Bab 2 || Sekat

49 5 2
                                    

Hai!!! Comeback with me! 😊 Selanat membaca bagian kedua, Sekat!

💝💝💝

Suara azan subuh sayup-sayup berkumandang, saling menyahut dari berbagai sudut. Naina tengah memegang mushaf Alquran dan membacanya. Bahkan, sejak satu jam yang lalu dia sudah terjaga dan melaksanakan salat malam. Naina bukan wanita yang sudah baik secara keseluruhan, dia hanya berusaha untuk terus dan tetap memperbaiki diri. Karenanya, iman manusia itu naik turun.

Segera ditutup mushaf itu, Naina mengusap sampulnya perlahan. Allah, hati ini rindu padanya, hati ini selalu mengingatnya. Allah, aku takut .... Naina memejamkan mata. Ketika perlahan ia membukanya, netra itu berkaca-kaca.

Aa beri kamu mushaf Alquran bukan tanpa sebab. Kita berjalan terlampau jauh, melewati batas yang kita tentukan sendiri. Aa ingin kamu banyak-banyak mengingat Allah. Aa tidak mau karena kesenangan sesaat ini, kita akan merasa sakit untuk waktu yang lama.

Biarpun kamu akan mengingat Aa ketika membaca mushaf ini, yang penting kamu selalu dekat dengan Allah.

Kalimat itu masih Naina ingat. Kalimat yang tertera di sebuah kertas kecil yang terselip di Alquran. Benda yang menjadi kado ulang tahunnya bertahun-tahun yang lalu, ketika ia masih berseragam putih abu. Hampir lima tahun silam. Darinya.

Naina bangkit dan menyimpan mushaf itu di atas nakas. Kemudian, ia menunaikan salat Subuh. Ketenangan itu menyelinap, memeluk relung-relung hati yang dingin. Salat bukan hanya ibadah dan kewajiban semata. Bagi Naina, salat adalah kebutuhan, tempat di mana dia bercengkerama dengan Sang Pencipta. Me-refresh jiwa yang terkadang terlena pada dunia.

Selepas menunaikan salat, Naina merapikan mukena dan menyimpannya di sebelah Alquran. Ia mengenakan khimar instan berwarna abu, sebelum perempuan itu membuka tirai jendela. Membiarkan cahaya masuk dan menerobos celah.

Netranya memandang sekeliling dan terhenti ketika manik itu melihat sesosok lelaki di sebelah rumahnya. Rumah bekas Bu Santi, tetangganya yang sudah pindah sebulan lalu.

Siapa lelaki itu? pikir Naina.

Naina mengendikkan bahu. Mungkin penghuni yang baru, begitu pikirnya. Segera perempuan itu keluar dari kamarnya untuk membantu Rere—mamanya.

💝💝💝

"Senangnya dimasakin si bungsu," ujar Ramlan ketika Naina mengambilkan nasi dan lauk pauk untuknya. Setelah itu, Naina duduk berseberangan dengan Rere dan Ramlan.

Senyum terbit di wajah kedua orang tuanya itu, membuat Naina risi sendiri karena terus dipandangi.

"Kok lihatin Na terus, sih?" katanya.

"Ayah kangen, Na," timpal Ramlan.

"Ayah tuh, kangen melulu." Naina membalas seraya mengambil lauk untuknya.

"Sarapan dulu, Pril," ujar Ramlan ketika sosok sebaya dengan Naina berjalan melewati ruang makan.

Perempuan itu melirik ke arah Naina, lalu mengalihkan pandangan pada Ramlan. "April buru-buru, Yah," katanya beralasan.

"Sebentar," tahan Ramlan. Mau tak mau, April duduk di sebelah Naina dan menyinduk nasi.

"Tumben Mama masak capcai, enak lagi," komentar April ketika menelan capcai yang ia suapkan tadi.

"Bukan Mama yang masak. Tuh, adikmu," kata Rere sembari menunjuk Naina dengan tatapan mata.

"Oh." April bersuara pelan lalu meneruskan sarapannya tanpa suara.

"Oh iya, Na, gimana kafenya? Ramai?" tanya Ramlan memecah keheningan yang sempat terjadi.

Naina mengangguk. "Kadang-kadang, Yah. Ramainya sore sampai malam, atau weekend sama hari libur." Naina menjawab setelah menelan makanannya.

"Alhamdulillah kalau gitu. Enggak ada masalah, 'kan?" Ramlan bertanya lagi.

Naina menggeleng pelan. Ayah tak bersuara lagi. Begitu pun yang lain.

💝💝💝

"Lo masih marah sama gue, Na?" tanya April ketika Naina mencuci piring bekas sarapan.

"Enggak." Naina menjawab singkat.

"Terus kenapa lo bersikap seakan-akan lo marah sama gue? Kalau lo emang nggak nyaman ada gue di sini, gue bisa pergi." April berujar lagi.

Naina mematikan keran dan mengelap tangannya yang basah. Wanita itu menatap April tenang.

"Enggak perlu ngungkit hal yang udah berlalu. Lagian, nggak ada alasan untuk marah dan nggak nyaman. Kamu nggak perlu pergi, ini rumah kamu," tutur Naina.

"Ini juga rumah lo, Na, keluarga lo! Tapi kenapa lo seakan menghindar?" Suara April meninggi.

"Aku nggak menghindar, Pril. Aku cuma butuh waktu," tukas Naina.

"Sampai kapan?" April bertanya miris. Ia pun tak ingin berseteru dengan saudara tirinya itu. Kesalahan di masa lalu membuat keduanya renggang. Terlebih, usia yang hanya terpaut beberapa bulan hingga saling meninggikan ego, khas perempuan.

Naina tak menjawab pertanyaan April. Perempuan itu hanya menggeleng lalu beranjak, memilih kembali ke kamarnya.

💝💝💝

Pukul delapan, Naina memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar perumahan. Ada sebuah taman kecil yang tak jauh dari rumah. Tempat dulu dia sering menghabiskan waktu selain di kamar.

Naina memilih duduk di ayunan, menatap sekeliling yang tak terlalu ramai. Ada penjual sayur yang tengah dikerubungi ibu-ibu di seberang sana, ada juga kendaraan yang terkadang lewat. Ini hari Senin, tentu saja penghuninya tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Bekerja, sekolah, atau kegiatan lainnya.

"Ah, segarnya," gumamnya.

Naina meraih kamera yang sejak tadi tergantung di lehernya. Perempuan itu menempatkan sasaran dan membidik. Sebuah gambar berhasil diambil, beberapa bunga liar yang tumbuh berdampingan di seberang ayunan. Naina tersenyum melihat hasil jepretannya.

"Naina?"

Sebuah suara menginterupsinya. Naina segera menoleh dan mendapati seorang lelaki berdiri tak jauh darinya.

"Kak Shaka, kok bisa ada di sini?" tanya Naina ketika mengetahui bahwa lelaki itu adalah Shaka.

"Lagi jalan-jalan aja, pengin tahu daerah sini," jawab lekaki bernama Shaka itu.

"Kakak tinggal di sini?" Naina bertanya lagi.

Shaka menganggukkan kepala. "Iya, baru seminggu, sih. Enggak jauh kok, dari sini. Tuh, rumah yang catnya biru," katanya sembari menunjuk rumah yang Naina kenali.

Rumah bekas Bu Santi! Jadi, dia lelaki yang Naina lihat pagi tadi?

"Ngomong-ngomong, kamu tinggal di sini juga? Rumah kamu di mana?" Shaka bertanya.

"Itu ... sebelah rumah Kakak," katanya sembari meringis pelan.

"Ternyata kita tetanggaan, ya. Kok nggak pernah lihat kamu?"

Naina tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya tersenyum tipis, membuat lelaki di hadapannya mengerut bingung.

💝💝💝

Nah, loh, mereka tetanggaan! Wuaaah! Gimana ya, cerita selanjutnya? Check next chapter!

Lyra

Mei Itu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang