[07] Rajutan Cacat

524 115 21
                                    

Kamu tidak ingat atau tepatnya tidak mengakurasikan sudah berapa lama kamu habiskan waktu dengan duduk di bibir pintu. Pandangan lurus dan layu mendeskripsikan isi kepala sedang mengajak jiwamu melayang tanpa peduli keindahan leburan gurat oranye, biru keunguan dan hitam terbentang di angkasa.

Melanglang buana untuk dijatuhkan ke lembah kepahitan lalu merembak ke faset-faset yang selalu saja tidak menyenangkan. Setidaknya, kamu peroleh kesadaran akan hal itu.

Ya, kamu tahu. Kelewat tahu, kamu terlalu naif. Berpikir sanggup melakonkan tiap baris skenario yang tercipta dari keputusanmu setelah mendengar dengan begitu jelas rangkai pembicaraan emosional antar Jung Hoseok dan ibunya. Kamu tetapkan untuk membuatnya nampak baik-baik saja, seakan remuk di hati serta cucuran air mata kepedihanmu kala itu tidak pernah tertulis pada catatan hidupmu.

Kamu tampilkan gerak-gerik hidup seperti biasanya dirimu, kiranya selama Hoseok belum menyinggung dan mengajakmu membahas soal tersebut.

Alih-alih ringankan kinerja pernapasan, setiap jengkal keapatisan palsumu yang kemudian didukung oleh sikap manis selayaknya seorang Jung Hoseok, ternyata membikin beban-beban tersebut justru membatu. Mengepung keseluruhan celah hingga kamu kepayahan di sela tarikan napas. Menyakitkan, sangat. Dan fungsi senyum Hoseok sudah tidak lagi berkonotasi menyembuhkan bagimu.

Sebelah tanganmu terangkat dengan tujuan agar seluruh rongga matamu dipenuhi benda kecil melingkar. Kecantikannya yang sentantiasa memercikkan decak damba serta suka cita, kini hanya akan menandai luka baru di kalbu setelah berulang kali mencelos. Beribu-ribu kenangan manis yang terlahir dari leburanmu dan Hoseok selama kalian mengikat diri dalam sebuah komitmen tidak cukup membantu mengobati, sebab di hitungan kedipan selalu berakhir timpang oleh kenangan yang bahkan hanya tercipta pada beberapa menit dan barisan kalimat.

Mata sendumu melumati kemerlip inti cincin yang pernah membuatmu amat-sangat bahagia dan sempat merasa menjadi perempuan paling beruntung tatkala kali pertama kamu mendapatinya. Demi apa pun, sungguh, kamu ingin menyudahi kepura-puraanmu dalam sekali ledakan. Karena, apa yang kamu dapat dari keapatisan palsu ini selain menyebabkan lukamu kian menganga? Resapan di setiap momen timbal balik Hoseok terhadapmu sudah tidak sama, cenderung ganjil dan itu memuakkan. Jika harus jujur, kamu, betul-betul membencinya.

Tidak, bukan pada Hoseok. Akan tetapi, padamu, dirimu yang jauh di dalam lubuk menyimpan kobaran keyakinan, bahwa kamu masih mau bertahan sedikit lagi kendati dalam keadaan demikian.

Selama Hoseok belum memulai, kamu harus bertahan. Kamu bisa, kamu mampu.

Bagai mantra yang wajib kamu ucapkan berulang ketika hati dan otakmu menunjukkan tanda-tanda ketidaksinkronan. Mereka kerap tidak sepaham, bahkan kalau ditakdirkan memiliki kaki dan tangan selayaknya manusia saja, dapat dipastikan mereka akan baku hantam hingga babak belur dan berakhir saling membunuh. Kamu yakin. Biar kenyataan pergolakan mereka hanya sebatas adu perspektif, efeknya tetap tidak jauh berbeda; membuat yang menjadi wadahnya kepayahan setengah mati.

Selagi kesadaran mendatangi sepenuhnya usai lepaskan helaan berat, kamu mempersilakan cincin pemberian Hoseok kembali melingkar di jari manismu. Kamu bangkit, membebasi tubuh supaya nantinya tidak kepalang kebas. Tatkala mendongak guna memproduksi napas yang lebih sehat dan wajar, bibirmu lantas berkedut, terlalu gatal menahan lengkungan. Ya, kamu berhasil meyakinkan otak dan hatimu untuk berdamai, walau butuh jeda panjang, dan untunglah kamu sempat menyaksikan indahnya corak langit di kala senja seperti sekarang.

Di bawah decakan samar, kamu tersipu karena gelagat hilang arahmu disaksikan lukisan alam yang nyaris kamu lewatkan begitu saja. Lantas kamu sisihkan sedikit waktu, menikmatinya dalam ketenangan—ternyata mengarahkanmu dengan baik soal agenda yang bakal kamu ciptakan bersama Hoseok saat dia pulang.

ENDING SCENE: Appleseok's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang