4

2.1K 170 2
                                    

Semilir angin menerpa kulit halus Drupadi. Sedikit perih di lengannya bekas tergores batuan di bibir jurang terasa kaku. Mulut gua besar yang menampung dirinya dan Arjuna terlihat mengerikan dipenuhi oleh lumut-lumut yang telah kering. Beberapa batuan besar tampak cocok untuk dijadikan tempat persembunyian monster.

"Mengapa kauikut terjun?" tanya Arjuna pelan pada perempuan di sampingnya.

Bunyi burung-burung kecil di ngarai itu begitu riuh. Rambut Arjuna beterbangan diterpa angin kecil. Meniupkan aroma manis ke hidung lancip milik Drupadi. Sepanjang mata memandang, hanya tumbuhan merambat yang hijau asri menggantung indah di tepian.

"Entah. Mungkin karena aku tahu bahwa kamu tidak mungkin melompat tanpa kesiagaan," jawab Drupadi pelan sambil tertunduk memegangi lengannya yang perih.

"Bagaimana jika ternyata memang tak ada gua di sini?"

Drupadi menggeleng pelan. Benar juga. Bagaimana jika tak ada gua? Apakah ia harus mati? Dengan alasan apa? Sang Hyang Widi sudah memberinya kehidupan dua kali. Haruskah ia menyia-nyiakannya untuk sesuatu yang tak seharusnya ia pedulikan saat ini?

Lelaki itu menatap wajah permaisurinya. Wajah cantik yang belakangan terlihat murung sekarang malah berubah kebingungan. Arjuna tersenyum hingga Drupadi jadi memperhatikan wajah indah itu.

"Kemari. Biar kuberi obat luka di tanganmu supaya tidak membekas," ujar lelaki itu.

Tangan kanannya mengeluarkan sebuah kain kecil bergambar angsa hasil rajutan. Di dalamnya terdapat bubuk kuning yang begitu lembut. Ia bubuhkan ke atas luka Drupadi yang masih lagi basah hingga perempuan itu meringis perih. Setelah ditiup sedikit oleh Arjuna, perih itu lumayan berkurang. Sayang, kebingungan di hati Drupadi yang tidak berkurang.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Arjuna seraya mendekat pada tubuh istrinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi hari ini?"

Lelaki berbibir tipis itu menyeringai. Ia menaburkan bubuk kuning di atas luka pada kakinya. "Segerombol orang-orang berpakaian hitam tetiba menyerang kereta yang ditumpangi raja. Mereka menyerang kuda dengan anak panah sehingga hewan-hewan itu tak terkendali."

Perempuan itu terperangah. Ia kembali bertanya, "Siapa yang berani melakukan itu?"

"Aku tak bisa menyebutkannya sebab yang kupunya hanya praduga."

Perempuan itu hanya mengangguk tak acuh. Hening sejenak. Drupadi memperhatikan keadaan sekitarnya yang tampak tak memiliki jalan untuk keluar.

"Bagaimana kita akan keluar dari sini? Bisakah kamu terbang?" Wajah polos Drupadi membuat Arjuna tertawa pelan. Perempuan itu begitu khawatir dalam hatinya.

"Tunggu hingga 2 batang dupa. Kita akan keluar dari sini. Sekarang, aku benar-benar ingin beristirahat," ujar Arjuna pelan.

Perlahan, ia menyandarkan kepalanya di bahu Drupadi. Sontak hal itu membuat tubuh sang wanita menjadi tegang. Mata bulatnya melotot sebab tak percaya bahwa hal ini akan terjadi. Namun, meski jantungnya berdetak cepat, ketika ia mendengar dengkuran halus di bahunya ia menjadi lebih tenang. Ada kedamaian yang tak bisa ia gambarkan dengan gamblang dalam hatinya. Senyum kecil terbit dari bibirnya yang mungil.

Angin kecil bertiup lagi. Harum tubuh Arjuna bercampur dengan bau alam yang segar memanjakan hidung Drupadi. Diusapnya rambut panjang sang pangeran dengan pelan. Menakjubkan. Meski ia pikir tak ada produk perawatan rambut untuk lelaki—apalagi pada era ini, tetapi rambut Arjuna begitu halus dan harum sehingga Drupadi nyaman berada di dekatnya.

Ia tak bergerak sedikit pun hingga matahari hampir turun ke barat. Dalam hatinya ia terus komat-kamit memanjatkan doa kepada Dewata. Dalam ketenangan itu terdengar suara kikikan kuda dari kejauhan beserta beberapa pria yang berteriak. Mungkin masih berjarak 100 meter dari tempat keduanya duduk.

A Tale Of True Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang