Homopobic

699 65 4
                                    

Gun POV

Saat pagi sebelum kami berangkat kuliah bersama, aku dan Off saling berciuman, bahkan kami lupa untuk mengunci pintu, karna sudah niat keluar tapi malah kutarik lengan Off dan kuraup bibirnya penuh gairah.

Berciuman di pagi hari itu membuatku berdebar.

Namun tiba-tiba kami mendengar teriakan dari arah pintu, dan kami berdua terkejut melihat seseorang yang memegang dadanya karna berdetak kencang akibat terlalu terkejut dengan perbuatan kami.

Hingga dia pingsan.

Dan aku memutuskan untuk tak masuk kuliah, memilih menunggu orang yang ada diranjangku terbangun.

Aku menghela nafas kasar, jujur aku senang dengan kehadiran sepupuku satu ini, tapi aku benci dengan kenyataan kalau dia akan jadi haters hubungan kami.

Dia sepupuku yang homopobic.

God Ithipan.

...

" Kamu sudah bangun?" Tanyaku saat melihat ia sudah membuka mata.
God terduduk dan menghindar dariku, kambuh deh penyakitnya.

Homopobic, benci sesuatu yang berhubungan dengan gay. Yah seperti itulah sepupuku ini.

" Sejak kapan?" Tanyanya dingin. Dia menghindar bahkan ketika aku ingin mengecek suhu tubuh dari keningnya.

" Sejak kapan apanya?" Tanyaku balik.
" Kau menjadi gay." Katanya, ada nada marah dalam perkataannya.
" Entahlah aku lupa, yang jelas tahun kemarin aku masih normal." Kataku.

God itu seperti adik bagiku, meski kita jarang sekali bertemu, tapi kita tetaplah saudara yang sangat akur dan jarang bertengkar atau berbeda pendapat.

Kita sama-sama anak tunggal, jadi itu membuat kami nyaman sebagai kakak dan adik. Dia memang benci sekali hubungan sesama lelaki, lebih tepatnya trauma karna dulu ayahnya meninggalkan keluarganya karna berpacaran dengan lelaki saat God masih berumur 14 tahun, sedangkan aku yang masih berumur 17 tahun.

" Dia tinggal dimana? Apa kalian tinggal bersama? Jika iya, lebih baik aku tinggal di tempat lain." Katanya. Aku terdiam, harus bilang apa aku ini.
" Dia hanya terkadang kesini. Dia punya apartement di sebelah kamarku." Akhirnya aku jujur.

Di memandangku dengan tatapan terkejut.
" Astaga. Kalau begitu tak keberatan jika kau ingin berduaan pergi saja ke kamarnya?" Tanyanya membuat penawaran yang sangat menarik.

" Kau tak lagi marah padaku? Karna pasti aku membuatmu jijik?" Tanyaku merasa bersalah.
" Iya kau sangat membuatku jijik, tapi aku bisa apa selain menerima bahwa sepupuku seorang Gay." Katanya dengan nada mencibir.

Aku terdiam tanpa tahu harus merespon apa. Kalau itu orang lain, atau temannya, mungkin ia akan membenci orang itu, tapi kenapa padaku dia hanya merespon seperti ini?

" Kenapa kau tidak membenciku atau hubunganku? Berbeda dengan reaksimu pada orang lain." Tanyaku. Aku ingin tahu apa yang ia pikirkan, aku penasaran.

Dia menghela nafas kasar.

" Aku benci. Siapa bilang aku tidak membenci, tapi masalahnya lain jika itu kau. Kau adalah satu-satunya kakak bagiku. Aku benci hubungan mu, aku benci orientasi seksualmu, aku benci pada kenyataan. Tapi... " Dia menjeda kalimatnya dan menghela nafas berkali-kali. Sedangkan aku setia menunggu ia menyelesaikan perkataannya.

" Tapi aku tak sanggup membenci kakak kesayanganku." Katanya sambil tersenyum.
Hatiku seolah menghangat, adikku kenapa sangat manis seperti ini. Meski dia lebih tinggi, bahkan badannya lebih besar dariku, tapi di mataku dia masih seperti anak kecil, dia hanya anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.

Cerita Tentang KITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang