Huruf 'y' artinya apa?

2.6K 113 17
                                    

Tidak memiliki agenda lain selain menghabiskan waktu di rumah sambil tiduran atau membaca buku sampai tiba saatnya berbuka puasa adalah impian anak rantau yang pulang ke rumah. Sebegitu berjayanya aku, bisa mengurung diri di kamar yang setahun belum tentu dua kali bisa aku tempati ini. Tidak punya rencana buka bersama dengan teman-teman tidak masalah, tidak pusing juga aku memikirkan update di sosial media. Aku berada di rumah dan itu sudah cukup untuk membuatku pamer ke dunia, karena aku benar-benar bahagia. Benar adanya jika seseorang memang sungguh-sungguh sedang berbahagia, ia tidak akan memiliki waktu untuk sekadar pamer. Ia akan memanfaatkan detik yang berharga itu untuk menikmati kebahagiaannya dan bersyukur atas apa yang ia terima. Hey, no offense.

Menghabiskan berhari-hari di rumah dengan agenda yang itu-itu saja memang tidak membuatku merasa bosan, tapi ada sesuatu yang membuat kenyamananku terusik. Perkenalkan, sayang, sesuatu itu bernama rindu. Saat aku berpamitan dengan mas Naren di bandara tempo hari, aku tak tahu bahwa ada rindu yang nantinya akan menggelayuti dadaku sebegini beratnya. Sepertinya mas Naren sedang libur kerja menjelang lebaran sebab ia mengirimiku pesan singkat jauh lebih sering dari biasanya. Bisa sampai setiap hari. Ah, atau aku hanya beruntung saja, bahwa aku tidak sedang rindu sendirian? Memikirkan hal itu saja membuatku tersenyum-senyum sendiri.

"Kamu ngapain?" tanya ibu tiba-tiba. Aku terperangah mendapati ibu sudah berdiri di sebelahku, memergoki aku yang sedang tersenyum-senyum sendiri.

"Nggak ngapa-ngapain, bu," jawabku tentu sambil salah tingkah.

"Udah punya pacar lagi?" tanya ibu langsung ke intinya tanpa assalamualaikum. Aku membalas dengan cengiran saja. Ibu kemudian duduk di sebelahku.

"Siapa?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

"Nggak ada, bu. Atta nggak punya pacar," jawabku mulai resah.

"Kamu kalau mau bohong, sama orang lain aja," tegur ibu sambil menatapku tajam. Aku mengedipkan mataku berkali-kali, berusaha mencerna keadaan. Lebih tepatnya, mencari celah untuk kabur dari situasi tanya jawab versi kursi panas ini.

Baik, aku meyerah.

"Okay, jadi Atta dekat sama orang,"jawabku akhirnya. Coba ibu direkrut kepolisian untuk bagian investigasi para penjahat, aku yakin belum dua menit mereka sudah langsung mengaku karena tidak tahan dengan tekanan perasaan saat ibu menatap mata mereka penuh ancaman.

"Siapa?" tanya ibu tak sabaran.

"Anaknya pak dukuh yang dulu Atta pernah ceritakan itu," terangku. Dulu, saat aku masih stase komunitas di rumah pak dukuh, memang beberapa kali ayah dan ibu meneleponku untuk sekadar tahu kabar anak perempuannya ini, apa masih hidup atau masih suka lupa makan tepat waktu. Saat itu aku memang pernah menceritakan kepada ayah ibuku mengenai kehidupanku di rumah pak dukuh, tentang teman-temanku, tentang pak dukuh dan bu dukuh yang luar biasa baik pada kami, dan tak luput juga tentang mas Naren dan mas Rafa.

"Yang mana?" sepertinya ibu sudah mulai mengikuti topik yang akan kami bahas selanjutnya.

"Yang kakaknya," jawabku singkat. Sedikit berharap ibu lupa dan tak peduli.

"Oh, mas Naren, ya?" seru ibu sambil mengangguk-angguk. Yak, ternyata aku terlalu meremehkan daya ingat ibu.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan ibu.

"Ibu mau masak dulu," kata ibu kemudian bergegas meninggalkanku.

Aku yang ditinggalkan malah tergagap-gagap.

"Sudah? Segitu aja, nih?" batinku dalam hati. Ibu tetap melangkah ke dapur, dan ya, memang sampai di situ saja. aku meraih ponselku yang tadi sempat refleks kusembunyikan padahal ya tidak ada apa-apa, hanya terkejut saja saat mendapati ibu tiba-tiba sudah berada di sebelahku. Kenapa, ya? Kalau sama orang tua itu walaupun kita tidak melakukan kesalahan, tapi refleks yang kita lakukan adalah menyembunyikan sesuatu seolah-olah memang ada yang perlu disembunyikan atau itu hanya aku saja?

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang