Amigos

1.8K 62 12
                                    

You know, the first fight always breaks our heart a bit too much. Hampir seminggu aku tidak mempedulikan pesan Mas Naren yang mampir ke ponselku. Awalnya masih kubaca, lama-lama kubiarkan saja.

"You have trust issue and it shows," Linka mengomeliku.

"I'm not trying to hide it anyway," balasku santai sambil menyandarkan punggungku di sofa. Linka dan Siki menggeleng.

Kedai kopi baru di daerah Gejayan ini cukup nyaman karena tempatnya rapi dan bersih. Selain itu untuk pukul 16.00 sampai sebelum maghrib, kedai ini masih sepi, jadi sangat cocok untuk orang-orang pengangguran tukang ngerumpi seperti aku, Linka, dan Siki untuk main di sini. Seperti sore ini, hanya ada aku, Linka, Siki, mas dan mbak pegawai kedai dan satu meja lagi yang dipakai seorang perempuan yang saat ini sedang sibuk mengetikkan sesuatu di laptopnya sambil mengangguk-anggukkan kepala, mungkin lagu yang mengalun di headsetnya adalah lagu kesukaannya

Aku menghela napas pasrah.

"I mean, what do you expect? I've trusted someone for three fucking years and he bailed and stabbed me in the back with a knife that I've been given to him to protect me, like I am his only enemy whose the death he really wish for. Of course I have a fucking trust issue," ujarku sembari memijat kening.

Siki beralih duduk di sampingku. Ia memijati pundakku.

"Kita tahu lo udah ngalamin hal yang sakit banget dan kita bangga sama lo yang bisa ngelewatin masa-masa sulit itu, Tta...," ujarnya.

"Tapi lo harus ingat, nggak semua laki-laki itu Biyan dan kayak Biyan," sambung Siki masih sambil memijati pundakku.

"Siki benar, Tta. Kalau karena masalah sekecil ini lo jadi menutup semua jalan untuk Mas Naren, ini nggak adil buat dia," ujar Linka.

Aku menegakkan tubuhku.

"Lo bilang ini masalah kecil?" tanyaku pada Linka tajam.

"Coba lo habisin waktu ngeyakinin diri lo sendiri bahwa lo pantas untuk mencintai orang lain dan sekalinya lo berusaha cinta, orang itu justru masih cinta sama yang lain. Now tell me, what's the different between Biyan and Naren here? They fucking love someone else," ucapku penuh kemarahan.

"Coba lo jadi gue dan ngerasain apa yang udah gue laluin buat menyelamatkan diri gue sendiri lalu bilang kalau ini cuma masalah kecil!" aku menyambar tasku lalu bergegas keluar dari kedai kopi itu, tak mempedulikan panggilan Siki dan Linka.

Aku bergegas pulang ke kost dan segera merebahkan diri sesampainya di kamar. Mengapa orang-orang tampak tak paham sama sekali? Bahwa mungkin sesuatu yang bagi mereka kecil bisa jadi begitu besar bagi orang lain. Mengapa mudah sekali meremehkan urusan orang lain?

Kuambil ponselku dari dalam tas. Ada beberapa notifikasi pesan baru dari Siki dan Mas Naren. Pesan-pesan itu kubiarkan tak terbaca.

Aku menggelengkan kepala. Aku harus menjernihkan pikiranku.

Akhirnya aku memutuskan untuk bersiap-siap pergi lagi. Tahu tidak, saat sedang gundah gulana, apa yang selalu mampu membuat perasaan menjadi lebih baik? Benar! Belanja. Jadi kupacu motorku menuju Mirota Kampus, swalayan maha terkenal di kalangan anak kost Jogja, untuk membeli entah.

Sesampainya di Mirota Kampus, aku mengambil keranjang belanjaan lalu mulai melihat-lihat peralatan mandi. Saat sedang asyik melihat-lihat jenis lulur, ponselku berdering. Ayah menelepon.

"Halo?" sapaku cepat-cepat.

"Halo. Wah, ramai sekali. Lagi di mana Atta?" tanya Ayah.

"Lagi belanja, Yah. Ada apa?"

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang