[08] Seutas Janji

590 122 28
                                    

Kelancaran hubungan kalian menuju seperti semula tidak begitu mulus. Kiranya tertaksir di minggu awal kalian limpahi cinta dengan taburan canda dan tawa. Sisanya? Hanya terisi perdebatan kecil yang lama-kelamaan kian membesar kemuakannya. Walaupun sedemikian rupa memperbaiki keretakan agar tidak menjadi garis-garis besar dan kemudian runtuh, tetap saja, selalu ada sebilah pedang yang tertanam absolut di pertengahan komitmen.

Tidak satu pun dari kalian berinisiatif mencabutnya, karena telah paham dua konklusi yang akan diterima; rusak atau hancur secara permanen. Keduanya sama-sama tidak dikehendaki, dan jadilah kalian berlari. Namun, lari dari tanggungjawab tidak akan pernah berakhir bagus, selalu. Justru semakin menambah pikulan di bahu, terus-menerus. Rasanya batu yang menyengkal hatimu sudah kelewat lancang, kamu tidak diberi celah barang sedikit pun. Alur keluar-masuk pernapasanmu jarang mendekati ideal, nol sekian bersama kabar yang berdatangan hari-harinya.

Menyoal Jung Hoseok, mengapa kamu sebegitu tidak berdaya?

Acapkali dan lagi-lagi, Hoseok menunjukkan hierarki ketidakberdayaan tertinggimu hari ini.

Kamu yang mati-matian mencoba membangun perasaan lebih cerah, sebab ditegur desainer utama berkali-kali itu berarti sudah di taraf keterlaluan, tiba-tiba menerima kamu sebuah berita dari kawan seprofesi. Katanya, dia melihat kekasihmu, Hoseok, ketika sedang bekerja. Melihat saja tidak akan memicu problema, jika temanmu tidak informasikan bahwa Hoseok bersama seorang wanita dan sibuk berkutat dengan busana pernikahan.

Detik itu kamu mengeras. Hoseok pamit seraya bilang, dia keluar kota untuk urusan bisnis. Tetapi tidak bisa ditepis, bisnis dan pernikahan memang tidak jarang berkesinambungan. Kamu mengerti betul konsep itu, karena sekarang pun kamu mengalami. Hanya saja, kamu berada di pihak yang mau tidak mau mesti tersingkirkan.

Jadi, ketika Hoseok pulang, memasuki flat dan berancang-ancang memeluk, kamu segera sela dengan pertanyaan ringan; "Kerjamu bagaimana?"; yang kemudian berakhir menegangkan pembuluh-pembuluh di leher dan lelehan air melintasi mata seperti sekarang.

"Kamu harusnya jujur saja. Tidak perlu berbohong seperti itu, Jung Hoseok," desahmu setengah terisak-yang padahal sudah kamu tahan supaya tidak mendominasi.

"Demi apa pun, aku tidak tahu kalau Ayah ikut mengirimnya ke sana. Aku bahkan terkejut ketika dia tiba-tiba berada di meja yang sama." Deretan kalimat Hoseok benar-benar menggambarkan betapa frustrasinya ia. "Tolong, percayalah padaku."

Wajah lelah, sorot terluka, penampilan kacau, jujur kamu tidak kuasa melimpahkan persoalan pelik ini di satu waktu terlebih di situasi dia baru menginjak tanah kelahiran. Akan tetapi, tatkala sadar kamu pun tidak berbeda, desakan dalam diri terus mendorong menyuarakan ganjalan di sisi-sisi emosimu.

"Aku mau. Aku mau percaya, Hoseok. Tapi tahu tidak, kepercayaanku belakangan ini memusuhiku. Dia tidak berlaku baik semenjak aku mengusik dan menyudutkan supaya menuruti kemauanku. Mereka menyerangku bertubi-tubi sampai aku memohon agar sakit itu kebas saja. Dan tidak, dia malah memberi kontra, tiap detakan hanya mengalun; sakit, sakit, sakit." Kamu menyeka ujung mata, mengirup napas dua kali lalu mengangguk-angguk kecil. "Kamu itu obatku, tetapi entah mengapa khasiatnya sekarang terasa seperti racun."

Jeda panjang terangkai. Mempersilakan kalian melanglang buana di galaksi sediri-berdiskusi, bertengkar sampai baku hantam-tanpa memutus arus pandangan. Telaga kalian saling mengikat, meski di intinya porak-poranda.

"Aku bisa rasakan kesakitan itu dari matamu. Kuat, nyata dan maaf karena akulah penyebabnya," ucap Hoseok akhirnya musnahkan keheningan. Resonasi penyesalan kental terecap di gendang telinga. Sambil mengusap pipi basahmu, dia menambah, "Maaf juga, karena bukannya obat, malah menjadi racunmu. Kamu pasti lelah. Sangat lelah, kurasa." Hoseok terkekeh. Namun, titik fokusmu bukan bagaimana gema adiksi itu teralun, tetapi bagaimana mata tersenyum itu meloloskan aliran kecil sukses mengirim hantaman yang lebih dari sekadar sakit. "Baiklah, kalau begitu. Kamu dan aku, mari beristirahat," finalnya.

Kamu lantas menggigit bibir bawah. Cengkramanmu di pinggiran baju Hoseok menguat seiring kamu mengayunkan kepala, kembali. "Iya," desahmu tertatih. Jengkal-jengkal memorimu dan Hoseok merebak keluar dari rak-rak memoar. Padahal hubungan kalian bermula pada fenomena sepele, memunguti apel, saling bertukar pesan dan perhatian, barulah sepakat mengikat. Tetapi mengapa penutupnya secarut-marut begini? Apa semua komitmen yang diawali kesederhanaan berakhir seironis ini, atau hanya keberuntungan kalian saja? Lucu sekali, bukan?

"A-aku enggan melepasmu, Hoseok. Aku tidak mau. Aku ingin menyimpan kamu buat diriku sendiri. Aku mau terus bersamamu sampai kapan pun itu. Tapi aku juga tidak bisa menahanmu, tidak ingin kamu menjadi anak pemberontak. Kamu anak kebanggaan, identitas, dan permata mereka. Congkaknya aku bila nekat mengacau garis anaknya yang sudah susah payah mereka ukir." Kamu menyeka bukti tangismu menggunakan punggung tangan. Tidak efesien lantaran kamu justru bertambah terisak. "Biarkan aku berterima kasih sebelum pasokan kata di otakku menghilang. Terima kasih atas pengajaran tentang apa itu cinta, bagaimana yang namanya kasih sayang, seperti apa rasanya perhatian. Terima kasih untuk banyak hal." Kamu berhenti guna mengirup napas. "Terima kasih untuk segalanya, Jung Hoseok."

Hoseok menarikmu jatuh ke dadanya. Mendekapmu begitu erat sehingga dengung organ kehidupannya seolah hidup di dalam dirimu, bersaing sekaligus saling menutupi ketimpangan detakan antara milikmu dan Hoseok. "Mulai sekarang kamu bebas terbang ke mana pun. Jadi, kibarkanlah sayapmu, dan isilah jeda kita dengan kebahagiaan." Hoseok merendahkan resonasi suaranya saat melanjut, "Kemudian, ketika semua menjadi lebih baik, maka maukah kamu rajut kembali kecacatan itu hingga menjadi indah bersamaku?"[]

" Hoseok merendahkan resonasi suaranya saat melanjut, "Kemudian, ketika semua menjadi lebih baik, maka maukah kamu rajut kembali kecacatan itu hingga menjadi indah bersamaku?"[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jung Hoseok:

Maaf, terima kasih, dan jaga dirimu baik-baik.

ENDING SCENE: Appleseok's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang