[02] Seperti Biasa

1.3K 162 42
                                    

Padahal sudah hampir jam sepuluh, pun hari juga tengah cerah-cerahnya di luar, tapi mata kamu betulan berat. Dua kelopak kamu seperti dibebani bebatuan dan didukung oleh pendingin ruangan yang suhunya diatur untuk imbangi cuaca. Imbasnya, matamu jadi merajuk begini.

Itu akibat semalam. Gara-gara pesan terakhir dari Jung Hoseok—karena kamu tidak membalas, sengaja. Membikin tersedak liurmu sendiri hingga batuk hebat, dan ketika kamu hendak ambil gelas berisi air mineral di nakas, gelas tersebut tergelincir. Tak ayal, terjun bebas kemudian pecah dengan indahnya di lantai. Seakan tidak cukup, di sela kamu punguti pecahan berukuran sedang, tanganmu tergores.

Tentu, dari sana kamu dapat ketahui, bahwa tidurmu batal lebih cepat maupun lebih lama.

Siapa yang tidak jadikan beban pikiran, jika kamu tiba-tiba diserang oleh orang yang bahkan tidak pernah dekat sebelumnya? Apalagi ini konteks hati, yang kompleks, rumit dan agak sialan bagimu. Oleh sebab perkara yang kamu bikin sendiri itu, kamu lantas sibuk bergelut dengan pikiranmu.

Sampai seperti enggan berakhir, andai kamu tidak menampar dua pipimu sekaligus sambil berseru ketus, "Astaga, bukan mustahil kalau dia hanya bercanda! Jadi, tolong, kamu jangan berlebihan!" Yang secara ajaib menjadi pencerahan sekaligus pereda dinamika emosi payahmu. Akan tetapi, telat tidur anteng berlaku.

Lain kali, kamu ingatkan diri untuk lebih berkenalan dengan konsep bercanda, dan sedikit longgarkan hubungan dengan keseriusan. Lelah juga, jika apa-apa dijadikan serius.

Bungkusan permen penyegar sudah terbuka sempurna, kamu segera simpan di dalam mulut. Harap-harap permen bertendensi pedas itu mujarab, karena hari ini kamu harus tahankan kesegaran matamu hingga senja hadir atas bermacam kegiatan. Salah satunya menjadi relawan penjaga perpustakaan universitas.

Gelar penjaga sesungguhnya tidak tepat, tetapi apalagi yang pantas mengingat kamu pun masih berstatus mahasiswa, bukan seorang pustakawan. Ah, sudah, lupakan saja. Toh, benang merahnya juga sama-sama melayani para pengguna, baik itu mahasiswa, dosen, peneliti dan lain sebagainya yang memerlukan infomasi.

Kamu mulai aksimu dari langkah kaki, melintasi lorong antar jejeran rak yang siapa tahu ada kekeliruan letak buku, maka kamu bisa segera membenahi; menaruh ke tempat asalnya. Asik bergulir, atensimu menangkap presensi yang kentara dirundung kebingungan, kendati kamu hanya tampak punggungnya.

Merasa termasuk bagian dari tugasmu, kamu berpindah ke lorong rak orang tersebut berada kemudian lekas tawarkan diri, "Permisi, bisa saya ba—" Namun, sayangnya tidak tuntas tatkala kamu pahami bentuk wajah itu. "Hoseok?"

"Oh!" seru Hoseok di volume, syukurlah, tidak mengganggu. Dia tersenyum lepas. "Selamat pagi."

Kamu pikir, keprofesionalanmu bakal goyah. Tapi entah mengapa, memandangi senyum yang menurutmu seperti anak kecil malah membikin kamu kehilangan untuk pelihara kecanggungan. Terlalu cerah buat menerima keapatisan. "Pagi," balasmu pada sapaannya lalu lanjut bertanya, "Perlu bantuan? Kamu kebingungan sekali sepertinya."

"Kebetulan, dan memang benar-benar perlu." Hoseok menghela singkat. "Aku sedang mencari literatur untuk rujukan tugas. Sudah pakai bantuan katalog online, dan mestinya di sini. Tapi saat dicari persisnya justru sebaliknya, tidak ketemu. Sudah dari ujung ke ujung, tetap saja nihil." Telujuk Hoseok berpindah kemudian bertengger di dagunya sambil tatapi kamu. "Bagaimana, ya? Padahal butuh sekali."

"Apa judul literatur yang kamu cari?" Spontanitasmu. Hoseok lekas beritahu informasi dari maksud pencariannya. Habis dengarkan dengan saksama, kamu pun segera instruksi untuk mulai bergerak, "Harusnya masih ada di sana. Oke, Hoseok. Ayo, ikut aku."

Melakukan penelusuran itu tidaklah lama apabila paham tekniknya, dan sama semacam kasus Hoseok, literatur yang dimaksud mudah ditemukan. Hanya saja, sebab kamu menawari beberapa judul buat tambahi referensi kemudian memperoleh persetujuan dari Hoseok, belum lagi sedikit berbincang-bincang, kalian pun membikin waktu bersama lebih lama.

Melalui kesempatan tersebut, kamu kantongi fakta, jika kamu tidak perlu menaruh kecanggungan ketika lawan bicaramu ialah seorang Jung Hoseok. Dia pribadi yang ceria dan punya senyum murni begitu hangat. Dua poin yang sudah pasti mendapatkan impresi golongan orang baik di mata pengamatnya.

"Terima kasih banyak, ya. Sekarang aku yakin, mendapat nilai bagus bukan angan-angan belaka." Hoseok mengangkat benda pinjamanannya seraya beri kamu tatapan jenaka.

"Sudah tugasku." Kamu mengulas senyum simpul sebagai jeda singkat kemudian berkata lagi, "Semoga berhasil."

Rambut Hoseok bergoyang akibat anggukan yang bergelimbang keantusiasan. "Oh iya," Dia berceletuk. Air muka berbinarnya kembali normal. Dia bertanya, "Jam bebasmu hari ini pukul berapa?"

Sontak kamu lirik dua jarum dalam lingkaran benda yang meliliti pergelanganmu. "Dua."

"Kebetulan. Bisa temui aku—ah, tidak-tidak. Aku yang akan menemuimu di sini."

"Memangnya ada apa?"

"Apel yang kujanjikan tadi malam. Ingin kuberikan."

Kepalamu lantas diserbui sebuah tanda tanya berukuran besar; kenapa tidak di flat saja? Kan bertetangga.

"Hari ini, aku tidak pulang. Jadi, sekalian saja. Syukurlah, selain satu lingkungan tinggal, kita pun satu universitas," Hoseok menandas seakan tahu problema di tempurung kepalamu, dan segera menuntaskannya. Kamu pandangi profil senyum semringah Hoseok dengan keadaan hati yang seketika tidak enak.

Sekonyong-konyong galaksi kembar Hoseok mengecil kala menembus pandangan di belakangmu. "Gawat. Kelasnya sebentar lagi dimulai." Dia menyinggahi netramu dalam tempo kilat. "Aku pergi dulu. Sampai jumpa." Baru hendak kamu membalas salam, Hoseok berbalik kemudian kembali berujar dengan susunan kalimat yang sukses membikinmu tercenung, "Kupikir kamu akan jadi canggung atas pesanku semalam, tapi ternyata tidak. Aku senang. Kuharap kamu terus bersikap biasa seperti ini."

Kamu melewatkan senyum tipis dan presensinya akibat mencerna tiap-tiap rangakaian yang tatkala kamu menemukan benang merahnya, kamu berdesir secara mutlak. Aliran darahmu seolah memiliki pompa dan pemanas pribadi, bahkan kala kamu membaca sebuah pesan masuk pada ponsel yang sendari tadi mendekam di saku kardigan, hingga rasanya kamu hendak meletus.

Jung Hoseok:

Tapi ingatlah, bahwa aku tidak bercanda. Sama sekali.

Aku punya perasaan yang benar-benar nyata, dan mungkin di tiap kesempatan, aku akan mengatakannya.

Tanpa memberi tanda.

Jadi, bersiaplah.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ENDING SCENE: Appleseok's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang