Sejelma Kemunafikan

525 49 2
                                    

Ada saat dimana segala yang ia bangun hancur tak tersisa. Meluluhlantakkan segala harap akan sebuah kebahagiaan utuh. Ia mengerti dengan teramat sangat, bahwa apa yang telah tergenggam bisa saja lepas begitu saja. Namun ia adalah manusia yang egois, bersikap munafik untuk melakukan sandiwara bahwa ia baik-baik saja.

Ketika ia jatuh cinta dan memilih untuk menghabiskan segala waktu yang ia miliki untuk mencintai sosok itu. Ia melupakan fakta bahwa wanita yang ia cintai semakin menjauh dan berusaha bersandiwara didepannya. Ketika ia menyadari hati wanitanya berubah, berujung pada pengkhianatan yang sanggup membuat jantungnya terasa mati.

Namun ia tetaplah lelaki egois yang hanya berharap bahwa apapun yang terjadi, wanita itu takkan meninggalkannya. Ia menjelma jadi sosok posesif yang mengerikan.

Ia memainkan sandiwara yang sama dengan istrinya, hingga akhirnya istrinya tahu semua sandiwaranya. Istrinya terluka, karna tercekam rasa bersalah yang membuat lehernya terasa dicekik. Suaminya terlalu baik, padahal suaminya hanyalah seorang lelaki yang berkedok munafik.

Bohong kalau tak ada rasa benci akan pengkhianatan, bohong kalau tak ada rasa marah ketika cinta tulusnya dipermainkan. Bohong kalau sosok itu tak hancur.

Jatuh cinta pada wanita yang hanya terpaksa berpura-pura bahagia bersamanya. Satu fakta yang sanggup membuat sosok itu lebur adalah ketika cinta yang ia persembahkan justru melukai orang yang dicintainya.

Lalu melepaskan sosok itu karna ia tahu yang dicintainya butuh kebahagiaan lain yang nyata, bukan bahagia semu yang ia ciptakan dalam dramanya. Maka ia pun menguatkan hati menjelma jadi sosok yang hanya berani mencintai dari jauh. Namun satu hal yang membuatnya terasa benar-benar jadi pecundang ketika ia ditolak oleh putra tercintanya.

Membiarkan Putri dan putranya tumbuh dengan rasa benci yang teramat untuknya. Namun ia tak akan mau membuat dua anaknya membenci wanita yang ia cintai.

Dirinya selalu diam-diam menjaga dan mencintai mereka. Meski hidup dalam kebencian mereka.

Dan disinilah ia, bertemu lagi dengan sosok yang ia cintai semasa hidupnya, wanita yang takkan pernah ia benci segila apapun kehancuran yang wanita itu buat.

Disini, ia rendahkan egonya dan harga dirinya untuk terakhir kalinya.

Demi sosok yang menjadi alasannya tetap bernafas dan hidup dalam segala takdir gila yang membelenggunya.

Ia tak menyalahkan Tuhan, hanya saja ia tetaplah manusia biasa yang pada akhirnya mempertanyakan kenapa takdir yang Tuhan buat padanya terlalu kejam.

Dia memandang langit diatas sana, duduk disebelah wanita yang sama.

" Kamu kenapa ada disini?" Tanya Mayang lirih. Dadanya seketika sesak bertemu kembali dengan sosok itu, sosok yang telah ia hancurkan sampai titik terendahnya.

" Pamit, dan minta tolong padamu." Kata Mark, ayah Off dengan intonasi datar. Tak ada kebencian menyelimuti hatinya pada sosok disampinya. Meski ia munafik jika berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Karna duduk bersama seperti ini membawa angannya kembali pada kisah kelamnya. Dan hatinya teramat perih ketika lagi dan lagi mengingat sorott benci putra tercintanya.

" Mau pergi kemana? Mau ninggal Off gitu ajah? Dia cuma punya kamu." Kata Mayang lirih. Ia tak sanggup sebenarnya berdampingan dengan sosok ini.

" Sebenarnya nggak mau ninggalin dia, tapi mungkin waktuku sudah tak banyak." Kata Mark sambil tersenyum lirih.

Mayang tertegun, berusaha mencerna apa maksud lelaki ini.
" Jelaskan apa maksudnya waktumu sudah tak banyak?" Tanyanya.
Mark menatapnya, sedikit tertegun, rup ayu sang mantan istri masih lah sama. Hanya pipi yang semakin tirus.

" Aku sekarat, dan aku berharap kamu mau menolongku." Katanya dengan sinar mata yang teramat ttulus. Membungkam segala akal yang dimiliki Mayang.

Lelaki ini masih lah lelaki yang sama dengan lelakinya dulu. Pancaran tulus yang tak pernah berubah. Pandangan penuh kasih yang telah ia pilih untuk lepas.

" Ada apa dengan tubuhmu?" Tanya Mayang khawatir.
" Kanker otak stadium akhir." Kata Mark masih dengan senyuman yang sama.

Inginnya tidak menggunakan ini untuk membujuk wanita itu, tapi ia tak punya pilihan lain selain jujur pada kesekaratannya.

" Kenapa kau tak operasi dari awal? Aku pernah dengar, itu satu cara untuk tetap bertahan lebih lama?" Tanya Mayang bingung. Jujur hatinya seketika luluh.

" Aku tak mau mengambil resiko, aku tak mau melupakan mu dan anakku." Mayang tertegun, ia tahu efek samping itu, ia sering membaca buku sahabatnya tentang penyakit-penyakit semacam itu.

Namun logika Mayang tetap menggila, Kenapa lelaki ini masih mempertahankan ingatan yang menyakitkan, bukankah dengan melupakan segalanya akan membuat lelaki ini hidup dengan normal.

" Kenapa kau masih sebodoh ini?" Kilatan marah berpendar pada kedua bola mata wanita ini. Dia masih tak habis pikir dengan segala logika dan hati yang dimiliki mantan suaminya.

" Karna kau dan juga Off adalah alasan jantung ini masih berdetak, dan aku tak mau melupakan kalian apapun alasannya. Karna aku lebih memilih hidup dalam pesakitan daripada hampa tanpa kalian." Kata Mark.

Dan seketika itu air mata Mayang meledak, hatinya sakit dengan teramat. Ia menyesal telah membuat hidup lelaki ini hancur tak tersisa. Dan Mayang sadar tak ada penyesalan yang datang di awal. Karna ia tahu, hatinya sudah mati rasa akan simpati dan pemikiran atas konsekuensi yang akan ditanggungnya.

" Jadi apa yang kau inginkan dariku?" Tanya Mayang, suaranya terbata karna rasa sesak yang membuncah.

" Hiduplah dengan menebus penyesalanmu, hentikan sandiwaramu dan kembalilah menjadi seorang ibu untuk anakku." Kata Mark, sedangkan Mayang masih terdiam.

" Bebaskan dirimu dari rasa sakit atas penyesalanmu, lanjutkan hidupmu dengan semestinya. Ia membutuhkanmu. Itu saja. " Kata Mark lalu bangkit berdiri.

" Kau tahu kan, aku tak pernah sekalipun ingin kau hidup dalam kehancuran. Jangan bawa rasa sesal itu sampai waktu dimana kau tak bisa lagi memperbaiki segalanya. Jangan tunggu kematian dengan membawa sesal dalam hidupmu. " Setelahnya, sosok itu pergi, meninggalkan Mayang dalam tangisan yang semakin menjadi.

Bahkan untuk menatap punggung itu untuk terakhir kalinya pun ia tak lagi mampu.

Hanya semakin terasa sakit mengingat percakapan hari ini. Lebih sakit dari rasa penyesalan yang ia alami selama ini.

Ia ditegur dengan cara luar biasa.

Dan itu meruntuhkan segala ego yang ia bangun.

Namun ia tahu, setelah percakapan ini, akan ada perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya.

Karna satu hal yang ia pikirkan saat ini, diambang rasa keputus asaan, ia berharap Off masih mau menerimanya.

Dan ia bertekad untuk jujur pada anaknya, sambil sekali lagi berharap pada Tuhan untuk mengabulkan pendosa sepertinya, harapan tulus yang muncul, ia ingin Off menemani ayahnya yang sekarat.

Menciptakan memori singkat ayah dan anak itu. Mayang memohon dengan ketulusan yang pernah ia ragukan.

...

Tentang takdir, siapa yang punya kehendak?
Manusia diberi kertas dan pensil, untuk mengukir sejuta kehendak akan hidup yang ia jalani.
Namun Tuhan pemegang kunci dan Pena. Mencoret sesuka hati tulisan pensil yang terukir dalam kertas setiap manusianya. Menggantinya dengan tulisan pena yang dinamakan KehendakNya.

Karna satu-satunya yang tahu yang terbaik adalah Dia saja.

...

Enjoy to the story, next chapter Off Gun.

Cerita Tentang KITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang