To Feel Safe

1.5K 61 20
                                    




Aku mengerjapkan mata, rasa pening menyerang kepalaku. Mungkin karena semalam aku terlalu banyak minum soda jadi pagi ini kadar gulaku terlalu tinggi. Aku bangkit lalu duduk di tepi tempat tidur, berusaha menggapai botol air minum di atas nakas. Setelah meneguk air putih beberapa kali, aku merasa lebih segar. Kugapai ponselku, ada beberapa pesan. Ada pesan dari mas Naren lagi. Aku berpikir sejenak lalu kuputuskan untuk menghapus notifikasinya. Aku memang belum membaca satu pun pesan dari mas Naren sejak saat terakhir kami bertemu. Bukan karena tidak suka, mungkin sebenarnya aku takut kecewa.

Aku memutuskan untuk mandi saja, membilas rasa bersalah sekaligus kecewa yang beberapa hari ini telah menggangguku.

Setelah mandi, aku mengeringkan rambutku. Mulai berpikir untuk memotongnya saja karena sudah terlalu panjang dan menyebalkan. Saat sedang sibuk bercermin, tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Linka.

"Hari ini lo akan nemuin mas Naren, kan? Lo udah janji!" aku mengernyit. Ini pesan pemaksaan, bukan sekadar bertanya. Linka menagihku terang-terangan.

Aku menghela napas lalu merebahkan diriku di tempat tidur. Aku memutuskan untuk membuka pesan-pesan dari mas Naren. Ada 19 pesan yang belum kubaca darinya.

"Atta, aku minta maaf. Tapi apa yang kamu baca nggak seperti apa yang kamu pikirkan. Kamu istirahat ya. Besok ketemu lagi, bisa?" ini isi pesan pertamanya. Pesan yang sengaja tak kubaca karena aku begitu marah padanya.

"Hai, aku sudah sampai di rumah," ini isi pesan kedua. Mungkin ini pesan yang mas Naren tulis saat ia akhirnya sampai di rumahnya sepulang mengantarku ke kosan malam itu.

"Aku punya cerita, mau dengerin nggak?"

"Atta, kamu udah tidur?"

"Yaudah selamat istirahat, ya. Makasih buat hari ini, udah nemenin aku ketemu sama teman-teman."

"Maaf, ya, kalau aku bikin kamu sedih."

"Satu lagi, apapun yang kamu dengar atau lihat, kamu percaya aku aja, ya."

Lalu pesan lain yang dikirim mas Naren di hari selanjutnya.

"Selamat pagi"

"Atta, kamu hari ini ada kegiatan apa? Bisa ketemu nggak?"

"Atta, kamu udah makan siang?"

"Ketemu, yuk?" pesan ini ditulis pukul 16.00, saat mas Naren pulang kerja.

"Aku udah di rumah. Kamu udah makan?" itu pesan terakhir mas Naren hari itu. Di hari berikutnya, ia mengirimkan pesan lagi padaku.

Pesannya ditulis semalam, mungkin saat aku sedang berada di rumah Linka.

"Atta, jadi begini. Ini soal yang di grup kemarin. Aku nggak benar-benar mau jemput Putri. Kalaupun dia jadi datang ke Lempuyangan dan minta jemput, pasti aku minta temanku yang lain buat jemput. Aku jelas-jelas sadar diri, aku nggak akan nyurangin kamu kayak gitu. Aku memang pengin dia datang ke nikahan temanku kemarin, pengin banget, tapi bukan karena aku masih berharap sama dia. Aku justru pengin dia bisa ketemu aku dan kamu di sana, biar aku kenalin kamu ke dia, biar dia bisa lihat kamu."

"Kamu ingat, kan, gimana aku kemarin maksa-maksa kamu supaya bisa ikut ke acara nikahan itu? Karena aku pengin bawa kamu untuk kenalan sama teman-temanku, sahabatku sekolah dulu, termasuk Putri juga. Kalau memang tujuanku kemarin untuk ketemu Putri atau jemput dia, aku nggak akan ngajak kamu, kan? Aku nggak akan maksa-maksa kamu untuk ikut, kan? Aku juga nggak akan ngechat dia di grup, kan?"

Aku menghela napas lalu menegakkan tubuhku untuk membaca pesannya yang lain.

"Kalau aku memang berniat untuk nemuin Putri secara pribadi, aku nggak akan ngechat dia di grup. Aku akan langsung hubungi dia, kalau perlu aku akan telepon dia. Dan waktu pertama kali kamu bilang kalau kamu nggak bisa ikut ke acara nikahan temanku itu, justru aku akan sangat senang kan? Karena artinya aku bisa benar-benar ketemu Putri tanpa harus ngajak kamu. Tapi bukan begitu, Atta. Aku justru ngajak kamu dan benar-benar pengin kamu ikut. Karena kamu ibarat pakaian terbaikku yang pengin banget aku pakai kemanapun aku pergi."

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang