Charger Iman

15 1 1
                                    

Mohon maaf jika banyak typo. Belum di revisi.
Happy reading....

Setelah semua disibukkan masing-masing, aku tergletak lelah di kasurku sambil menatap lamat-lamat atap rumah. Aku merasakan sesak di dada, air mataku bercucuran mendarat di pipi. Dan nanti mau pergi lagi.

"Aku senang dengan kesibukkan, tapi kenapa aku jadi lalai akan kewajibanku yang diundur-undur. Sibuk jadi pedagang, padahal Rasul saja tak mengajarkan jadi pedagang yang lalai. Aku terlena dalam kesibukkan dunia, imanku mulai kendor lagi," jeritku dalam hati, ingin terlepas namun aku tak bisa berkata.

Padahal aku tak ingin menunda-nunda kewajiban, aku harus ingatkan mereka. Aku harus cas iman lagi. Ya Rabbi, ampuni aku. Gerutuku masih saja berlanjut.

Waktu isya berkumandang aku menunda shalat, dan aku masih di jalan arah pulang--macet.

Sesampainya di rumah aku bergegas sholat.

Dalam sholat kukusyukkan niat, dan aku tak lupa berdzikir dan meminta ampun kepada Sang Pencipta karena aku menunda kewajibanku beberapa minggu ini.

Padahal jika kita mengejar akherat maka dunia akan mengikuti, tapi jika kita mengejar dunia maka akherat akan menjauh. Na'udzubillahi mindzalik. Aku menyesalinya.

Aku, Rara dan Fera beberapa kali menyempatkan pergi ke kajian di blok M, dan di istiqlal.

Aku sudah berdiskusi dengan Rara dan Fera agar mereka yang menghandle orderan dari pelanggan.

Tak ingin dikalahkan oleh syetan. Jika kita melakukan banyak dosa, maka syetanlah yang menang. Aku berusaha untuk tidak ditaklukan syetan.

Lihat angin yang sedang mengejar dedaunan sempat meninggikan namun dijatuhkan seketika. Kini ada resah yang menjamah. Jatuh ini membuat tak berdaya, hanya bisa meminta ampunan dari-Nya.

"Mey sholat shubuh yuk," ajak ibu melihat ke kamarku yang sengaja dibuka dari semalam.

Sengaja pintu kamar terbuka agar rasa bersalahku tak mengendap di kamar. Aku selalu melakukannya, biar hawa yang barupun dapat menyusuri kamarku.

Aku bergegas mengambil air wudhu dan sholat shubuh.

                      ***

Pagiku gemuruh dengan suara angin yang riyuh. Seperti awan mendung rupa dibalik jendela. Sungguh hari tak bersahabat, mataku begitu berat seperti ada beban tapi tidak di diskon. Semalam hanya tidur sepuluh menit, sisanya mengadu, merengek pada Allah sembari merenung dan menunggu waktu sholat tahajud.

Aku duduk di beranda bersama ibu, dan seperti biasa aku tiduran di sampingnya.

"Nak lihatlah mendung itu. Ia ingin menumpahkan rintikan hujan beberapa saat lagi atau mungkin hanya sepercik. Tau tak, ada beberapa waktu mustajab untuk berdoa," kata ibu sambil menunjuk langit.

"Kapan saja Bu waktunya?" tanyaku antusias.

"Waktu yang mustajab itu, sepertiga malam terakhir. Seperti dalam sebuah hadits mengatakan “Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)

"Lalu kapan lagi?" tanyaku  melanjutkan.

"Waktu hari jum'at, ba'da ashar sampai tenggelamnya matahari kala hari jum'at. Haditsnya itu begini “Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta.” Dan beliau berisyarat dengan tangannya akan sebentarnya waktu tersebut. (HR. Bukhari, no. 935; Muslim, no. 852)."

"Lalu pada arafah tepatnya 9 dzulhijjah. Pada hari tersebut insyaAllah diijabah, wallahu'alam bissawab."

Aku manggut-manggut tanda paham.
Ibuku masih melanjutkan.

"Terus doa antara adzan dan iqomah. Dari sebuah hadits yang mengatakan
“Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu).” (HR. Ahmad, 3: 155).

"Lalu doa ketika waktu turun hujan, wallahu'alam bissawab.
Do’a yang amat baik dibaca kala itu adalah memohon diturunkannya hujan yang bermanfaat. Do’a yang dipanjatkan adalah,

اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً

“Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].”

Hari ini aku ijin tak kuliah, ku curahkan sedikit kisah pada langit yang ingin runtuh ditemani Ibu. Kupandangi langit seakan tahu bahwa aku sedang rapuh, dan aku goyah dalam hijrahku.

"Nduk, coba cerita sama ibu mungkin ibu bisa bantu, apa yang lagi kamu rasakan sampai tak kuliah begini?" lanjut ibu menenangkan.

(Nduk) : adalah sebutan untuk memanggil anak perempuan dalam bahasa jawa

Aku menceritakan keluh kesahku kali ini tidak di pangkuan Ibu, karena kaki Ibu sakit, hanya disampingnya saja memakai bantal kesayanganku pemberian dari kakak.

"Jadi karena itu toh. Hmm makanya nduk ojo dumeh! Karena kamu sendiri jadi begini," ujar ibu sambil mengusap rambutku.

(Ojo dumeh) : filsafat jawa mengartikan jangan mentang-mentang, lupa diri.

"Sibuk dengan dunia memang menggiurkan nak, tapi itu hanya sebentar, sekilas, hanya ujian saja sebenarnya. Tapi kalau kita dikendalikan dunia, kita akan rugi sendiri nak. Jangan seperti itu lagi ya," kata ibu lembut.

"Iya Ibu, akupun menyesal, aku kalap memakan dunia, aku lupa akan tujuanku," sahutku, tak sengaja meneteskan air mata, ku usap sebelum Ibu melihat.

Unsur dari kehidupan yang hakiki ya hanya mengumpulkan amalan saja, memanfaatkan waktu, usia dan hidup. Karena kehidupan yang kekal bukan di sini tapi di akherat nanti.

Bukankah ustaz dan para ulama sering mengatakan hal itu, jadi bagiku tak awam. Ku rasa mereka di luaran sana juga sering mendengarnya, tak bosan mengingatkan sesama umat muslim.

KAU HINGGAP DALAM DOATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang