Solo

3.4K 124 20
                                    

"Dek, jangan tidur, dong,"mas Naren menarik lengan bajuku.

"Aku nggak tidur, mas. Cuma merem aja," jawabku.

"Lama-lama tidur kamu tuh," mas Naren mengomel.

"Enggak. Aku temenin kamu ngobrol nih," balasku.

"Terus kenapa merem kalau nggak mau tidur?" tanya mas Naren.

"Aku tuh takut kalau nanti aku lihat yang macam-macam di luar sana, mas. Biar mas aja yang lihat lah," jawabku asal.

"Tadi siapa yang ngajakin pulang malam?" mas Naren semakin sebal.

Aku sering menonton video di youtube tentang hal-hal aneh yang tertangkap kamera pada saat seseorang sedang mengendarai mobil. Bukan maksudku jalanan di pantai-pantai Jogja ini angker, hanya saja aku tidak mau mengambil risiko kalau-kalau nanti aku melihat sesuatu lalu tak bisa melupakannya seumur hidup.

Dulu sekali, waktu aku masih berpacaran dengan mantanku itu, kami bertemu hanya jika ia mengunjungiku ke Jogja atau aku mengunjunginya ke Jakarta. Tentu saja dengan naik kereta. Aku pernah, suatu kali, naik kereta ke Jakarta. Berangkat dari Jogja sekita pukul 8 malam, sampai di Jakarta sekitar subuh. Waktu itu, aku ke Jakarta sendirian. Naik dari stasiun Lempuyangan, turun di stasiun Pasar Senen. Setelah berada di kereta hampir 9 jam, akhirnya terdengar pengumuman bahwa kereta yang kutumpangi sebentar lagi akan sampai di stasiun Pasar Senen. Karena sudah sepanjang perjalanan dari Jogja aku tidur, kali ini aku menahan diriku untuk tidak lagi terlelap. Apalagi mantanku waktu itu mengabariku kalau dia sudah menungguku di stasiun Pasar Senen sejak 2 jam yang lalu.

Aku hampir sampai di stasiun Pasar Senen. Laju kereta yang kutumpangi melambat. Kutengok ke luar jendela, masih sangat gelap tapi jalanan sudah sangat ramai. Di luar tampak pagar besi berbaris-baris, di depannya banyak semacam pohon mangga yang di sekitarnya banyak mobil parkir berjejer. Di situ, di salah satu barisan pohon mangga yang kulewati, aku melihat sosok putih bersandar. Kupikir hanya bungkusan karung yang sengaja digantung di pohon untuk tempat sampah. Sesaat setelah melewati pohon itu, aku berpikir sejenak, lalu menoleh ke belakang. Memastikan apa yang kulihat benar-benar-benar bungkusan karung atau bukan. Dan ternyata bukan. Bukan karung, sayang. Yang kulihat adalah pocong sedang bersandar santai entah menunggu siapa. Detik itu juga aku langsung lemas dan sampai saat ini, aku tidak mau iseng lagi melihat ke luar jendela jika hari sudah gelap.

"Dek?"

"Hm?"

"Kamu takut apa, sih? Jangan merem, dong," pinta mas Naren.

"Ada tiga hal mas yang aku takutin di dunia ini," kataku.

"Apa tu kalau leh tau?" tanya mas Naren sok gaul.

"Pertama, aku takut sama Allah. Kedua, takut kehilangan kamu. Ketiga, aku takut hantu," jawabku. Mas Naren tertawa.

"Aduh, kamu melek dong, dek. Biar bisa lihat aku malu," kata mas Naren. Aku tersenyum mendengarnya tapi tetap tidak mau membuka mata.

"Ingat, nggak? Dulu waktu kita ke Solo, kamu juga merem sepanjang jalan?" tanya mas Naren tiba-tiba.

Aku membuka mata, tertegun demi mengingat perjalananku ke Solo dengan mas Naren. Waktu itu, kami sedang makan malam di tempat makan yang menjual rica-rica terenak di Jalan Kaliurang kilometer 5. Tentu aku yang mengajak mas Naren ke sana karena dekat dengan kostku. Aku pula yang membayar makanan kami. Jadi begitu, dulu waktu aku masih sering makan malam sama mas Naren, kami selalu bergantian membayar makanan. Kalau kemarin mas Naren, berarti kali ini aku. Besok kalau ketemu lagi, mas Naren yang bayar. Atau biasanya, mas Naren yang bayar makan, aku yang bayar tiket nonton film di bioskop. Sayangnya, sekarang tempat makan yang menjual rica-rica enak itu sudah tutup. Dulu, aku dan mas Naren sering menghabiskan waktu di sana untuk makan malam dan mengobrol.

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang