BAB 2

79 16 10
                                        

Ujian kenaikan kelas pun sudah selesai, hasil ujian juga sudah keluar. Aku dan teman-temanku menginjak kelas dua belas.

"Wah, selesai juga kita kelas sebelas!" teriak kegirangan Sinta.

"Emang kenapa? Kelihatan kamu senang sekali." jawabku.

"Iya dong, kelas dua belas itu tingkatan tertinggi setelah guru, kan enak rasanya." jawabnya santai.

Aku dan Sinta berjalan menuju lapangan . Hari ini, hari pertama setelah libur panjang dilaksanakan.

"Ema, ayo cepat! Kita lihat kelas kita dulu!" suruhnya cepat menuju papan pengumuman yang dikerubungi siswa.

"Semoga kita sekelas, nanti gak seru tanpa kamu." harap-harap cemasku.

"Mari kita berdoa terlebih dahulu." pinta Sinta mendramatisir keadaan.

Aku dan Sinta berdoa sebelum melihat papan pengumuman kelas.

"Amin." suaraku dan Sinta serempak.

Aku dahulu yang melihat kertas pengumuman.

"El Ema Oktaviana, kelas dua belas ips --satu." aku menemukan namaku.

Sekarang saatnya Sinta.

"Sinta Pratama Arnetha, kelas dua belas----satu." Sinta membacanya seksama, takut ia salah baca.

"Gimana? Kamu kelas dua belas satu?" tanyaku sekembalinya Sinta.

"Iya!" teriaknya histeris.

Aku dan Sinta berpelukan, tak tahu jadinya jika beda kelas.

"Gimana dengan Raka? Semoga dia satu kelas sama kita." harapku dan Sinta.

........................................................................

"Makan yuk!" ajak Raka tiba-tiba, mengagetkanku dan Sinta saat istirahat.

"Kamu tadi kemana aja kok ngak ada?" tanyaku.

"Biasa lah, bulan depan ada kompetisi basket."

"Ngomong-ngomong, kalian di kelas dua belas ips dua, kan?"

Aku dan Sinta saling bertatapan, hangus harapan untuk satu kelas bersama.

"Ka, kita gak sekelas lagi." ucap Sinta murung.

"Emang kenapa? Kan masih bisa bareng-bareng di kantin." jawab santai Raka.

"Ayolah. Kita makan yuk!" ulang Raka.

Aku, Sinta dan Raka pergi ke kantin.

"Hey, Ka! Gabung yuk!" siswa laki-laki mengajak Raka bergabung dengannya.

"Nongkrong kok sama perempuan." tambahnya mengejek.

"Gak, makasih udah repot-repot ngejek." jawabnya santai.

"Sah-sah aja kan kalau gue makan bareng sahabat gue dari kecil."

"Lah, situ lihat temen tapi ngemanfaatin tenar dari lo doang." tambah Raka menohok, dimaksudkan untuk dua orang yang selalu bersama Fandi, laki-laki tersebut.

Tiba-tiba saja, Fandi menarik keras seragam Raka. Aku kaget, tak bisa berbuat apa-apa.

"Gue tantang lo buat tanding basket! Hari kamis besok pulang sekolah, gue tunggu di lapangan basket sekolah." ucap Fandi menantang Raka.

"Oke, gua terima." ucap Raka santai. Fandi pergi menjauh, disusul kedua temannya.

"Tapi, kalau nanti gue menang, lo harus minta maaf sama sahabat gue!" teriak Raka. Teriakan Raka tak dihiraukannya.

Perasaan yang TerbenamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang