang beterbangan, alasan internal pemimpinlah latar belakangnya. Kamu pun tak ambil pusing pikirkan kebenaran sesungguhnya dari desas-desus tersebut. Pentingnya, semoga bukan hal buruk.

Lantaran pukul dua masih terbilang siang, ketimbang pulang ke hunianmu sendiri, kamu putuskan untuk singgah di tempat Hoseok lebih cepat. Ah, kalian belum pindah dari flat yang sudah kalian tempati sedari perguruan tinggi. Janji bertemu lalu habiskan waktu bersama memang malam, tetapi dilibatkan dengan situasi mendadak semacam ini, tentu bukan masalah. Biarpun kamu yakin, Hoseok pasti sedang sibuk dengan tetek-bengek di kantornya, kamu dapat manfaatkan waktu menunggu dengan membikin camilan. Kue kenari atau pai apel, misal. Bahkan tadi di perjalanan, kamu luangkan diri ke minimarket guna membeli bahan-bahan yang kini kamu jinjing.

Dengan senandung yang sama, kamu membuka kunci pagar, menutup kembali, melenggang dekati pintu, memasukan kunci pengaman, dan segera masuk setelah terbuka sempurna. Tanpa membuat panggilan seperti lazimnya bertandang, kamu lekas melepas sepatu biru mudamu.

"Eh." Kamu sedikit tersentak akibat disuguhkan suatu pemandangan. Ada sepasang sepatu yang sangat akrab menyapa penglihatanmu. "Dia sudah pulang? Tumben sekali," gumammu.

Mendadak kamu ukir seulas senyum, mengejutkan Hoseok atas presensimu sedini mungkin jadi terdengar menarik.

Kamu hendak menyalin selimut kakimu dengan alas yang sering kamu kenakan. Namun, sandal lembut berwarna cokelat tua itu sudah tidak adalagi di tempat seharusnya, di samping dinding dekat rak. Mungkin Hoseok telah memindahkan posisinya ketika berberes, opsi itu dipertimbangkan oleh pikiranmu. Maka mencari adalah satu-satunya pilihan, dan rak di sebelahmulah tempatnya.

Tanpa tunggu lama, kamu berjongkok lalu membuka pintu rak paling bawah. Sangat gampang menemukan benda semacam itu, karena Hoseok menyortirnya dengan begitu baik. Akan tetapi, yang kamu lihat bukanlah yang kamu cari. Itu alas lain. Di tengah kamu menerka-nerka di mana sandal tersayangmu tersebut tersesat, sebuah pemandangan lagi-lagi membuat kulit di atas alismu mengerut dengan objek yang sama, sepasang sepatu.

"Bibi ke sini, ya?" cetusmu usai memahami pemiliknya. Sama sekali bukan keasingan kamu dapat menebak, karena sepatu itu senantiasa ada di sana di beberapa kesempatan. Milik Nyonya Jung, ibu kekasihmu, Ibu Jung Hoseok. Sekarang, korelasi lenyapnya alasmu jelas. "Kenapa Hoseok tidak memberitahu kunjungan sepenting ini? Sebegitu tidak sempatnya? Aish, dasar Hoseok!" Mungkin, kamu nampak menggerutu, tetapi mimik mukamu kembali ceria seperti semula pampangkan kenyataan lain.

Rencanamu bertambah; memberi salam hormat kepada orang yang telah melahirkan Jung Hoseok sehingga dapat menemani dan menyayangimu selama bertahun-tahun.

Merogoh ponsel di saku kardigan, kamu ketikan pesan bahwa kamu akan bertandang yang kemudian kamu kirim ke kontak Hoseok. Tatkala usai, kamu pasangkan kaki pada alas temuanmu, berjalan menyusuri supaya lokasi dua ibu dan anak tersebut—ruang tengah adalah omong kosong, sebab kamu telah saksikan tak ada satu manusia pun di sana. Nihilnya penelusuranmu mungkin jadi pertanda, sudah saatnya kamu tunjukan tanda-tanda kehadiran melalui seruan.

"Ho—" Kamu memutus panggilanmu sendiri, dan dengung percakapan beda warna di balik pintu beberapa langkah di depanmu indikatornya. Kamu lupa, jika kamar termasuk kandidat kuat kala mendiskusikan suatu, baik topik ringan maupun krusial. Tanpa aba-aba, kamu mengikis jarak antar pintu.

"Hoseok, dengarkan Ibu, nak! Dengarkan Ibu!"

Tanganmu berhenti sebelum menyentuh knop. Dari nada bicara Ibu Hoseok, kamu pahami mereka tengah terlibat pecakapan intens. Jika menginterupsi sekarang, kamu hanya akan menjadi gadis yang sungguh lancang, terlepas statusmu sebagai gadisnya Hoseok. Kamu tarik tanganmu kembali, dan persis kala itu, tanpa sadar, kamu menelan ludah.

"Ibu, ini sangat tidak adil buatku! Tolong, jangan memaksaku, Bu. Aku tidak mau!"

"Kita sudah terlalu banyak menerima kebaikan mereka. Mereka terlalu berjasa untuk keluarga kita. Kita tidak bisa menolak."

"Tapi apa harus itu bayaran atas kebaikan mereka yang telah kita terima? Menikahkanku dengan putri mereka?"

Sedari mendengar balasan Hoseok untuk pertama kali, kamu punya firasat yang tidak mengenakkan. Namun, rupanya lebih dari tidak mengenakkan. Tubuhmu mematung seolah jiwamu baru saja dicabut paksa. Paru-parumu seakan dipelintir kuat sehingga kelewat menyesakkan, karena tidak ada embusan napas yang dapat kamu lepas. Jantungmu, dia mengamuk seolah tidak sudi tinggal di sana berlama-lama. Serangan panas menghantam matamu bertubi-tubi. Pandanganmu total mengabur.

Menikah?

"Tidak ada pilihan lain, nak. Mengertilah."

"Astaga, aku punya kekasih, Bu! Dan Ibu tahu betul, aku sangat mencintainya. Jika aku harus menikah, maka dialah yang mesti jadi mempelaiku. Ibu, aku sudah mengatur rencana masa depanku sedemikian rupa bersamanya. Hanya dia, bukan dengan orang lain." Getaran di nada Hoseok teramat kentara, meski terhalang dinding.

Air mata melintas begitu deras, dan ketercekatan semakin membikinmu meluruh ke lantai. Kamu meremas bahan dasar rokmu kuat-kuat, menekan isakan sekaligus sakitmu ke dasar paling dalam. Tidak pernah terbesit di benak, jika kisah romansamu akan menerima badai semacam ini. Hoseok yang nyaris direbut dan berlagak pindah hati darimu saja sukses membikinmu hancur.

Namun, ini. Ini terlalu kuat, terlalu menyakitkan.

Lantas, seolah tidak cukup menyiksa jiwa dan akal, melalui rangkaian, kamu kembali terhempas;

"Ibu tahu, Hoseok. Ibu sangat tahu. Ibu pun menyayanginya, ingin dia yang selalu membuatmu terlihat lebih bahagia menjadi pendamping hingga akhir hidupmu. Namun, tahukah kamu? Baik kamu, Ibu, bahkan dia. Kita semua ... tidak berdaya."

Dengan segenap tenaga yang tersisa, kamu berusaha bangkit. Menyeret langkah menjauh, kendati kaki enggan leyap getarannya. Kamu menyeka sembarang genangan air mata di wajah, meski kamu yakin itu kesia-siaan.

Apa yang lebih menyakitkan daripada ketidakberdayaan?

Apa yang lebih menyakitkan daripada ketidakberdayaan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jung Hoseok:

Kamu ke flat-ku nanti malam saja, ya, sayang.

Aku mencintaimu, sangat.

ENDING SCENE: Appleseok's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang