nightmare dressed like a daydream

2K 78 8
                                    

Berhati-hatilah menerbangkan doa sebab Tuhan tak pernah memberikan "tidak" sebagai jawaban.

Aku mengerjapkan mataku. Sinar matahari menerobos masuk melalu celah angin-angin di atas jendela kamar membuat mataku ngilu. Semalam aku ketiduran dengan lengan-lengan rasa bersalah yang memelukku erat. Pagi ini aku bangun dalam keadaan pusing sekali dan bingung. Aku meraih ponselku di nakas.

"Pukul tujuh," gumamku.

Ada 5 pesan masuk yang belum kubuka. Aku mengetuk layar ponsel untuk membuka pesan. Dari mas Naren.

"Aku sudah sampai rumah, ya." Isi pesan pertama. Lalu 15 menit kemudian mas Naren mengirimku pesan lagi.

"Maaf ya, Atta kalau tadi aku ada salah ngomong sama kamu. Selamat istirahat," tulisnya.

Aku kemudian membuka pesan lain. Dari ayah dan ibuku yang memintaku untuk datang ke rumah nenek pukul 10 pagi ini. Setelah membalas pesan ayah dan ibu, akhirya aku memutuskan untuk mandi dulu.

Setelah mandi dan berpikir cukup lama, akhirnya aku membalas pesan mas Naren.

"Selamat pagi, mas. Udah mandi?" tanyaku.

Seperti biasa, mas Naren memang lama membalas pesan. Aku memutuskan untuk sarapan dulu keluar kost dan meninggalkan ponselku di kamar karena baterainya tinggal sedikit, jadi aku charge dulu.

Pagi itu aku memilih untuk makan ayam bakar dekat kostku. Harganya hanya 9 ribu sudah dapat ayam bakar dan nasi. Bisa pilih tambahan lalap atau sayur segala dan sudah ada sambalnya. Es the atau es jeruk harganya seribu lima ratus. Menyenangkan sekali hidup di Jogja ini.

Selesai sarapan, aku pulang ke kost. Sesampainya di kamar, aku memeriksa ponselku. Ada pesan balasan dari mas Naren.

"Hai, aku baru aja mandi ini. Kamu udah sarapan?"

Aku mengetik balasan.

"Udah. Mas udah sarapan? Kalau udah, yuk antar aku ke rumah nenek."

Tak lama kemudian, mas Naren membalas pesanku.

"Aku berangkat."

Aku tersenyum membaca pesannya. Setelah membalas pesan mas Naren dengan "Hati-hati di jalan, ya," aku bersiap-siap.

Pukul setengah 10 mas Naren sudah meneleponku. Katanya ia sudah sampai di depan kost. Aku yang memang sudah siap, langsung beranjak mengunci pintu kostku dan menghampiri mas Naren yang menunggu di depan pagar kost.

Mas Naren menyunggingkan senyum lebarnya, barisan giginya yang rapi membuatku merasa berdosa jika tidak membalas senyumnya dengan sebuah senyuman juga.

"Kapan ini berangkatnya kalau kita senyum-senyuman terus?" tanya mas Naren.

Aku tertawa kemudian mengenakan helmku. Mas Naren menghidupkan mesin motornya.

"Aku bawa kue Mamahke buat oleh-oleh, semoga pada suka," ujar mas Naren sambil menunjukkan bungkusan plastik yang ia gantung di bawah stang motornya. Aku mengangguk kemudian naik ke atas motor.

"Pegangan, mbaknya," ujarnya sambil tertawa. Aku tertawa lalu melingkarkan lenganku ke pinggangnya. Kami kemudian berangkat.

Sesampainya di rumah nenek, ayah dan ibu menyambutku di pintu rumah. Aku bersalaman lalu memeluk mereka satu per satu. Rasanya bahagia sekali sampai-sampai aku hampir menangis. Rumah nenek ramai sekali, ada bulik Dinar dan paklik Angga juga (mereka adalah adik kandung ibuku), sengaja main ke rumah nenek karena ingin bertemu ibu dan ayah. Ada Ajeng dan Sita, sepupuku yang masih berusia 5 tahun dan 4 tahun. Ajeng dan Sita adalah anak bulik Dinar.

anagataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang