Sinar matahari menelisik di antara celah-celah tirai yang menutupi jendela kamar Drupadi. Aroma pagi hari segar menyapa hidung bangir milik Arjuna. Lelaki itu membuka mata bulatnya, berkedip beberapa kali lalu menatap wajah Drupadi yang masih tertidur dengan tenang. Dengkuran halus terdengar begitu manis di telinga Arjuna.
Setelah beberapa saat mengumpulkan kesadarannya, lelaki itu beranjak duduk dan memakai jubahnya kembali. Kibaran kain sutra berwarna merah gelap berpadu dengan tenunan keemasan itu menghasilkan keharuman khas tubuh Arjuna. Wangi manis yang elegan itu menguar di seluruh ruangan. Arjuna memilih untuk duduk di atas kursi rotan yang biasa digunakan Drupadi bersantai atau membaca buku. Rasanya nyaman berada di dalam sini, memandang wajah tenang Drupadi yang masih terlelap. Matanya berkeliling ke sekitaran nakas tempat barang-barang mahal koleksi Drupadi. Di antaranya terdapat gelas kayu ukiran yang Arjuna buat sendiri untuk Drupadi ketika hari ulang tahunnya. Ia menghampiri gelas cantik itu dan mendapati sembilan belas batu kecil di dalamnya. Aneh. Tak biasanya Drupadi menjadikan gelas itu sebagai tempat tak terpakai.
"Arjuna!" panggil Drupadi pelan dengan suara serak khas bangun tidur.
"Ya?"
Wajah cantiknya tampak anggun memesona meskipun Drupadi baru bangun tidur. Ia menutupi kedua matanya dengan telapak tangan ketika sinar matahari mengganggu matanya.
"Kamu tidak pulang ke Istana Barat sejak semalam, Arjuna?"
Lelaki itu tersenyum dan menggeleng. "Aku bermalam di sini dan ketika aku membuka mataku sudah ada wajah tenangmu. Itu menyenangkan, Panchali," jawab Arjuna.
Drupadi menjadi jengah dengan pernyataan Arjuna. Ia segera mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi dan mengusap wajahnya sekali lagi.
"Oh, ya. Kenapa kauletakkan sembilan belas batu di dalam cangkir yang kubuatkan untukmu? Bukankah biasanya kaugunakan ini untuk minum?"
Tidak. Mana Drupadi tahu bahwa Dewi Drupadi menggunakannya untuk minum. Apalagi benda itu adalah pemberian Arjuna, dibuat langsung olehnya. Drupadi hanya diberikan gelas itu oleh Daima. Jelas itu bukan salahnya, tetapi kelalaian Daima.
"Mm, karena itu ... berharga. Jadi, sayang jika ... kugunakan terlalu sering," jawab Drupadi terbata-bata.
Lelaki itu hanya tersenyum mengamati isi gelas lamat-lamat. Sebenarnya apa maksud dari batu berjumlah sembilan belas? Apa yang sembilan belas?
"Baiklah. Hari sudah beranjak siang. Sebaiknya segera membersihkan diri dan memulai aktifitas. Aku akan ke Bangsal Madupeni pagi ini. Senja nanti tunggu aku pulang kemari," kata Arjuna sambil meletakkan cangkirnya.
Bibir lelaki itu masih menyunggingkan senyuman manis ketika ia melangkah ke luar ruangan. Drupadi masih terpaku di tempatnya. Sesekali ia menyisipkan anak rambut yang tak ikut terikat. Daima memasuki ruangan tidur Drupadi sambil membawa papan kayu berisi alat riasan untuk tuannya.
"Salam, Gusti Ratu."
Setelah meletakkan seluruh barang-barangnya, perempuan itu mendekat pada tuannya. "Gusti, pagi tadi ketika keluar dari kediaman, wajah Pangeran Arjuna sangat berseri-seri," ujar Daima.
Drupadi hanya tersenyum tipis sambil melangkah ke kamar mandi. "Oh, ya?"
"Tentu, Gusti. Semua orang tahu bahwa belakangan Gusti lebih disukai oleh Pangeran ketimbang Bendara Raden Ayu."
Daima membantu Drupadi untuk membersihkan dirinya. Kelopak mawar dalam air mengambang sejauh mata memandang. Wajah Drupadi yang datar masih tak dimengerti oleh Daima.
"Apakah Gusti senang?"
Menghela napas. Drupadi kemudian mengangkat sebelah tangan kirinya untuk dibersihkan oleh Daima. Sejenak ia diam saja. "Daima, menurutmu dengan disukainya aku oleh Arjuna apakah itu tidak akan membuat Dewi Subdadra seperti cacing kepanasan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Tale Of True Love (Selesai)
Historical FictionTerbangun dari tidurnya. Drupadi menyadari ada sosok lain di balik selimut putih yang ia kenakan. Tubuhnya terasa hangat oleh pelukan tubuh lain. Oh tidak! Siapa gerangan yang berani melakukan hal tidak senonoh kepada Drupadi yang terhormat. Merasa...